tag:blogger.com,1999:blog-22216270362807876192024-03-14T15:46:18.316+07:00Kebijakan PublikNeo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comBlogger49125tag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-5112927265422671942010-12-22T03:25:00.009+07:002010-12-22T04:22:04.955+07:00Argumentasi Kebijakan<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Analisis kebijakan
tidak berhenti pada penggunaan berbagai metode pengkajian untuk menghasilkan
dan mentransformasikan informasi. Meskipun produksi dan transformasi
informasi merupakan suatu hal yang esensial dalam analisis kebijakan,
yang tidak kalah pentingnya adalah penciptaan dan penilaian secara kritis
klaim pengetahuan yang didasarkan atas informasi tersebut. Klaim pengetahuan
yang dikembangkan sebagai kesimpulan dari argumen-argumen kebijakan,
mencerminkan alasan-alasan mengapa berbagai macam pelaku kebijakan tidak
sepakat terhadap suatu alternatif kebijakan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Argumen-argumen
kebijakan, yang merupakan sarana untuk melakukan perdebatan mengenai
isu-isu kebijakan publik, mempunyai enam elemen/unsur, yaitu:</font></p>
<ol type="1">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Informasi yang
relevan dengan kebijakan (I)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dihasilkan
melalui penerapan berbagai metode merupakan bukti dari kerja analisis.
Informasi tentang masalah-masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi-aksi
kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan yang disajikan dalam
berbagai bentuk. Informasi yang relevan dengan kebijakan merupakan titik
tolak dari suatu argumen kebijakan.</font></p></ul>
<ol type="1" start="2">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Klaim Kebijakan
(C)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Merupakan
kesimpulan dari suatu argumen kebijakan. Klaim kebijakan merupakan konsekuensi
logis dari informasi yang relevan bagi kebijakan. Jika klaim kebijakan
mengikuti penyajian informasi klaim tersebu berbunyi “maka”.</font></p></ul>
<ol type="1" start="3">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Pembenaran/Warrant
(W)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Merupakan
suatu asumsi di dalam argumen kebijakan yang memungkinkan
analis untuk berpindah dari informasi yang relevan dengan kebijakan ke
klaim kebijakan. Pembenaran dapat mengandung berbagai macam asumsi otoritatif,
intuitif, analisentris, kausal, pragmatis, dan kritik nilai. Peranan
dari pembenaran adalah untuk membawa informasi yang relevan dengan kebijakan
kepada klaim kebijakan tentang terjadinya ketidak-sepakatan atau konflik,
dengan demikian memberi suatu alasan untuk menerima klaim.</font></p></ul>
<ol type="1" start="4">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Dukungan/Backing
(B)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dukungan
(B) bagi pembenaran (W) terdiri dari asumsi-asumsi tambahan atau argumen-argumen
yang dapat digunakan untuk mendukung pembenaran yang tidak diterima
pada nilai yang tampak. Dukungan terhadap pembenaran dapat mengambil
berbagai macam bentuk, yaitu hukum-hukum ilmiah, pertimbangan para pemegang
otoritas keahlian, atau prinsip-prinsip moral dan etis. Dukungan terhadap
pembenaran memungkinkan analisis bergerak ke belakang dan menyatakan
asumsi-asumsi yang menyertainya.</font></p></ul>
<ol type="1" start="5">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Bantahan/Rebuttal
(R)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Merupakan
kesimpulan yang kedua, asumsi, atau argumen yang menyatakan kondisi
di mana klaim asli tidak diterima, atau klaim asli hanya dapat diterima
pada derajat penerimaan tertentu. Secara keseluruhan klaim kebijakan
dan bantahan membentuk substansi isu-isu kebijakan, yaitu ketidak-sepakatan
di antara segmen-segmen yang berbeda dalam masyarakat terhadap serangkaian
alternatif tindakan pemerintah. Pertimbangan terhadap bantahan-bantahan
membantu analis mengantisipasi tujuan-tujuan dan menyediakan perangkat
sistematis untuk mengkritik salah satu klaim, asumsi dan argumennya.</font></p></ul>
<ol type="1" start="6">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Kesimpulan/Qualifier
(Q)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kesimpulan
(Q) mengekspresikan derajat dimana analis yakin terhadap suatu klaim
kebijakan. Dalam analisis kebijakan, pemberi sifat sering diekspresikan
dalam bahasa probabilitas (seperti “Barangkali”, “Sangat mungkin”,
“pada tingkat kepercayaan 0,01”). Ketika analis secara penuh yakin
terhadap suatu klaim atau ketika kesimpulan sepenuhnya deterministik
dan tidak mengandung kesalahan sama sekali, suatu kesimpulan tidak diperlukan.</font></p></ul>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 278px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSKUtA20gAUEMzCfs4vhF-BTmHj9wT0zpvZTQNosHZbCvSsNUnR_iBUIRMP_q_uDC5HD3Vwr57NCi11-MthPmpAXQnov22gOuxitT1DIO4eWIHtKlve5JkSiSjUd99GlNazh6G_3Bt1nc/s320/Elemen-Elemen+Argumen.jpg" title="Elemen-Elemen Argumen Kebijakan" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5553241942552456098" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Struktur argumen
kebijakan mengilustrasikan bagaimana para analis dapat menggunakan informasi
untuk merekomendasikan pemecahan bagi masalah-masalah kebijakan. Hubungan
di antara ke-enam elemen argumen kebijakan juga mendemonstrasikan di
dalam cara-cara yang berbeda, tergantung pada kerangka referensi, ideologi,
atau pandangan dari kelompok-kelompok yang berbeda. Argumen kebijakan
memungkinkan kita terus melangkah melampaui perolehan informasi dan
mentransformasikan informasi itu ke dalam kepercayaan tentang kebenaran
yang dapat diterima (pengetahuan). Dengan demikian, analis dapat menggunakan
kombinasi berbagai metode sehingga menjadi terbuka terhadap tantangan,
dapat melakukan kritik diri, dan mampu mengarah kepada penyelesaian
masalah-masalah, bukannya melakukan pembenaran terhadap alternatif-alternatif
kebijakan yang disukai.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Sumber:</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">William N.
Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, terjemahan.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-37328575431466433582010-12-21T09:33:00.000+07:002010-12-21T09:34:54.874+07:00The Making of the Big Bang and its Aftermath A Political Economy Perspective (Part 3 of 3)<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Bert Hofman
and Kai Kaiser World Bank</b><sup><b>1</b></sup></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Paper Presented
at the Conference: CAN DECENTRALIZATION HELP
REBUILD INDONESIA?</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>A Conference
Sponsored by the International Studies Program,
Andrew Young School of Policy Studies,
Georgia State University</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>May 1-3 2002</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Atlanta,
Georgia</b></font> <br></p>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>3. Issues
in the Intergovernmental Fiscal System</b></font></p></ul>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Indonesia’s
new intergovernmental fiscal system devolves on aggregate enough resources
to cover the devolved expenditure responsibilities. But the intergovernmental
fiscal system is as of yet far from ideal. The distribution of
resources and tasks has caused budgetary problems in some of the regions,
especially at the provincial level. The regions’ high dependence
on central transfers could undermine local accountability. Inadequate
provisions for local taxes risks inappropriate taxation and unhealthy
tax exporting. And finally, the system has few means for central
government to finance national priorities at the local level.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Law 25 of 1999
meant fundamental reforms of Indonesia’s intergovernmental fiscal
relations. The reforms strongly increased the regional government’s
share of government resources, moved the transfer system from one dominated
by earmarked grants to one largely relying on general grants supplemented
by revenue sharing, and—with the reforms introduced by law 34/2000—gave
broad taxing authorities to local government.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Before the
2001 decentralization, most resources were transferred from central
to regional governments through earmarked grants. The largest
of these was the SDO (Subsidi Daerah Autonom or subsidy for autonomous
region) grant which covered all civil service salaries and recurrent
expenditures for the regions. In addition, INPRES (Instruksi President)
grants aimed to finance development spending in the regions. The
INPRES grants started as a block grant for development spending in the
1980s, but gradually evolved into an array of specific grants for purposes
ranging from re-greening<sup>18</sup></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">In the new
system, central regional transfers remain the dominant means of financing,
but the earmarking is gone. The bulk of regional government spending
is financed by transfers from the center (see Table 1:DAU Dominates).
Well over 90 percent of regional revenues come from the Balancing Fund
(dana perimbangan) which includes a general grant (the Dana Alokasi
Umum or DAU), shared taxes, natural resource revenues (SDA, sumber daya
alam), and a special allocation grant channel (DAK, dana alokasi khusus)
Local governments have limited own revenues (PAD, pendapatan asli daerah),
which constitutes less than 7 percent of total revenues. Starting
2002, the center is also making additional special autonomy transfer
arrangements with two provinces.</font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdCsHWkHRht8BPV4uEASjiInQkzeJTL1KDilmUf487IMoxJhggpyH6uwB7d9gXEZM7BNh8tbf6lj-NLCuPXKIIkfci0l8VkznQB02tZEigvOZgRuZhovAyh_lMmxQrjwJzA83i0u-hH-s/s320/Table1.jpg" title="Table 1" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551745696912313490" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dana Alokasi
Umum. The Dana Alokasi Umum (DAU) or general grant is the mainstay of
the new intergovernmental fiscal system. The DAU adds up to some
65 percent of regional revenues, and to a little over 70 percent of
the Balancing Fund. The DAU is by law a minimum of 25 percent
of central government revenues after tax sharing.<sup>19</sup>
For 2001 and 2002 this minimum allocation has been maintained by Government
and Parliament. However, although the law and the regulations
suggest that the 25 percent is the share of actual revenues after revenue
sharing, for FY2001 the budgeted amount was disbursed. In
all, this cost the region some Rp. 9 Trillion in revenues, or 15 percent
of the total DAU for that year.<sup>20</sup></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Because the
“hold harmless” element was interpreted to be a minimum DAU allocation
rather than a guaranteed amount, this element took almost 80 percent
of the total DAU. In 2002, the minimum DAU was reduced to 50 percent
of the total amount, but rather than relating it to past SDO and INPRES,
is became a minimum amount per region, plus an amount related to the
actual wage bill of 2001. But “hold harmless” obtained a new meaning:
Parliament objected against the proposed distribution of the DAU, because
the richer regions stood to lose compared to the 2001 distribution.<sup>21</sup></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The formula
part of the allocation relies on the notion of expenditure needs and
own fiscal capacity. The share in the DAU pool for a region depends
on the difference between its fiscal needs and its fiscal capacity.
For 2001 there concepts were interpreted different from 2002, in part
due to practical reasons, in part due to more analysis done for 2002.
In 2001, at the time the formula had to be presented to the Regional
Autonomy Advisory Council, the data on shared revenues were not yet
available, and it was decided to ignore them. For 2002 they were included,
but natural resource revenue shares only for 75 percent. As indicators
for expenditure need the formula includes (i) population; (ii) poverty
rate; (iii) land area; and(iv) the construction price index as an indicator
of “geographical circumstances.” The formula must include these
variables, as they arementioned in the elucidation of Law 25/99.
In the 2001 formula each of the variables was included with equal weight,
whereas in the 2002 formula, population and area both received higher
weights than the others.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Contingency.
The DAU allocation was supplemented by a “contingency fund” to absorb
any mismatches between devolved expenditure responsibilities and revenues.
Of a budgeted amount of Rp. 6T. in 2001, some Rp. 3 T was disbursed.
The first tranche of Rp. 1.1 T. related to genuine mismatches caused
by decentralization. A process of application, review and allocation
set out in a Presidential decree was followed for this tranche.
The second tranche, however, became necessary because of the centrally
mandated salary increase which pushed up the regional wage bill by some
15-30 percent.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Shared revenues.
The 2001 decentralization greatly increased the importance of shared
revenues. The most important factor was the inclusion of oil and
gas revenues and personal income tax in the taxes to be shared.
The former were included to accommodate long-standing dissatisfaction
of natural resource rich regions which felt that “Jakarta” took
their resources, and they did not get anything in return. True
or not, with the implementation of Law 25/1999, they now get a significant
share of those revenues (see Table 2: Revenue shares). In addition,
the personal income tax was included for sharing through Law 17 of 2000.<sup>22</sup>
For each of these shared taxes, the province gets a minor part, whereas
the bulk of revenues goes to the local governments.</font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhBRH_svSmrU5IkpW2iRwEA75T80PPHOOrbhbKauaJjGsI7k-4aF9gpO_MrNuWlUjHSERjys5Aeqzzt63HIrky4BtYe3agtmdW-MH22Uqp_dUMdRk43xPEcliWTdN_hmk3iDQkVeZwWjQ/s320/Table2.jpg" title="Table 2" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551747868946158066" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The sharing
formulae for most of the shared revenues contain an additional element
of equalization. For oil and gas, mining, and forestry, the local
governments of regions neighboring the producing region receive a share
as well. For fisheries, property tax and land transfer tax, a
small percentage of the revenues is shared by all local governments
in Indonesia. Whereas the underlying motivation may well be one
of equalization, with the initiation of a formula-based DAU, these complex
sharing mechanisms may well be redundant—whatever a region gets from
those shared taxes is counted as own fiscal capacity, and reduces the
allocation of the DAU.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Own Revenues.
Law 34/2000 greatly expands the scope for local government revenues.
The law amended law 18 of 1997, which intended to stop the then-prevailing
local government practice of issuing a plethora of local government
taxes, many with little revenue potential, and high costs to the taxpayer
and the economy. Law 18/1999 therefore restricted regional taxes
to a closed list, and made any additional taxes conditional upon approval
of the Ministry of Finance.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Law 34 reverses
the burden of proof. The law still gives a list of regional taxes,
but regional governments can add taxes through regional regulations
approved by the regional government council, as long as it abides by
the principles mentioned in the law. These principles are sound
(Box), but supervising them has turned out to be problematic—not least
because the law has tight deadlines for central government to meet if
it wants to cancel a local tax. An added complication is the way
supervision is structured: Law 22/1999 gives the Minister of Home Affairs
the authority to cancel regional regulations, including those on regional
taxes. Up until now, the Minister has been hesitant to invoke
these powers, not least because regional governments have the right
to appeal his decision to the Supreme Court. As a result, there
has been little to check regional government’s creativity in taxation,
and although the damage still remains limited, 84 out of the more than
1,000 regulations on local taxes have been found to be in conflict with
the law. Among them are taxes on the “import” of goats into
kabupaten Bogor, and an advertisement tax on Coca-Cola bottles in Lampung
province. Meanwhile, the Minister of Home Affairs has as of now formally
cancelled only one regional tax.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Do the Regions
Get Enough?</b> </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">A key question
for the new intergovernmental fiscal system is whether the regions on
aggregate receive enough resources. This question can be
considered in three ways: (i) do the regions receive enough resources
to cover the expenditures needed for the tasks they are expected to
perform? (ii) do the regions receive an amount compatible with what
government as a whole can afford? and (iii) do the regions receive enough
to cover the spending obligations they inherited from the central government
in the course of decentralization.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Method (i),
sometimes labeled the costed minimum standards approach, has practical
and theoretical issues. For starters, as was argued previously,
Law 22/1999 does not clearly define the functions of the regional governments,
as the functions are defined negatively: local government does everything
that the center and the provinces does not do. And for the obligatory
functions of local government, which are defined in the law, it does
not clearly define what part of the function local government performs,
not what minimum standards of services should be delivered. Even
if these issues could be overcome, the in formation to cost out the
functions is lacking at present. Moreover, determining what the
functions cost at present may not be very telling for what the functions
should cost if efficiently delivered. But apart from all these
practical objections, there is a more fundamental objection against
this method: unless carefully managed, minimum standards are but a wish
list of spending developed independently of what government as a whole
can afford.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Method (ii)
the affordability approach faces several issues as well.
The method requires the Indonesian government to make choices for the
nation as a whole as to what it wants to spend its scarce resources
on. If the priorities so determined are tasks of regional government,
then more resources would need to be devolved—be it through grants,
revenue sharing, or devolution of more tax bases to regional governments.<sup>23</sup>
Although the method is to be preferred over the costed minimum standard,
there are numerous practical impediments, not least the lack of information
in the current budget and accounting system which does not allow a link
between policy goals and spending.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Central government
could devolve more resources if it wanted to do so. Currently,
a significant part of its spending is devoted to tasks that could be
considered local government tasks. Taking the 2002 budget as a
guide, the development budget still contains as much as 10-20 trillion
or \[1 percent] of GDP in spending which could be further devolved to
the regions, together with a corresponding increase in revenues.
Note that implementation of these projects is already largely done at
the sub-national level. However, since the financing is done from
the central budget, there is no local scrutiny over the spending.
On the recurrent budget, the wage bill probably offers further scope
for savings, as not all civil servants that ought to have been decentralized
actually were. Moreover, the Government has already decided to
phase out the fuel subsidies over time, and this will further free up
resources that could be made available to the regions. And finally,
the government is determined to increase the tax ratio to GDP over time.
One quarter of that increase will already be automatically transferred
to the regions through the DAU, but more could be made available to
the regions.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Whether increased
resources should be made available remains to be seen. First,
several areas of central government’s own responsibility that have
been chronically underfunded, most notably Operations and Maintenance.
Second, the central government is aiming for a zero budget deficit by
fiscal year 04, and achieving this goal is likely to absorb much of
the savings and additional revenues mobilize. And third, local
governments may not be ready to absorb additional spending at this time,
as they have just almost doubled their levels of spending, and their
local planning, budgeting and financial management systems may already
be stretched, and accountability at the local level is still weak.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">(iii) Do the
devolved resources cover the devolved responsibilities? On aggregate,
more than enough revenues seem to have been devolved to match the transferred
revenue responsibilities. This holds even if we take account of
the July 2001 wage increase, and correcting the region’s own development
spending for inflation. In total, the regions received “surplus”
revenues of some Rp.21 Tr. in 2001, or 1.5 percentage point of GDP (Figure
3.__: More than enough).<sup>24</sup></font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjQ0U9kISwkCIefoaAMabH2QXTXenmZIfgCBmVzPi-0utWcAztMaGLmRWfgAjYiJVm__ZQzFZ-UU1zEyQ-MGq2U1aFXD2G7gw6ymcGARo8myFcckgO9s1PbU7vU8c9S1BBd0Q5HQPKNao/s320/Figure2.jpg" title="Figure 2" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551749844184525250" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">One could,
therefore, argue that decentralization “cost” the center this very
same amount: if Government could have perfectly targeted the devolved
resources, it could have transferred Rp. 21 Trillion less than it actually
did. Lewis (2001, p.330) estimates an even higher surplus of Rp.27.5,
but this was before the wage increase and the subsequent disbursement
of the contingency fund. Lewis also estimates separately the surpluses
of the provincial level and the local level. His judgment is that
whereas at the provincial level the extra revenues more or less just
cover the extra expenditures, local governments received most of the
surplus. This findings jives also with the disbursements from
the contingency fund, of which a disproportional amount was disbursed
to the provinces.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Further evidence
for the finding that more than enough resources were transferred can
be found in development spending. Budgeted regional development
spending made a significant jump in 2001, from an (annualized) Rp. 14
Tr. in FY2000 to a planned Rp. 26 Tr. in FY2001 (Table 3: Consolidated
Development Spending).</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The regions
may have been forced to cut back slightly on these plans after the July
wage increase, but there is every reason to believe that development
spending in the regions rose significantly. This is good news
for government development spending as a whole: because of the increase
in regional development spending, the drop of central development spending
as a percent of GDP did not lead to a n overall decline: for both 2000
and 2001, this was budgeted to be about 5.1 percent of GDP.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Thus, the regions
as a whole do not seem strapped for funds. The increase in development
spending in the regions also suggests that there is more than sufficient
funds to cover the (recurrent cost of) functions transferred.
Therefore, the often-heard argument that the regions spend mostly on
“bureaucrats” and have too few resources for “services to the
people,” therefore seems to be a red herring. In fact, on aggregate,
wages make up little over 50 percent of regional spending (Table 4:
Summary Regional Expenditures). Moreover, it is a misconception
that only development spending can be considered as service delivery:
as the civil service numbers in chapter 2 suggest, some 70 percent of
the wage bill is paid to teachers and health workers, civil servants
that provide direct services to the people.</font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEUxvktYMFVkwHDcJvQglwWliGMSk2V6MKtoIaUSTmhJUWuSM-vDrtpE74EOWlFlAY88I1blwDfREF8c2hyda1OWI72FPErEuYCKayNsHQu0zIL_NXX7anUJKFFzvvaLrfHH7zlJX2AcU/s320/Table3.jpg" title="Table 3" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551750908297789746" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">In conclusion,
on aggregate more than sufficient revenues were devolved to cover the
additional expenditure responsibilities of the regions. Little
can be said about whether this was enough to cover expenditure levels
sufficiently large to cover some minimum standard of services in the
regions.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>How equal
is the new intergovernmental fiscal system?</b> </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sufficient
resources for the regions on aggregate disguise large variations among
the regions in fiscal capacity. Even after redistribution through
the DAU, in FY2001 the richest local government had more than fifty
times as much revenues per capita as the poorest one (Table A.2).
The poorest region has only 20 percent of the per capita revenues as
the average. And the variation among the regions as measured by
the Gini coefficient for the per capita revenues for the regions is
some 0.39.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Some of this
variation can be explained by the small size of the units of local government
in Indonesia.<sup>25</sup></font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzC7bl1x-idHHpojXK48YWm9rd4BgshUQm3aJvZ9F7GdY9VgcolKK_Aqj57YNhlqDExwY9tyI-ea6OuOzr-PGIHyTQYgkliweiwzTkH6xZz2HlLoHNGSNKn80NIKu6oKZum0-UbvlYbKU/s320/Table4.jpg" title="Table 4" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551751772248139330" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">But even if
one aggregates revenues at the provincial level, the variation in revenue
capacity remains large: the richest province has about ten times
as much revenues per capita as the poorest one, and the poorest one
has only some 40 percent of the revenue capacity of the average one.
For comparison, in the US, the poorest state as about 65 percent of
the revenues of the average state, and in Germany, any state falling
below 95 percent of average gets subsidized. In Russia, the variation
in the \[56] oblasts is more in line with that of Indonesia: the richest
of the 89 regions has revenues per capita some 40 times higher than
the poorest, which is still considerably less than that among Indonesian
local governments, although larger than among the provinces.<sup>26</sup>
In Brazil, the richest state has 2.3 times the revenues per capita of
the poorest state.<sup>27</sup> In China, expenditures per capita
in the richest province was some 17 times that of the poorest one, but
excluding the city provinces of Shanghai, Beijing, and Tianjin, the
disparity fell to 5.5 to 1.<sup>28</sup></font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj74qZwA2WzKLX3E8BDkYsuujjpEbAw4bc5EAxpYmdZ_iUYBDrVStgcBcx9qpgRaVboUnDv_EMMLFoSz9a6OKq3FBnRobYb-fMMAaim6ExKi6UnzjsHirw5sZ2fBhPNKl0a2A4wninkiss/s320/Figure3.jpg" title="Figure 3" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551753436385927106" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Why are inequalities
in fiscal capacity so high among Indonesia’s regions? After
all, the Law on Fiscal Balance promises a system that would equalize
fiscal capacity among the regions taking into account the regions’
own fiscal capacity and fiscal needs. Two causes of inequality
stand out: (i) The large variation in own fiscal capacity among Indonesia’s
regions, and (ii) the imperfections in the equalization mechanism of
the DAU.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Disparities
in own fiscal capacity. </b> </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Own fiscal
capacity among the regions varies widely. Much of the variation
is due to revenues from natural resource sharing. The few regions
that do receive substantial amount, but not all. The distribution
of the personal income tax share is highly unequal as well, with some
regions receiving no revenues at all from this source. Relative
to these two sources of revenues, variation in own taxes (PAD) per capita
is relatively small.</font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioof__J2s9O2_jijayBI2teccWLlAzwxY50utaIS_xB8l82xKVHzBORoQaj3kh8wtrSfeHl6QRIbUCrruWxIXCzxwGo6pY5JP-brVklG9sngpP8osqyfNgGwJ0YmiC7v9xu0BhA6U7vD8/s320/Figure4.jpg" title="Figure 4" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551754456475471826" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Equalizing
properties of the DAU</b><sup><b>29</b></sup></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The DAU allocations
reduce disparities in fiscal capacity among the regions. Whether
it does so by enough is hard to tell, in part because the concept of
equalization itself is left vague in the law, the regulations, and even
in the political debate surrounding the DAU allocation. Law 25/1999
requires the DAU to be allocated such that it reduces the disparity
between expenditure needs and “economic potential.” The allocation
is to be done by formula taking objective factors of needs into account
and own fiscal capacity. The elucidation of the law mentions explicitly
the factors population, area, poverty, and geographical condition—which
was later interpreted as cost differences. There are several reasons
for this, but the key one was that the allocation of the DAU was restricted
by the need to give regions enough finance to pay for the devolved government
apparatus, and the resulting “hold harmless” clause was misinterpreted.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The hold harmless
clause. In the run-up to 2001, the authorities had to solve the
intractable issue of matching the new expenditure assignments with the
new intergovernmental fiscal system. Expenditures “landed”
in those regions where the government apparatus that was to be decentralized
was located. To avoid that the bulk of the money, the DAU, would
land somewhere else, and thereby risking that civil servants went unpaid
and services break down, it was decided that the DAU allocation should
hold regions harmless compared to what they received before in SDO and
INPRES and what they had to spend extra on the devolved government apparatus.
This became known as the “base amount,” equal to 130 percent of
SDO and 110 percent of INPRES of (annualized) FY2000 amount. A
true hold harmless clause would have ensured that regions would not
fall below that amount. Instead, it became a minimum—absorbing
some 80 percent of the total DAU.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The DAU allocation
for 2001 therefore became strongly correlated with past distribution
of grants. This favored the resource rich regions, because the
old INPRES system was implicitly compensating these regions for the
revenues generated by them. On top of the base amount, each region
received an amount based on a formula that included fiscal needs and
own fiscal capacity. But because information on revenue sharing
was not yet known at the time of formulating the DAU, natural
resource revenue shares were not counted as own fiscal capacity.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The “hold
harmless” took on a different meaning in 2002. MOF had proposed a
more equalizing DAU allocation for 2002—among others by now taking
natural resource revenues into account, and the Regional Autonomy Advisory
Board had approved the proposal. But the regions that stood to lose
lobbied hard with Parliament, and even though according to Law 25/99
Parliament had no formal say in the distribution of the DAU (as opposed
to the aggregate amount), it insisted that each region would get at
least as much as DAU as in 2001.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The bottom
line of all this is that the DAU allocations are less equalizing than
one would expect based on the Law. Regression analysis in Hofman, Kajatmiko,
Kaiser (partially reproduced in Annex 3) shows that the DAU is positively
correlated with own fiscal capacity, and shows a strong relationship
with the wage bill. Nevertheless, the DAU still equalizes in the
sense that variation in revenue per capita as measured by Gini coefficient
or coefficient of variation is reduced by the DAU (Table 5). The
reason for this is that regions with high own fiscal capacity do receive
less DAU as a proportion of that own fiscal capacity even though in
absolute amounts they may receive more that regions with low own fiscal
capacity.</font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5ajwF5ZbDKrzE3d2MlWamujBytF_afzF6pMNc3P50OksmGI7djIzc-lMskEFEONePtj9V8KgWaQep-he0_tf327Ptswx-Q6FDUUhL1IVFFdroRkDH8XilOgMqL_LYEkeUV3lurp8W10U/s320/Table5.jpg" title="Table 5" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551755486275115906" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Fiscal Dependency</b> </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Historically
Indonesia has had one of the most centralized tax systems in the world
(Ma, Jun 1997). The recent fiscal decentralization actually increased
regional fiscal dependence, as measures by the share of own revenues
(PAD) in total revenues.International evidence suggests that this high
degree of dependence is inversely associated with governance outcomes
(de Melo, Luiz and Matias Barenstrein 2001), and fiscal dependence should
therefore be a concern for Indonesia.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Law 34/200
on regional taxes should have addressed the issue of fiscal dependency.
However, the approach taken in that law led to another set of problems.
Law 34/2000 allows for regions to issue their own tax regulations, as
long as they abide by certain (sound) principles. This is far
more liberal than Law 18/1997 which only allowed a limited number of
taxes specified in the law, with high hurdles on additional taxes. At
the same time, Law 34/2000 did not devolve a tax most suited for regional
governments: the land and real estate tax.<sup>30</sup> Arguably the
approach of Law 18/1997 may be better, even though it did perhaps not
encompass an appropriate tax base for the regions “Nuisance” or
“predatory” taxation have received some attention during the first
year of decentralization. Many of those taxes are technically illegal,
and improved central supervision is clearly one important remedy to
this problem,. But a more fundamental solution to the “revenue
hunger” of the regions will probably include enhanced local tax bases
and marginal levels of revenue discretion. The trouble with this
solution is that those taxes that may be most lucrative from a revenue
basis, are also be less desirable from an equalization of fiscal capacity
perspective (e.g., natural-resources or property/service based taxes
which will disproportionately benefit urban areas).<sup>31</sup></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Directions
for Reforms</b> </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Indonesia’s
intergovernmental fiscal system can be much improved. The broad
orientation of reforms is to have the relatively rich regions “fend
for themselves” with own tax base, shared taxes and commercial borrowing.
The poorer regions are to get support through DAU, DAK, and access to
well-managed central lending and on-lending facilities to enable them
to provide similar quality services at similar local tax rates throughout
Indonesia.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Improving the
intergovernmental fiscal system in this direction requires, among others: </font></p>
<ul type="DISC">
<li><font size="3" face="Times New Roman">Moving to a more
equalizing DAU by phasing out the transitional elements in the allocation.</font></li>
<li><font size="3" face="Times New Roman">Restricting local
taxes to a closed list over which the regions have tax rate autonomy—possibly
within centrally set limits. </font></li>
<li><font size="3" face="Times New Roman">This list of taxes
should include the property taxes, and could include a local surcharge
in the personal income tax and payroll taxes and selective business
taxes. Expanding motor vehicle use or fuel taxation is a further
option. </font></li>
<li><font size="3" face="Times New Roman">Deciding on a transparent
and consistent treatment of natural resource revenues in revenue sharing
and in the equalization formula.</font></li>
<li><font size="3" face="Times New Roman">Introducing a selective
system of specific grants—combined with an (on) lending window—to
promote the financing of national priorities at local level. A
larger DAK could be financed from a gradual reduction in the center’s
own development spending on regional functions.</font></li>
</ul>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJszMF0jiq6G0-RURfVVkTN28GR5EsCI3JcpFwnglIMvaOo4ccC4sNnuRaQacfZe4_r_IQ8wHrTcTJsH5lhwnciUo1b5mnGqfcQjM59G_N85W2P0S4xFvrfwQBUi09kbRgQuMmmruELe4/s320/Annex1.jpg" title="Annex 1" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551757533726875330" /></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhluKe4j0oFfZB9Ort9_5xIFuMyyRhOwIGMBMEoZNgJ0RS5s1e4Nb3RJonX7hMq202XVPd15Jvfvvnou2yQ3Od2UuWGUvI4_qcvq_5PdipQJE58R9eqqEofcDe99IcK-1YDYyarqS9F8Tg/s320/Annex2.jpg" title="Annex 2" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551758618015604450" /></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrV5JBbkhk29jHRCQZIMVCw-nfNmx60O0lXEvMdMFhyphenhyphenrkb9Csp2kVbMBKZwZ7spHKYgs9qepd1UFY5kRZjU-LRd9lxiDVX4LXL0lXSnjVUSIFRqdoA6HOCkyxnOJYyOQDSdVQI3mSF_X8/s320/Annex3.jpg" title="Annex 3" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551759376071583266" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>References</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>1 </sup>
The findings, interpretations and conclusions expressed in this paper
are entirely those of the authors. They do not represent the views of
the World Bank, its Executive Directors, or the countries they represent.
This paper draws on the forthcoming World Bank Regional Public Expenditure
Review for Indonesia, and on Hofman, Kaiser and Kajatmiko (2001). The
authors wish to express thanks to Jorge Martinez, Roy Bahl, Richard
Bird, Roy Kelly, Dana Weist, Blane Lewis, Bernd May, and Machfud Sidik
for the many helpful discussions on the topic of the paper. We thank
Fitria Fitriani for excellent research assistance.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>18</sup>
See Annex Table XXX for detail, and Silver, Christopher, Iwan J. Azis,
and Larry Schroeder. 2001. Intergovernmental Transfers and Decentralization
in Indonesia. Bulletin for Indonesian Economic Studies 37 (3):345-62</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>19</sup>
Law 25 is not specific on whether the 25 percent is before or after
revenue sharing. PP104 has taken this interpretation, which has apparently
been accepted by Parliament and the regions. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>20</sup>
Revenues in the approved budget for 2001 were Rp.263T and revenue sharing
Rp. 20 T, which yields a DAU of Rp. 60T. Actual revenues as per
preliminary outcome data suggests revenues of Rp. 299T. Assuming
the same amount of revenue sharing, this would result in a DAU of Rp.
69T</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>21</sup>
This Parliamentary involvement in the distribution seems against Law
25/1999 which specifies that the Regional Autonomy Advisory Council
proposes the distribution of the DAU to the President, who approves
it by Presidential decree. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>22</sup>
The sharing of the personal income tax on a derivation basis was decided
at the last moment, and inspired by a conversation the Minister ff Finance
had on a trip to disseminate the decentralization laws. Art .31C
of Law 17/2000 describes the sharing. However, the article is unclear
whether the sharing of the personal income tax is based on the residence
principle or the place of work.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>23</sup>
South Africa is operating such a system. The constitution prescribes
functions for the provinces and municipalities, and orders the government
to give each level of government its “equitable share” of the national
revenues. The equitable share is determined in the context of
budget preparation, which in the case of South Africa is ased on a medium
term expenditure framework. If, say, more priority is put on health
case, the equitable share of the province—which is responsible for
it, will; get a larger share. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>24</sup>
One caveat here is the assumption that all development projects implemented
by the Kanvils and Kandeps continue to be financed from the central
budget. This seems to have been the case but the center is now
trying to find ways do devolve this financing responsibility.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>25</sup>
This point was made by Richard Bird in a comment at the Bali conference
on Decentralization in East Asia, January 10-11 2002.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>26</sup>
Martinez-Vazquaesz, Jorge and Jameson Boex (1998): Fiscal Decentralization
in the Russian Federation: Main Trends and Issues. Report prepared
for the World Bank/EDI, December. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>27</sup>
Issues in Brazilian Federalism, Draft World Bank Report, May 8, 2001 </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>28</sup>
World Bank, 2001 China: Provincial Expenditures Review, Report No. 22591-CHA),
November, Washington DC.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>29</sup>
For more detail on this issue see Lewis (2001) and Hofman, Kajatmiko,
and Kaiser (2002)</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>30</sup>
The thinking in the ministry of Finance on this has already shifted
in the direction of devolvingthis tax.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>31</sup>
Zhuravskaya (2000) argues that the intergovernmental fiscal system prevailing
in the Russian federation in the ninetees provided no incentives to
increase the local tax base or provide public goods. Shared revenue
allocations effectively penalized regions that raised their own revenues.
When regions effectively have no opportunity to increase local revenues,
they will also have little incentives to increase the local tax base
and will over-regulate local business.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-57383696371612709172010-12-19T00:22:00.002+07:002010-12-19T09:14:01.132+07:00Pengertian dan Perkembangan Analisis Kebijakan<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Analisis kebijakan
dapat dimengerti sebagai proses yang menghasilkan pengetahuan <b><i>
tentang</i></b> dan <b><i>dalam</i></b> proses kebijakan. Pengetahuan <b><i>
tentang</i></b> proses kebijakan mengacu pada “studi sistematis dan
empiris tentang bagaimana kebijakan dibuat dan memberikan efek”, sementara
pengetahuan <b><i>dalam</i></b> proses kebijakan mengacu pada pemahaman
bahwa “realisme keputusan untuk sebagian bergantung pada akses terhadap
stok pengetahuan yang ada”. Dalam definisi yang luas ini, analisis
kebijakan mencakup berbagai bentuk pengkajian, dari penggunaan mistis
atau tenaga gaib sampai ke ilmu-ilmu modern.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Secara historis,
tujuan analisis kebijakan adalah menyediakan informasi bagi pembuat
kebijakan untuk dijadikan bahan pertimbangan yang nalar guna menemukan
pemecahan masalah kebijakan. Dengan demikian, analisis kebijakan memiliki
dasar orientasi praktis yang dalam banyak hal menjadikannya sama dengan
ilmu sosial terapan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Metodologi,
metode dan teknik analisis kebijakan telah berubah dengan nyata sepanjang
sejarah. Tetapi analisis kebijakan secara eksplisit hanya menjadi empiris
dan kuantitatif pada periode setelah Revolusi Industri. Ketika analisis
kebijakan abad dua puluh mengikuti tradisi yang telah ditetapkan pada
abad sebelumnya, lima puluh tahun yang lalu telah terlihat peningkatan
profesionalisme analisis kebijakan dan pelembagaannya di pemerintahan.
Pada periode setelah Perang Dunia II, pendekatan analysentrik mulai
mendominasi analisis kebijakan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Evolusi analisis
kebijakan umumnya telah mengikuti perubahan di dalam masyarakat. Salah
satu perubahan besar di dalam masyarakat adalah tumbuhnya wilayah perkotaan
di Mesopotamia dan kemudian di India, China dan Yunani. Pada periode
abad pertengahan, peradaban perkotaan menjadi lebih kompleks dengan
adanya diferensiasi dan spesialisasi peran analisis kebijakan terutama
masalah keuangan, perang dan hukum.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Transformasi
utama di dalam produksi pengetahuan kebijakan terjadi sebagai akibat
Revolusi Industri dan Jaman Pencerahan, keduanya diikuti pertumbuhan
stabilitas politik di antara kekacauan sosial. Pada abad dua puluh,
analisis kebijakan berkembang. Pertama untuk menanggapi kelesuan ekonomi
dan perang, dan kemudian sebagai reaksi terhadap pemerintah yang tumbuh
secara dramatis. Sesudah Perang Dunia II, lahir masyarakat pasca-industri
yang memiliki klas teknis-profesional yang terdidik dan telah mencapai
posisi menonjol yang tidak terduga seperti periode sebelumnya.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Terdapat sedikitnya
dua cara utama untuk menjelaskan evolusi sejarah analisis kebijakan
dari dulu hingga saat ini. Menurut salah satu pendekatan (bimbingan
teknokratis), pengetahuan kebijakan adalah sumber daya langka yang kepemilikannya
dapat meningkatkan kekuatan dan pengaruh analisis kebijakan yang profesional.
Pendekatan yang lain (konseling teknokratis) sebaliknya menyatakan bahwa
peran utama analis kebijakan adalah untuk mengesahkan keputusan kebijakan
yang dibuat oleh pemegang kekuasaan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Masing-masing
pendekatan membantu di dalam beberapa hal untuk menjelaskan perubahan
sejarah, tetapi keduanya cenderung untuk melebih-lebihkan kekuasaan
dan pengaruh analisis kebijakan dengan alasan yang berbeda. Pendekatan
bimbingan teknokratis terlalu berlebihan menilai pengaruh analisis di
dalam membentuk pilihan kebijakan yang penting, sebaliknya pendekatan
konseling teknokratis salah dalam menilai kepentingan simbolis dari
analisis di dalam mengesahkan keputusan kebijakan yang dibuat pada dasar-dasar
politik.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Apapun keputusan
akhir dari kontroversi tersebut, adalah jelas bahwa lingkungan masyarakat
pada saat ini dan masalahnya telah berubah secara dramatis. Usaha-usaha
untuk mengembangkan prosedur yang baru dan lebih baik untuk menghasilkan
informasi yang akan memberi sumbangan kepada resolusi permasalahan publik
bukanlah semata-mata tugas intelektual ataupun tugas ilmiah, tetapi
pada dasarnya bersifat politis. Analisis kebijakan melekat di dalam
proses politik yang merefleksikan konflik nilai dari beberapa kelompok
masyarakat yang memperjuangkan visi mereka sendiri tentang pengembangan
sosial.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Sumber:</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">William N.
Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, terjemahan.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-32007628931564594392010-12-18T01:17:00.008+07:002010-12-18T04:21:22.329+07:00The Making of the Big Bang and its Aftermath A Political Economy Perspective (Part 2 of 3)<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Bert Hofman and Kai Kaiser
World Bank</b><sup><b>1</b></sup></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Paper
Presented at the Conference: <WBR>
CAN DECENTRALIZATION HELP REBUILD INDONESIA?</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>A
Conference Sponsored by the International Studies Program,
Andrew Young School of Policy Studies, <WBR>
Georgia State University</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>May 1-3 2002</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Atlanta,
Georgia</b></font> <br> <br></p>
<ul><p><font size="3" face="Times New Roman"><b>2. Issues in Administrative
Decentralization</b></font></p></ul>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Law 22 of 1999
devolves most functions of government to Indonesia’s regions—currently
30 provinces and over 348 districts and cities. The key exceptions (Art.
7) are national defense, international relations, justice, police, monetary,
development planning, religion, and finance. The districts must perform
important functions (Art.11), including health, education, environmental
and infrastructure services. The province as anautonomous region
has only a minor role, mainly in coordination, and backstopping districts
and cities that cannot yet perform their functions—which may be an
opening for an expanded provincial role. Law 22 explicitly states
that there is no hierarchical relationship between the province as an
autonomous region and the district. The province will also continue
to perform deconcentrated central tasks, and is the central government
representative in the regions. Implementing regulations (PP25/2000)
further specify the remaining roles of the central and provincial governments,
including setting standards for service delivery.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The regional
councils directly elect the head of region, although this election needs
confirmation by the President (Art. 40). The DPRD can dismiss
a head of region as well, but unlike the situation at the national level,
DPRD and head of regions are supposed to be partners of the regional
government (Art.16) after the collegial model as it exists for instance
in the Netherlands. The central government can annul regional
bylaws and regulations that conflict with national laws and regulations
(Art. 114), but the regions can appeal to the Supreme Court against
the center’s decision—at least according to the law. Urban areas
(Art. 92) are obliged to include community and private parties into
development planning. No such obligation exists for rural areas.
The intergovernmental regional autonomy advisory board with representatives
from the center and the regions is to advise the President on issues
concerning decentralization, and approves requests for new regions that
can be originated from the government of existing regions.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Whose function
is it anyway?</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"> More than
one year into decentralization, much unclarity remains on what exactly
has been decentralized. Law 22 does not define local government
functions directly, but only by specifying what the center (Art.7) and
the province (Art 9) do. Article 11 specifies local government
obligatory functions, but not to a level of operational detail.
PP 25/2000 is not much help here, as it focuses on the remaining functions
of central and regional governments. This legal framework of “general
competency” rather than ultra vires definition of function as embedded
in Law 5/1974 is unusual for local governments. It is also more
radical than the subsidiarity principle—which was apparently the inspiration
of the drafting team.<sup>9</sup> Subsidiarity as a principle
would not call for a limited list of central functions in the law, but
for a process by which decentralization or centralization is determined,
while specifying the principles that guide the process.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Omission of
a general clause in the law to state that local government is bound
by national law (omitted because the drafting team felt it was obvious<sup>10</sup>)
further obscured the exact extent and nature of decentralization.
This confusion was further increased by TAP MPR III which determined
the hierarchy of laws, but omitted the ministerial decree as a legal
instrument.<sup>11</sup> Unfortunately, much of the detail on
government functions is contained in such ministerial decrees.
Moreover, even though regional regulations (PERDAs) are placed below
central government legal instruments such as government regulations
and Presidential Decrees, arguably organic regional regulations (i.e.
based directly on a law that delegates regulatory responsibility to
the regions) should take precedent over central regulations and decrees
without a direct basis in the law. Worse, some central agencies,
notably those for Land management and for Investment Approval have managed
to get a Presidential Decree issued which exempts their authorities
from decentralization as Law 22/99 calls for. And the adjustment
of sectoral laws to align them with regional autonomy, as is called
for in Law 22/99 Art. 133. Finally, the revised Art.18 of
the constitution now calls for central functions to be regulated by
Law, and the question is whether that law is Law 22/99, or whether a
separate law is called for to specify these functions.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The bottom
line of all this is that the distribution of functions, let alone the
expected performance in exercising the functions, is still far from
clear. Beyond causing utter confusion in the regions, this state
of play not only undermines accountability of the regional government,
but also hampers judgment on the vertical distribution of fiscal resources
(see below). The confusion has not stopped central government
to embark on an effort to have the regions “recognize” their functions
in a positive list that is to be cleared by Presidential Decree.<sup>12</sup>
Without deeper understanding and agreement on the functions themselves,
and the minimum standards for these functions, recognition of these
functions seems distracting at best.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">One way forward
is currently under debate in Indonesia. First, international agreements
and sectoral laws could be screened on commitments on service delivery
standards already made. For instance, the Education Law guarantees
9 years of education for all. Second, central government and regions
could embark on a process that would establish agreed standards of services
in key areas, while taking into account the regions’ fiscal and human
resource capacity. Standards thus agreed could then become the
basis for monitoring and supervision, and possibly sanction. In
all likelihood, these standards will vary widely per region, given Indonesia’s
wide diversity in capacity. Meanwhile, a process to align sectoral
laws with Law 22/99 could start, and the revisions could further specify
the functions, and service standards, and which of those standards are
to be considered as binding and sanctionable under PP20/2001 Art.16.
Those sanctionable standards are likely to be few.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Levels of
Government, Size of Local Governments, and Economy of Scale</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Law 22/99 assigns
most responsibility to the local government level. The provincial
level only has coordinating functions, a role in issues that surpass
district boundaries, or they can perform local government functions
for those unable to perform the functions. The Province has a
potential role in performing task on behalf of the districts, but little
initiative has been undertaken to exploit this possibility under the
law.<sup>13</sup> The fact that the law explicitly states that
there is no hierarchical relation between the province and the local
governments did not help the province in gathering the local governments
to plan for joint operation of functions and facilities. As a
result, tasks with large externalities and significant economies of
scale such as watershed management, sea management, communicable disease
control, and others are likely to be left unperformed or underprovided.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Scale economies
are also at risk because of the size of local governments. This
is likely to get worse in the near future due to the apparently unstoppable
tendency to create new regions—both provinces and local governments.
The number of local governments since Law 22 passed has increased from
less than 300 to 348 in 2002, with over 20 new ones expected for 2003,
and the number of provinces increased from 26 to 32 (including the apparently
defunct new provinces on Irian Jaya). The regions already show
a wide variety in population size: provinces range from less than 800,000
inhabitants (Gorontalo) to over 35 million (East Java), and local governments
from 24,000 to 4.1 million. Creation of new regions—which requires
a law—is driven by several considerations, including historic and
ethnic ones. But the wish to create a new region is likely to
come from fiscal incentives as well. For one, if a district has
a significant amount of natural resource revenues it will be better
off to become a province, as it then no longer need to share the revenues
with surrounding districts, or with the originating province.
Urban areas are more likely to receive a share of the personal income
tax than rural areas, and they have an incentive to split off from the
kabupaten they are part off. And in the new DAU system, every
region gets a lump-sum amount, thus creating incentives for each region
to split up.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Creating more
and more regions is not without consequence. Information on the
wage bill of local government per capita of the population seems to
point at sharply decreasing efficiency at the level of about 500,000
people (Figure). The districts with less than 100,000 people have
about twice the wage bill per capita that those districts with 500,000
people have. Some of the difference could perhaps be explained
by geography or a negative correlation between population size and density—thereby
necessitating a larger civil service to supply the same amount of services.
But prima facie the suggested scale economies would argue for consolidation
of regions rather than the creation of new ones.</font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center"><img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8JAaoMceoGSIE_f4RQ2UA8vYjEimg55T0k5fUedHM3LaOcuA6MI_yr5u9o7ujbvbKeh0Yc8OYz3JdJL18CojdDrav7pFqsDTj1heTnuawJJEc8tCobdgb71CtPJMBZUmd8oUhGrJ7HJE/s320/Figure1.jpg" title="Figure 1" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551731872478301474" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Governance
and Accountability</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The potential
benefits of decentralization depend crucially on governance. By all
accounts, the jury on the link between decentralization and the prospects
for improved governance at the local level is still out, and<sup>14</sup>
several concerns about the prospects of decentralization/devolution
in developing countries.<sup>15</sup> On the one hand government
closer to the people reduces monitoring costs of the electorate, and
competition among local governments could drive out corruption.
On the other, local governments seem to be more prone to elite capture. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The fall of
New Order regime in 1999 and the subsequent “Big Bang” decentralization
of 2001 promised to fundamentally change the locus of responsibility
and accountability for public service delivery in Indonesia. By
“bringing government closer to the people,” decentralization can
serve as a driving force towards generating improvements in Indonesia’s
notably poor governance environment. Symptomatic of this governance
environment is that Indonesia continues to be perceived as suffering
from one of the highest internationally levels of corruption.
This has proven corrosive to both public service delivery and the private-sector
environment.<sup>16</sup> </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Numerous governance
issues have received public attention in Indonesia. These include
money politics (“politik uang”), centered especially on concerns
that local elections for regional heads have been increasingly bought.
Local political elites in executive and legislature has to the political
aspirations of the wider populations (“politik elit”). The
new local heads have increasingly started acting a little kings (“raja
kecil”) who are neither accountable to central authorities, or their
local constituencies. Meanwhile, rent-seeking has proliferated
in many regions due to the proliferation of these new actors and increased
the dangers of overgrazing (many hands of “campur tangan”).</font><font size="3" face="p"><sup>17</sup></font><font size="3" face="Times New Roman">
This problem is accentuated by the belief on some parts of the executive
and legislative that their tenures are limited, and hence their access
to rents is limited as well.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">To blame decentralization
per se for these weaknesses seems far fetched. Moreover, the weaknesses
in governance at the regional level should be considered relatively
to those taking place at the center. Whether these incidences
of weak governance are systematic remains to be seen. In part,
weak accountability of the head of region could be temporary: many heads
of regions have not yet been elected, but were appointed by the government
before local elections took place. The vaguely defined authorities and
functions of the regions undermines accountability as well, but these
are likely to become clearer over time. But other, more fundamental
causes seem at work as well. One issue is Indonesia’s strong
party system that limits the interest local councilors take in their
local constituents. Another is that Government Regulations on the accountability
of the head of region have strengthened the position of the head such
that it has become almost impossible for regional parliaments to fire
him. And finally, absence of formal accountability mechanisms
such as external audit of regional governments also undermines accountability.</font> <br>
<br> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>References</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>1 </sup>
The findings, interpretations and conclusions expressed in this paper
are entirely those of the authors. They do not represent the views of
the World Bank, its Executive Directors, or the countries they represent.
This paper draws on the forthcoming World Bank Regional Public Expenditure
Review for Indonesia, and on Hofman, Kaiser and Kajatmiko (2001). The
authors wish to express thanks to Jorge Martinez, Roy Bahl, Richard
Bird, Roy Kelly, Dana Weist, Blane Lewis, Bernd May, and Machfud Sidik
for the many helpful discussions on the topic of the paper. We thank
Fitria Fitriani for excellent research assistance.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>9</sup>
Gabe Ferazzi, (2002): Obligatory Functions and Minimum Standards: A
Preliminary Review of the Indonesian approach GTZ SfDM, Report No/2002-2,
March.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>10</sup>
Conversation with Bernd May. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>11</sup>
The then-Minister of Justice argued in a letter to all ministries that
the MPR decision constitutionally higher than a law) does not apply
as far as ministerial decrees are concerned. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>12</sup>
The “positive list” approach came from an idea mentioned in an IMF
technical assistance report in the year 2000. The report argued
that no judgment on assignment of revenues could be made without a detailed
costing of expenditure assignments.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>13</sup>
One exception familiar to the authors are the two Provincial Health
Projects financed by the World Bank. These projects create province-level
cooperative structures among he local governments to develop and implement
province-wide health policies.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>14</sup>
Save for a brief federalist constitution in the wake of independence
from Holland in 1949, Indonesia’s prevailing constitution of 1945
is that of a unitary state. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>15</sup>
See for example Crook and Sverrisson (1999) or Azfar et al. (2000;2001). </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>16</sup>
See for example O.B. Server (1996) and Partnership for Governance Reform
(2001)</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>17</sup>
In December 2001, the Head of the DPR’s budget commission, Benny Pasaribu,
created a stir when he claimed that 40 percent of the General Block
Allocation Grant (DAU), implicitly arguing that more control and oversight
from the center was needed (Jakarta Post 2001a). Arguably capacities
differ widely by islands. On islands like Java-Bali capacities
can generally be argued to be sufficient, which the situation more difficult
in Local Governments in some of the Outer Islands.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-15310614336497589182010-12-12T15:24:00.001+07:002010-12-12T15:28:27.878+07:00Tanggung Jawab dan Beban Kerja di Satuan Kerja Pengelolaa Keuangan Daerah (SKPKD) Kabupaten Jombang<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Satu-satunya
satuan kerja yang memiliki fungsi sebagai Satuan Kerja Pengelola Keuangan
Daerah (SKPKD) di Jombang adalah Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan
dan Aset Daerah (DPPKAD). Secara historis DPPKAD merupakan unit organisasi
hasil transformasi dari Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) yang
berasal dari peleburan tiga unit kerja yaitu Dinas Pendapatan, Bagian
Keuangan Setda dan Bagian Kas Daerah Setda.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Peleburan ini
merupakan tuntutan reformasi birokrasi di bidang pengelolaan keuangan
daerah yang diawali dengan terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara yang kemudian disusul dengan beberapa paket regulasi keuangan
seperti UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah,
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah yang kemudian dirubah dengan Permendagri No. 59 Tahun
2007 tentang Perubahan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. Rangkaian perubahan regulasi tersebut merupakan tuntutan
masyarakat dan upaya sistematis pemerintah dalam menjalankan reformasi
birokrasi di bidang pengelolaan keuangan negara/daerah.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Paket regulasi
keuangan negara/daerah di atas, satu sisi memberi ”angin segar”
dalam upaya menciptakan <i>good governance governmen</i> yang telah
lama didambakan masyarakat. Namun, di sisi lain menuntut pengelola keuangan
daerah khususnya Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) bekerja
lebih hati-hati, jeli dan tidak boleh melakukan kesalahan mengingat
resiko pekerjaan yang terkait secara langsung pada sanksi hukum yang
relatif tidak ringan, sementara sistem pertanggung jawaban dan pelaporan
keuangan daerah memiliki sistem kerja dan pengawasan yang berlapis dan
membutuhkan alokasi tenaga dan waktu yang lebih besar.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sebagai satu-satunya
Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), DPPKAD memiliki tanggung
jawab dan beban kerja yang tidak ringan. Selain menjalankan fungsi administrasi
internal yang dilaksanakan Tata Usaha, DPPKAD juga berfungsi sebagai
konsolidator di bidang Pendapatan, Anggaran, Bendahara Umum Daerah,
Aset dan Akuntansi serta pengelolaan gaji PNS yang juga dikelola Tata
Usaha. Sedangkan fungsi khusus lainnya yang memiliki beban dan resiko
pekerjaan relatif lebih berat adalah pengelolaan dana bantuan keuangan
dan dana hibah.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dari perspektif
pengambilan keputusan, semua fungsi di atas membutuhkan pengambilan
keputusan yang lebih hati-hati, jeli, cepat, tepat dan cerdas dengan
memperhatikan sinergitas berbagai aspek tuntutan pelayanan, suasana
lingkungan politik dengan semua regulasi yang mengatur proses dan pertanggung-jawabannya.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam menjalankan
fungsinya, DPPKAD memiliki aktivitas utama menjalankan kewajibannya
menyediakan layanan terkait dengan pengelolaan keuangan mulai dari perencanaan
anggaran daerah, transaksi penerimaan daerah, permintaan pencairan dana,
pengendalian aset dan pengelolaan gaji PNS dalam suatu sistem akuntansi
yang berakhir pada penyusunan laporan pertanggung jawaban. Semua aktivitas
utama tersebut menuntut penyelesaian dalam waktu yang singkat. Hal ini
tentu menguras energi dan waktu jam kerja efektif pada umumnya, mengingat
volume pekerjaan yang tidak sedikit dan perlu kejelian dalam penyelesaiannya
agar tidak terjadi kesalahan baik kesalahan administratif maupun kesalahan
berupa pelanggaran hukum atas peraturan yang berlaku.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Secara fakta
dalam aktivitasnya sehari-hari, setiap pegawai di DPPKAD dituntut memiliki
kesadaran tinggi atas penyelesaian tugasnya masing-masing. Karena jika
tidak, pekerjaan baru keesokan hari akan menambah beban yang lebih tinggi
mengingat kompleksitas masing-masing pekerjaan yang relatif rumit dan
membutuhkan keahlian khusus. Selain itu, penundaan pekerjaan memiliki
dampak yang lebih luas dari sekedar beban kerja, yaitu berupa penghambatan
jalannya ”roda” pemerintahan dan pembangunan daerah.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Hal ini yang
menyebabkan sering terlihat banyak pegawai di DPPKAD menyelesaikan tugasnya
hingga larut malam bahkan tidak jarang sampai dini hari dan sering pula
penyelesaian tugas tersebut dilaksanakan pada hari libur kerja.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Selain hal
tersebut, selaku konsolidator, DPPKAD memiliki kewajiban melaksanakan
konsolidasi tugas yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah dengan
semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) yang ada di Kabupaten Jombang. Aktivitas konsolidasi ini, sering
dilakukan berminggu-minggu tanpa putus baik pada saat jam kerja efektif
maupun di luar jam kerja efektif.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Hal ini terjadi,
khususnya pada saat Penyusunan APBD, Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD), pelayanan PBB terbuka untuk masyarakat (bulan panutan),
sensus barang milik daerah, permintaan pencairan dana menjelang hari
raya idul fitri dan akhir tahun atau pada saat terjadi perubahan/kenaikan
gaji PNS secara nasional. Hal serupa juga terjadi pada saat BPK melakukan
auditing LKPD yang mengharuskan semua pegawai di DPPKAD siap setiap
saat dalam melayani permintaan auditor BPK untuk menyiapkan dokumen-dokumen
pertanggung-jawaban yang hendak di audit.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Di luar itu,
pencairan dana bantuan keuangan dan/atau dana hibah juga cukup menyita
waktu dan energi. Petugas yang terlibat diharuskan memiliki kesabaran
lebih tinggi mengingat pada umumnya penerima bantuan keuangan adalah
masyarakat umum dalam jumlah yang besar dan <i>notabene</i> memiliki
keterbatasan pengetahuan tentang syarat administratif yang dibutuhkan,
sehingga petugas harus meluangkan lebih banyak waktu untuk menjelaskan
secara persuasif persyaratannya. Meskipun persyaratan tersebut sudah
dicantumkan atau telah diinformasikan pada saat pengajuan proposal.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Terkait dengan
diterbitkannya UU No. 8 Tahun 2008 tentang Pajak Daerah yang mengamanatkan
penyerahan beberapa urusan pajak kepada daerah kabupaten/kota diperlukan
berbagai persiapan dan memiliki implikasi pada penambahan potensi beban
kerja yang lebih besar. Potensi beban kerja yang dapat diidentifikasi
secara dini adalah pekerjaan analisis pajak, pendataan, penerbitan dokumen
dan proses penerimaan daerah. Hal tersebut tentu saja membutuhkan keahlian
khusus dan persiapan yang matang sehingga penerimaan pajak daerah bisa
meningkat, baik secara agregat maupun secara rasio namun tidak menghambat
laju pertumbuhan ekonomi daerah.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-51901778143933358032010-12-10T10:30:00.002+07:002010-12-10T20:33:16.189+07:00Sistem Keseimbangan Reward dan Punishment untuk Reformasi Birokrasi<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kesan atas buruknya pelayanan
instansi pemerintah merupakan tantangan berat yang harus dihadapai dalam
proses reformasi birokrasi. Beberapa kesan yang berhasil ditemu-kenali
telah memberikan gambaran umum pelayanan publik yang secara bertahap
tetapi pasti harus dibenahi.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam beberapa kasus,
layanan yang diberikan terkesan terlalu birokratis, tidak transparan,
terlalu panjang dan dirasakan seringkali berbelit-belit. Hal ini juga
diperburuk oleh kurangnya <i>spirit</i> pelayanan prima oleh aparat
penyedia layanan. <i>Spirit</i> bahwa birokrasi berkewajiban melayani
masyarakat dan tidak untuk dilayani belum melekat pada budaya kerja
aparatur.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Selain itu, layanan yang
diberikan kurang didukung oleh aparat yang kompeten dan profesional.
Keluhan tidak profesionalnya pelayanan publik yang muncul dari masyarakat
seringkali diperburuk oleh rendahnya kompetensi aparat. Kondisi ini
pada giliranya akan berpengaruh kepada kinerja pelayanan kepada publik
secara keseluruhan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pada beberapa jenis layanan
publik masih ditemukan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Kondisi ini umumnya terjadi karena adanya beberapa situasi yang
saling mempengaruhi satu dengan lainnya.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Di satu sisi, kondisi
aparat dengan tingkat penghasilan yang relatif rendah terperangkap dalam
mental dan perilaku korup. Di sisi yang lain, masyarakat pengguna layanan
juga belum memiliki <i>spirit</i> untuk mendahulukan yang lebih berhak,
dan belum sepenuhnya mau melaksanakan semua kewajibannya secara benar.
Sebagian masyarakat bahkan menempuh jalan pintas untuk memperoleh berbagai
fasilitas pelayanan yang menguntungkan diri sendiri, meski akibatnya
akan berdampak buruk terhadap kinerja pelayanan publik secara keseluruhan.
Untuk itu, upaya pemberantas KKN tanpa pandang bulu diharapkan akan
mendorong komitmen berbagai pihak untuk secara bersama-sama menghilangkan
kebiasaan buruk tersebut.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sehubungan dengan hal
tersebut, berbagai langkah kongkrit seharusnya dilaksanakan dengan mengkaitkan
secara langsung antara kinerja layanan, kompetensi aparat, tanggung
jawab dan resiko pekerjaan dengan kesejahteraan pegawai sebagai langkah
positif untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Untuk dapat memberikan
pelayanan terbaik ada tiga hal yang harus dibenahi, yaitu: <b>Pertama,</b> <b>
organisasi</b> harus diatur dan disusun berdasarkan fungsi untuk menghasilkan <i>
output</i> dan <i>outcome</i> yang sesuai dengan pelayanan yang diharapkan
masyarakat/pelanggan. <b>Kedua</b>, <b>proses bisnis</b> juga harus
dibenahi agar tidak saja akuntabel dan transparan, tetapi juga ringkas,
singkat dan murah. <b>Ketiga</b>, untuk menjalankan itu semua dibutuhkan <b>
SDM</b> yang kompeten serta bekerja secara terukur dan disiplin.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Program pembenahan tiga
hal di atas dapat dijalankan apabila sistem <i>reward </i>
dan <i>punishment</i> dijalankan secara seimbang. Keuntungan dari penerapan
sistem <i>reward </i>dan <i>punishment</i> yang seimbang adalah: menurunnya
peluang korupsi; budaya kerja semakin baik; dan keluhan masyarakat/pelanggan
menurun. Keuntungan lain dari penerapan sistem <i>reward </i>
dan <i>punishment</i> yang seimbang adalah terbentuknya sinergitas antara
kinerja, integritas serta disiplin pegawai.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Secara umum hubungan
antara penerapan sistem <i>reward </i>
dan <i>punishment</i> yang seimbang dengan terbentuknya sinergitas antara
kinerja, integritas serta disiplin pegawai adalah:</font></p>
<ol type="1">
<li><font size="3" face="Times New Roman">Setiap pegawai dituntut menghasilkan
kinerja yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan dan organisasi</font></li>
<li><font size="3" face="Times New Roman">Memiliki integritas yang sesuai
dengan tuntutan organisasi dan masyarakat</font></li>
<li><font size="3" face="Times New Roman">Disiplin dalam melaksanakan
tugas dan menaati jam kerja</font></li>
<li><font size="3" face="Times New Roman">Setiap pelanggaran kinerja,
integritas dan disiplin, diancam dengan sanksi pemotongan <i>rewards</i>
yang menjadi hak pegawai yang bersangkutan</font></li>
</ol>
<br>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Keseimbangan <i>reward </i>
dan <i>punishment</i> paling tidak membutuhkan empat syarat, yaitu: <b>
Pertama</b>, dilakukan dengan cara diskriminasi dengan penerapan <i>
job grading </i>(pemeringkatan kerja). <b>Kedua</b>, analisis beban
kerja. <b>Ketiga</b>, <i>Standard Operating Procedures</i> (SOP). <b>
Ke-empat</b>, <i>assessment centre</i> (pusat penilaian). Sementara
pelaksanaannya dapat dilakukan secara bertahap, dengan memilih salah
satu satuan kerja sebagai <i>pilot project</i>.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Di dalam sistem birokrasi
publik di negara-negara yang relatif bersih, kita selalu bisa menyaksikan
bahwa prinsip <i>reward</i> dan <i>punishment</i> yang seimbang benar-benar
ditegakkan. Kita bisa perhatikan bagaimana mekanisme ini berjalan di
Singapura, sebuah negara kecil yang relatif berhasil mengendalikan korupsi
dalam bentuk suap.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Ketika seorang pengemudi
mobil di Singapura melakukan pelanggaran karena parkir tidak pada tempatnya
dan tertangkap basah oleh seorang petugas polisi, sistem <i>reward and
punishment</i> langsung berjalan. Seandainya pengemudi mobil akan menyuap
polisi, dia harus berhitung apakah polisi tersebut bisa disuap dan tidak
melaporkan niat menyuap tersebut kepada pejabat kepolisian yang lebih
tinggi. Jika setelah terjadi suap, polisi itu melaporkan kasusnya, justru
penyuap akan mendapat denda lebih berat dan polisi tadi akan mendapat
imbalan, misalnya dalam bentuk <i>credit point</i> untuk kenaikan pangkatnya.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Hal yang sama terjadi
dari pihak si polisi, seandainya dia ingin menerima suap, dia harus
memastikan bahwa pengemudi mobil itu tidak akan melaporkan dirinya ke
divisi <i>Internal Affairs</i> di kepolisian. Jika ternyata pengemudi
mobil melaporkan polisi tersebut, dia akan mendapatkan keringanan denda
sedangkan petugas polisi tadi akan mendapatkan catatan kondite buruk,
mungkin bisa diturunkan pangkatnya.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-60419549864435112462010-08-11T17:37:00.002+07:002010-12-18T04:19:21.422+07:00The Making of the Big Bang and its Aftermath: A Political Economy Perspective (Part 1 of 3)<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Bert Hofman
and Kai Kaiser</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>World Bank</b><sup>1</sup></font> <br>
<br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Paper Presented
at the Conference:</b></font> <br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>CAN DECENTRALIZATION
HELP REBUILD INDONESIA?</b></font> <br> <br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>A Conference
Sponsored by the International Studies Program,</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Andrew Young
School of Policy Studies,</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Georgia State
University</b></font> <br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>May 1-3 2002</b></font> <br>
</p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Atlanta,
Georgia</b></font> <br> <br> <br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Abstract</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Indonesia’s
2001 decentralization was a “Big Bang,” indeed. Much of the
apparatus of government was transferred to the regions in the course
of the year, the regional share in government spending jumped steeply,
and a completely new intergovernmental fiscal system was put in place.
Surprisingly little went wrong in the logistics of this radical, hastily
prepared move born amidst the political turmoil in the aftermath of
the New Order government. But now that the dust is settling on
the first year of decentralization, several key issues have started
to emerge—some of them touching the very nature of decentralization
itself. In addressing these issues, the government needs to carefully
balance its desire to maintain a unitary state with the aspirations
of the regions, and the opportunities offered by a more decentralized
system of government.</font></p>
<ol type="1">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>The Making of
the Big Bang</b></font></li>
</ol>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Indonesia’s
2001 decentralization is rapidly moving the country from one of the
most centralized systems in the world to one of the most decentralized
ones. Law 22 of 1999 gives broad autonomy to the regions in all
but a few tasks that are explicitly assigned to the center—including
defense, justice, police and planning. With the authority come
the resources, lots of them. In the first year, the regional
share in government spending jumped from 17 percent to 30 percent.
Over time, with the current assignments of functions, this share is
likely to rise to over 40 percent, a sharp contrast with the average
[15] percent of spending in the 1990s. This share is also much
larger than can be expected on the basis of Indonesia’s size—whether
measures in population or geographical size. In addition to spending,
much of the apparatus of government was put under the control of the
regions. Over 2 million civil servants, or almost 2/3 of the central
government workforce, was transferred to the regions. Now, out
of a civil service of 3.9 million, some 2.8 million are classified as
regional. And 239 provincial-level offices of the central government,
3933 local-level offices,<sup>2</sup> more than 16,0000 service facilities—schools,
hospitals, health centers-- were transferred rock stock and barrel to
the regional governments throughout Indonesia.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Decentralization
and Diversity</b>: Decentralization makes sense for a country
as diverse as Indonesia. Spread out over 5,000 kilometers and
over 13,000 islands, the country has more than 300 identified languages
and about [20] distinct cultural groups. Its geography ranges
from the swampy flatlands of coastal Java to the steep mountain peaks
of Irian Jaya, the extensive rainforests of Borneo to the dry islands
of East Nusa Tenggara. Economic development differs as widely:
Jakarta’s level of income per capita fits that of a higher middle
income country such as Brazil—and it has the towering high rises to
match this. At the other end of the scale, regions such as West
Lampung or the regency of Grobogang in West Java barely have one-tenth
of Jakarta’s per capita income. And whereas barely 10 percent
of the students in Sambang, East Java make it into senior high school,
over 85 percent of the young in North Tanapuli on Sumatera do so.
Resource-rich regions such as Aceh Utara, Riau and East Kalimantan would
by themselves be some of the major oil exporting countries in the world.
Other regions such as NTB remain predominantly agricultural.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Such diversity
in geography, culture, natural and human resource endowment suggests
a large variety in the need for government services, and an equally
large disparity in the costs of delivering these services—the classic
arguments to makes decentralization an attractive proposition.
At the same time, this diversity could argue against decentralization
if government wants to ensure a certain minimum level of welfare as
an expression of the unity of the country. Thus the Government
must strike a balance between Unity and Diversity. The New Order
regime (1966-98) clearly did not strike the right balance in its closing
decade: on the back of the oil boom it built up a strongly centralized
government apparatus that controlled the bulk of government resources.
Yet, in this, the New Order was hardly alone.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>A brief
history of decentralization</b>: The 2001 Big Bang was hardly
Indonesia’s first attempt to decentralize. Starting back in
colonial times, there have been numerous attempts to do so, but none
became a success. Still in colonial times, the first municipalities
were created in 1905, followed by the first districts (“gewesten”)
in 1910, and the first provinces on Java in the 1920s.<sup>3</sup> After
the proclamation of independence, Indonesia’s first law—Law 1/1945—dealt
with regional autonomy,<sup>4</sup> which was alsospecified in article
18 of the 1945 constitution that established the Republic of Indonesia
as a unitary state. Meanwhile, the Dutch started to set up several
Indonesian republics on the islands outside Java, and all united under
the Dutch crown. This was largely a political move against the
Republik Indonesia as a means to argue that Republik Indonesia was only
one part of Indonesia seeking independence from the Dutch This
move resulted in the handing over of sovereignty to the United Republics
of Indonesia—a federal state within a commonwealth with the Netherlands.
The United Republics lasted for less than a year, and the 1950 constitution
reverted to a unitary state. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Law No 1 of
1957 tried to revitalize regional autonomy, but these attempts were
aborted after the outbreak of regional unrests on Sumatra, Sulawesi,
and in West Java. Presidential Decision No. 6 of 1959 brought back the
1945 constitution, and effectively abolished the 1957 autonomy law.
[Law 18/1965] It was not until Law 5/1974 that the issue of regional
autonomy was raised again. This law whose implementing regulations
started to dribble in only in 1992, was never fully implemented.
Although the authorities of the regions did not differ much from the
current decentralization law, the regions had to prove they were ready
for implementation—and the center was the judge and the jury. An experimental
implementation in 26 districts took off in 1996, which was fraught with
difficulties—not least because resources and facilities were not handed
over together with the tasks.
The experiment was taken over by events, when in the aftermath of the
1997 economic crisis and the fall of Suharto’s New Order two new laws
on regional autonomy were passed—law 22 and 25 of May 1999</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>The Politics
of the Big Bang</b>: The failure of the earlier attempts to decentralize,
combined with the extraordinary political circumstances in 1998 became
fertile ground for a Big Bang approach to decentralization. The
call for democracy had driven out Suharto, and had discredited the heavy-handed
centrist ways of the New Order. Long-suppressed regional separatist
tendencies reappeared, and especially in regions with long-standing
armed conflicts such as Aceh and East Timor the clamor for independence
became louder and louder. Added to this was the resentment resource-rich
regions felt against the central government who had “stolen their
natural resources.” Suharto’s successor President Habibie,
who had no intention of remaining just an interim president, nor one
presiding over a disintegrating Indonesia, was seeking actively the
support of the regions and regional autonomy seemed the instrument of
choice. The instruction from cabinet to develop new laws
on regional autonomy was picked up by a group of bureaucrats in Home
Affairs, charged with drafting the administrative law.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Those that
produced the early drafts were simply good bureaucrats that wanted
to implement the presidential orders. But they were later joined
by strong political proponents for decentralization, including Ryaas
Rashyed, who was later to become the State Minister for Regional Autonomy.<sup>5</sup>
Increasingly, regional autonomy was considered to be, and
presented as the natural complement to the emerging democracy at the
central level. Yet, the drafting of the law remained largely a
bureaucratic one, with little feedback from the politicians, and even
less consultations with the regions. By the time the first drafts
saw the light in end-1999, the basic structure for a radical decentralization
was set.<sup>6</sup></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tight deadlines
and revenue assignment made Indonesia’s decentralization even more
radical. By law, within a year from approval, all implementing
regulations were to be prepared, and by January 1, 2001—a year and
a half after Parliamentary approval—the laws had to be implemented.
These deadlines undoubtedly entered the law to prevent Law 22/1999 becoming
just one more decentralization law that never was implemented.
The aggressive assignment of revenues to the regions added to the pressure
on Government. Although MOF, at the advice of IMF and World Bank,
had removed the specific assignment of revenues to the regions,<sup>7</sup>
Parliament brought these right back in. For central government, the
choice was now to either break the law, or to devolve as much expenditures
as possible to minimize the impact on the central government deficit.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The provinces
survived by chance. The President’s intend was to decentralize
rapidly and radically to local governments, but to eliminate the provinces.
These had been the center of the regional unrests in the 1950s, and
the military only wanted to go along with regional autonomy if there
was no chance of a rerun. In their eyes, local government was
easier to control than the larger, and thus potentially more powerful
provinces.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">By the time
the decentralization laws saw their first draft, new election laws had
been finished which specified in detail how the provincial parliament
and the head of the province was to be elected. Since one could
not have a parliament and head of region without a government, it was
decided to put the provinces back in, albeit with a limited role.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Countdown</b>:
The tight deadlines and radical decentralization required a highly focused effort for implementation. Yet, this never came about. Key politicians
and bureaucrats were first distracted by the Parliamentary elections of July 1999, and subsequently by the presidential elections of October, 1999. A presidential decree set up an inter-ministerial implementation team (“Tim Keppres 157”) but this never really functioned—not least because of the significant rivalry between the constituting agencies, especially MOHA and MOF. It almost died when the coordinating Ministry for State Organization, which was in charge of Tim Keppres
157, was abolished itself when President Gus Dur assumed power. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The key line
ministries were outright obstructionists. They felt they had everything
to lose from decentralization, as the laws would abolish their deconcentrated
apparatus, and with it their control over projects, resources, and perks.
While the newly elected President set up a State Ministry for Regional
Autonomy in November 1999, it was not until April 2000 that it obtained
the authority to take the lead in implementing decentralization.
Throughout its existence, it lacked the apparatus and the people to
make it work. It was therefore no surprise that by the time of
the first deadline only one of the numerous implementing regulations
were actually ready, leaving much uncertainty in the regions about things
to come. Moreover, because of the attitude of the line ministries,
the regulation that was supposed to further specify administrative responsibilities
of the various levels of government, lacked the sectoral details necessary
for the regions to understand their task. The legislator itself
did not help clear up this confusion. A decree of the MPR, the
consultative assembly and the highest constitutional body of Indonesia.
passed in the fall of 2000 called at the same time for implementation
of the decentralization laws, and a revision of those very laws.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Ironically,
only after the abolishment of the Ministry of Regional Autonomy in August
2000 did preparation pick up again. The Ministry of Home Affairs
became yet again the lead agency, and Government now started to issue
implementing regulations in quick succession—on organizations of the
regions, on civil service, on financial management, on revenue sharing,
and on the general grant distribution.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Safeguards</b>:
In the run-up to January 1, 2001, some key safeguards were put in place.
First, Central Government banned regions from new borrowing in 2001,
except through the center. Although Law 25 allowed the regions
to borrow, and Government Regulation 108 provided affordability limits
to borrowing by individual regions, this would not have assured that
aggregate regional borrowing was in line with macroeconomic requirements.
In the 2001 budget, the Government also included a contingency fund
of Rp. 6 trillion, of which half was used by mid-September. The
speed of decentralization and the new intergovernmental fiscal framework
made it virtually impossible to match decentralized expenditures with
the needed revenues, and despite transitional elements in the general
grant allocation formula, mismatches were going to be inevitable.
The contingency proved to come in handy, especially at the provincial
level. Finally, Central Government decided to continue to pay
the formerly central civil servants for a transitional period of 5 months,
while deducting the wage bill from the general grant allocation to the
regions. This assured a much smoother transition of personnel
than many anticipated.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">The safeguards
were, however, not enough, and the Government had to apply an emergency
break to save central finances from getting out of control as a result
of decentralization. The emergency break applied was to disburse
the transfers to the region as per budgeted amount, not as per actual
revenues as Law 25/99 and Pp 104/99 prescribed. This little observed
measure saved the center more than Rp. 10 Trillion. The reason
for squeezing the regions in this way was that the central government
had underestimated t he new budget dynamics that resulted from decentralization.
Whereas before decentralization a rise in the oil price and a depreciation
worked out positively for the central budget, after decentralization
it worked out negatively. The reason was that the increased
revenues from depreciation and oil had to be shared with the regions,
whereas the increased spending on fuel subsidies that also resulted
were to be borne solely by the center.<sup>8</sup> Fortunately for the
center, hardly any of the regions noticed.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>One
year after</b>: One year into Indonesia’s decentralization,
it is fair to say that the program started off much better than many—including
the World Bank—expected. There were no mayor disruptions of
services, civil servants got paid by and large, and with the exception
of some teachers striking for the pay-out of the retroactive wage increases,
little of the feared unrest substantiated. And although a significant
part of the regulatory framework is still outstanding, regional governments
did by and large muddle through, and service delivery units did what
they used to do before decentralization—good or bad. And many
regions have already started to pursue the possibility for experimentation
that decentralization offers. For example, several local governments
have started experimenting with school funding based on numbers of students
attending the school rather than the previously centrally mandated fixed
amounts per school—thereby saving money, and fostering competition
for better schooling to attract students.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Yet, all is
far from perfect. In some of the core areas of decentralization,
the hasty preparation shows, and those not necessarily in favor of decentralization
are all too willing to exploit the confusion to their own advantage.
Some central agencies have even managed to hold on to powers that by
law should have already been devolved to the regions. And some
of the anecdotes on egregious local taxes, corruption in the DPRDs,
or fish in need of an ID card have caused a backlash against decentralization
itself. But despite the debate on possible revision of the law,
the second and third amendment of the constitution have now firmly embedded
regional autonomy in Indonesia’s system of government, and with the
establishment of a regional chamber of Parliament (DPD) it will also
be embedded in its system of politics. Whether this is for the
good of Indonesia will depend on how the country will deal with some
of the administrative and fiscal issues to which this paper now turns.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>References</b></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>1 </sup>
The findings, interpretations and conclusions expressed in this paper
are entirely those of the authors. They do not represent the views
of the World Bank, its Executive Directors, or the countries they represent.
This paper draws on the forthcoming World Bank Regional Public Expenditure
Review for Indonesia, and on Hofman, Kaiser and Kajatmiko (2001).
The authors wish to express thanks to Jorge Martinez, Roy Bahl, Richard
Bird, Roy Kelly, Dana Weist, Blane Lewis, Bernd May, and Machfud Sidik
for the many helpful discussions on the topic of the paper. We
thank Fitria Fitriani for excellent research assistance.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>2</sup>
This report uses “local government” and “local level” to indicate
the second level regions, or Kabupatens (districts) and Kotamadjah’s
(cities). “Regions” refers to provinces, districts and cities
together.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>3</sup>
J.J. De Jong: Het Koninkrijk der Nederlanden in the Tweede Wereldoorlog,
(The Kingdom of the Netherlands in the second World War), Volume 11a,
pp. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>4</sup>
Indonesians usually use the term regional autonomy rather than decentralization.
This report uses the terms interchangeably, except in sections
where the difference matters.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>5</sup>
Although Ryaas Rashyed (and his expert staff Andi Malarengeng) became
the figurehead for decentralization, it was Mr. Oentarto, expert staff
in Home Affairs that drafted the first version of the administrative
decentralization law. The drafting team was subsequently led by
Rappioeddin (director….). In fact, at some point there were
two versions of the administrative law—but Rappioeddin’s version
largely prevailed. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>6</sup>
The World Bank commented on the draft laws in December 1999, together
with the IMF. The two main concern that were raised were (i0 that
expenditure assignments were extremely vague; and (ii) that revenue
assignments were very specific. Taken together, it was felt, the
laws provided significant risk for macroeconomic stability and service
delivery.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>7</sup>
World Bank and IMF feared that, because there was hardly any clarity
on how much expenditures were to be decentralized together with the
authorities, the Government risked large deficits and macroeconomic
instability by putting in specific revenue assignments in the laws.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><sup>8</sup>
See World Bank (2001) The Imperative for Reform, Brief to the meeting
of the CGI in Jakarta, November.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-70373341701457352232010-07-27T00:43:00.001+07:002010-07-27T00:45:33.006+07:00Jadilah Facebooker dan Blogger Sejati<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Jika sejumlah
perusahaan dan instansi melarang penggunaan Facebook dan situs pertemanan
lain di tempat kerja, tidak demikian dengan Australia. Pemerintah di
Negeri Kanguru ini justru mendorong pegawainya aktif di dunia maya.
Apa pasal?</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pemerintah
di Negeri Kanguru ini mendorong pegawainya untuk aktif di dunia pertemanan
maya, seperti di Facebook, Twitter serta blog. Alasannya untuk menghilangkan
tembok pembatas antara pemerintah dan masyarakat umum.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dunia maya
dipercaya pemerintah Australia dapat menjadi jembatan antara aspek-aspek
negara mereka. Lebih jauh lagi, bukan hanya memandang jejaring sosial
sebagai hiburan semata, pemerintah Australia melihat peluang situs-situs
tersebut sebagai tempat mendiskusikan ide-ide serta mendapatkan <i>feedback.</i></font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Selain di Facebook,
setiap instansi publik diharapkan pemerintah untuk lebih akrab dengan
situs populer lain seperti situs ensiklopedia Wikipedia dan situs video
YouTube. Untuk urusan blog, pemerintah melihat layanan ini sebagai wadah
yang tempat bagi publik untuk menyalurkan komentar terhadap kebijakan
yang mereka keluarkan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">"Akses
ke jejaring seperti email dan pesan singkat membuka kesempatan yang
kuat untuk menjalin kerja sama, terutama saat pihak-pihak yang diajak
kerja sama terpisah secara fisik. Begitu juga dengan Twitter, Facebook,
serta blog turut memberikan akses ke informasi yang penting dan membuka
komunikasi," demikian beberapa pernyataan dalam draft yang disusun
pemerintah Australia dan dikutip<b> detikINET</b> dari Telegraph, Rabu
(9/12/2009)</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sumber : </font><a href="http://www.detikinet.com/read/2009/12/09/112829/1256830/398/jadilah-facebooker-dan-blogger-sejati" target="_blank"><font color="#0000FF" size="3" face="Times New Roman"><u>www.detikinet.com</u></font></a></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-13584281031144692642010-07-17T01:14:00.011+07:002010-07-17T03:11:55.135+07:00Power and Interests in The Budget Formulation<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tonggak otonomi daerah menyeluruh ditunjukkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hubungan eksekutif dan legislatif dari masa sebelum otonomi ke masa awal otonomi sampai masa kini merupakan pantulan transformasi hubungan sebagai refleksi perubahan iklim kepemerintahan di Indonesia.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Era sebelum UU 22/1999 dan UU 25/1999, terjadi pola hubungan dominasi kepala daerah yang sangat kuat. Proses formulasi anggaran relatif singkat dan sederhana. Sebelum pembahasan anggaran di rapat paripurna DPRD, kepala daerah dengan <i>power</i> yang dimilikinya, melakukan pembahasan awal dengan Ketua DPRD dan Ketua Fraksi pada sebuah rapat tertutup dan terbatas yang diistilahkan “rapat setengah kamar”. Dalam rapat tersebut, kepala daerah beserta birokrasi menanamkan akar dominasinya dengan membuat “<i>deal-deal</i>” politik pada pimpinan dewan dan pimpinan fraksi. Kesepakatan politik tersebut tentu saja efektif, karena pembahasan anggaran di Rapat Paripurna DPRD tidak se-dinamis sekarang.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Penetapan UU 22/1999 dan UU 25/1999 merupakan kebijakan yang lahir prematur setelah terjadi turbulensi sosial politik di Indonesia. Pesan amanat pelimpahan kewenangan yang disertai dengan transfer keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, di satu sisi merupakan hal positif bagi demokrasi, namun di sisi lain, <i>euphoria power</i> legislatif di daerah mereduksi substansi tujuan kedua kebijakan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena terdapat kelemahan dalam peraturan perundangan tersebut. Dengan memberi kewenangan yang sangat luas kepada legislatif. Keluasan kewenangan yang dimiliki legislatif, dimanfaatkan banyak anggota dewan untuk mendominasi proses formulasi anggaran. Bahkan lebih luas dari itu, penetrasi legislatif melampaui batas-batas demokrasi dengan melemahkan sendi-sendi birokrasi.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Fenomena implementasi UU 22/1999 dan UU 25/1999 disadari Pemerintah Pusat dan DPR-RI telah menyebabkan konsep otonomi daerah dan desentralisasi keluar jalur dari yang diharapkan. Lahirnya UU 32/2004 yang menggantikan UU 22/1999 dan UU 33/2004 yang menggantikan UU 25/1999 merupakan upaya memperbaiki kualitas otonomi dan desentralisasi di daerah. UU 32/2004 dan UU 33/2004 meletakkan hubungan legislatif dan eksekutif setara. Tidak hanya itu, bahkan kedua konsep otonomi dan desentralisasi pada kedua kebijakan tersebut didukung dengan diterbitkannya PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur tentang proses formulasi anggaran di daerah.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Namun demikian, penetrasi orde baru selama lebih dari tiga dekade, bagaimana pun telah menanamkan banyak hal. Aspek pembangunan, stabilitas politik (sekaligus represi politik), dan gaya kepemimpinan menjadi salah satu dimensi yang dikenal pada awal-awal tumbuhnya kesadaran bernegara.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Masalah keagenan yang timbul di kalangan anggota dewan terjadi dari dua tinjauan perspektif, sebagai prinsipal atas eksekutif dan sebagai agen dengan rakyat (pemilih). Pertama, sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat merealisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui <i>discretionary power</i> yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kedua, masalah keagenan anggota legislatif sebagai agen, dimana posisi legislatif sebagai pihak agen dan rakyat/pemilih sebagai pihak prinsipal. Pihak legislatif sebagai agen akan membela kepentingan rakyat atau pemilihnya, namun seringkali ini tidak terjadi, karena pendelegasian kewenangan rakyat/pemilih terhadap legislatornya tidak memiliki kejelasan aturan konsekuensi kontrol keputusan atau biasa disebut dengan ”<i>abdication</i>”. Akibatnya, legislator cenderung menyusun anggaran untuk kepentingan pribadi atau golongannya dan kondisi ini disebut oleh Garamfalvi (1997) sebagai <i>political corruption</i> dalam proses penyusunan anggaran, dan sekiranya anggaran tersebut dilaksanakan akan menimbulkan <i>administration corruption</i>. Kalau kondisi tersebut terjadi, maka proses penyusunan anggaran yang semestinya akan menghasilkan outcome yang efisien dan efektif dari alokasi sumber daya dalam anggaran akan terdistorsi karena adanya perilaku opportunistik untuk kepentingan pribadi dan politisi.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sepatutnya legislatif bisa elegan dengan menempatkan diri untuk bekerja dengan mengoptimalkan fungsinya di bidang pengawasan, legislasi, dan anggaran. Dengan demikian, aspirasi masyarakat bisa tertampung dan dihargai. Bukan malah menguatkan hegemoni politik dan menyuburkan lahan korupsi baru. Legislatif dengan power yang dimilikinya seharusnya menjadi alat efektif <i>budget controlling</i> dengan meneliti secara seksama perencanaan pembangunan dan pembagian anggaran. Bukan malah membangun tahta politik dengan cara yang kabur. Membangun hegemoni politik yang bertumpu pada tiang aspirasi masyarakat yang ternyata dimaknai dengan sangat rapuh. Hal ini sepatutnya menjadi dugaan bahwa aspirasi masyarakat atau apa pun namanya, hanya akan digunakan anggota dewan sebagai pintu masuk untuk lebih memperdalam akar kekuasaan dalam melampiaskan kepentingan pork barrel-nya.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintah daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan
dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung <i>slack </i>seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. <i>Slack</i> tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Munculnya kondisi yang secara sistemik menempatkan anggaran lebih sebagai instrumen sirkuit akumulasi modal dan kekuasaan seharusnya menjadi perhatian khusus banyak pihak. Pemilik modal atau politikus menggunakan kekuatan finansial guna mendapat posisi kekuasaan politik, lalu dimanfaatkan guna menghimpun lebih banyak modal, yang bisa digunakan lagi demi tujuan akumulasi kekuasaan politik seterusnya.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Peluang seperti skema tersebut, kini diperbesar, antara lain, oleh munculnya berbagai bentuk aliansi antara masyarakat politik dan masyarakat bisnis, yang berujung pada terbentuknya aliansi antara eksekutif, legislatif dan berbagai kelompok pemilik modal. Aliansi itu antara lain karena partai politik, anggota lembaga legislatif, atau pimpinan lembaga eksekutif kian dihadapkan tuntutan untuk menghimpun dana bagi pemenangan pemilu langsung di daerah, yang ditandai sebagai kampanye berbiaya besar (<i>big money campaign</i>). Usaha-usaha memelihara kekuasaan pun kian memerlukan praktik <i>money politics</i>. Sirkuit semacam itu secara konstan menyebabkan anggota lembaga legislatif, atau pimpinan lembaga eksekutif dibayangi krisis representasi. Di satu sisi dituntut berperan mengupayakan kesejahteraan masyarakat pemilih. Di sisi lain tuntutan untuk memberi konsesi bagi kepentingan akumulasi modal aneka kelompok pebisnis yang telah memberi dukungan finansial dalam melakukan <i>big money
campaign</i> dan politik uang. Oleh karena itu, pilihan yang tersedia bagi publik telah terstruktur oleh konstelasi kekuatan modal.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Relasi ekskutif, legislatif dan pengusaha telah bermutasi, berubah ke bentuk lebih gamblang, yakni tidak hanya ditandai adanya aliansi, tetapi juga oleh penetrasi pemilik modal yang kian masif ke pengendalian formulasi anggaran secara langsung. Hal itu dilakukan dengan merebut posisi di lembaga-lembaga legislatif atau eksekutif melalui proses pemilu langsung di daerah atau melalui berbagai pendekatan dan tawar-menawar politik, yang lebih dimungkinkan, dimilikinya surplus modal. Alhasil, komposisi pebisnis dalam lembaga
legislatif dan eksekutif kini tampak meningkat.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pada tata kelola pemerintahan kini, makin banyak pebisnis besar yang memegang posisi-posisi kunci, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Daftar pengusaha yang menempati posisi sebagai penguasa politik kian panjang jika diteliti dari susunan keanggotaan legislatif, dan pejabat-pejabat hasil pemilu langsung di daerah. Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi masyarakat untuk selalu menyidik adanya kaitan antara kepentingan ekonomi pemilik modal tertentu dalam pemerintahan dengan aneka kebijakan publik yang dijalankan. Apalagi, tidak adanya ketentuan hukum yang mencegah munculnya konflik kepentingan, seolah semua dikembalikan pada etika pejabat. Bisakah
sebuah struktur ekonomi-politik dibangun berdasar asumsi seolah tiap orang memiliki etika dan kemauan baik? Munculnya pertanyaan seperti itu menunjukkan awal terjadinya krisis representasi, di tengah bayang-bayang munculnya kondisi di mana anggaran lebih menempatkan perannya sebagai instrumen akumulasi modal dan kekuasaan belaka.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Anggaran dalam proses usulan dan pembahasannya kerap mengabaikan aspek kepentingan publik. Pengabaian ini terjadi akibat dominasi kepentingan eksekutif sebagai pengelola pemerintahan dan legislatif sebagai representasi partai politik. Partisipasi publik dalam hal ini amat minim karena aspirasi rakyat yang mestinya harus disampaikan oleh anggota legislatif cenderung terabaikan. Oleh karena itu anggaran tidak dapat diharapkan mampu memenuhi kebutuhan rakyat karena hanya lebih mementingkan kepentingan proyek-proyek fisik yang menjadi lahan kolaborasi pengusaha dan penguasa.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Benturan dengan legislatif lebih didasarkan pada upaya-upaya pencapaian kepentingan partai politik yang lebih mengutamakan kolega-kolega pendukung partai politik. Dalam hal ini pengusaha untuk mengajukan anggaran sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak. Oleh karena itu instansi teknis dalam hal ini SKPD diharuskan mengakomodasi kepentingan ini.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tidaklah mengherankan jika program-program yang diajukan dalam anggaran tidak memihak kepentingan publik karena dominasi kepentingan partai politik dan pemilik modal. Kondisi konflik kepentingan eksekutif dan legislatif tentu saja menyulitkan kepentingan publik agar terakomodasi. Kepentingan masyarakat miskin misalnya, kerap hanya mendapatkan porsi yang sangat minimal, itu pun karena didasari oleh faktor “belas kasihan” dan lagi-lagi demi kepentingan politik. Dengan kata lain, dalam proses penyusunan anggaran, kemiskinan hanya menjadi obyek karena tidak ada ukuran kinerja yang dapat dicapai, kalaupun ada, masih bersifat ambigu. Selain itu, bagi anggota legislatif program-program yang meminimalisir kemiskinan cenderung tidak memberikan keuntungan finansial. Namun demikian, masih ada anggota legislatif yang berusaha memenuhi kepentingan masyarakat miskin. Meskipun pada akhirnya, tetap saja menghadapi kendala karena adanya mekanisme voting yang hasilnya ditentukan oleh anggota legislatif yang berasal dari partai-partai mayoritas.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-79751361199997679232010-06-24T01:02:00.003+07:002010-06-24T01:12:34.889+07:00Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Jombang<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Reformasi pengelolaan
keuangan daerah di era otonomi daerah ditandai dengan lahirnya paket
kebijakan keuangan negara yakni: UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No.
24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Nuansa pembaharuan
dari tiga kebijakan tersebut melandasi bangunan kebijakan dalam tataran
teknis yakni: PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.</font> </p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam hal pelaksanaan
Permendagri No.13 Tahun 2006, hampir sebagian besar energi pejabat fungsional
pengelola keuangan di daerah dihabiskan dalam perdebatan tentang perbedaan
penafsiran dalam setiap aktivitas keuangan daerah. Perdebatan antar
pejabat fungsional pengelola keuangan di daerah berakhir pada kesadaran
mereka akan isi kebijakan Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang memberi
efek multi tafsir bagi siapa pun yang membacanya. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Protes keras
kepala daerah yang disampaikan secara resmi kepada Menteri Dalam Negeri,
debat terbuka di berbagai media televisi, kritik dalam opini di kolom-kolom
koran nasional menjadi bukti sejarah usaha advokasi yang ditempuh daerah
yang mempermasalahkan Kebijakan Menteri Dalam Negeri yang multi tafsir.
Menyadari kelemahan kebijakan tersebut, Menteri Dalam Negeri di tahun
berikutnya merevisi sejumlah pasal dan ayat yang menjadi akar masalah
dalam penerapan pengelolaan keuangan di daerah dengan menerbitkan Permendagri
No. 59 Tahun 2007.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Terlepas dari
berbagai masalah dalam implementasi Permendagri No. 13 Tahun 2006, catatan
penting pada awal penerapan pengelolaan keuangan daerah adalah terbentuknya
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang ditetapkan dengan PP No. 24
Tahun 2005. Standar yang selama puluhan tahun hanya menjadi perbincangan
dalam tataran ide di kalangan praktisi dan akademisi yang konsen pada
masalah publik. SAP sendiri lahir dari semangat yang kuat kaum intelektual
reformis yang mendambakan pembaharuan di dalam sistem akuntansi keuangan
daerah dengan menyusun suatu standar pemerintahan yang diyakini dapat
menjadi payung bagi pemerintah daerah dalam penyusunan laporan keuangan
secara lebih transparan, akuntabel dan dapat memiliki kualitas daya
banding (<i>comparability</i>).</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Amanat UU No.
17 Tahun 2003 dan tuntutan masyarakat yang semakin kritis akan perubahan
dalam sistem akuntasi pemerintahan mendorong Pemerintah Pusat melalui
Menteri Keuangan pada tanggal 13 Juni 2002 menerbitkan Keputusan Menteri
Keuangan No. 308/KMK.012/2002 tentang pembentukan Komite Standar Akuntansi
Pemerintahan (KSAP). Komite ini bertugas untuk merumuskan dan mengembangkan
konsep Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah, yang keanggotannya
terdiri dari kalangan birokrasi (Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri dan BPKP), asosiasi profesi (Ikatan Akuntan Indonesia/IAI) dan
kalangan akademisi. Dengan adanya KSAP, isu mengenai siapa yang berwenang
untuk menetapkan standar akuntansi pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah sudah dapat terpecahkan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam tulisan
“Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dan Standar Akuntansi
Pemerintahan Sebagai Wujud Reformasi Manajemen Keuangan Daerah” yang
disusun oleh Imam Basri (2004), anggota Komite Kerja Standar Akuntansi
Pemerintahan menunjukkan adanya koherensi antara SAP dalam PP No. 24
Tahun 2005 dengan praktek-praktek akuntansi yang berlaku di dunia internasional
sepert Government Finance Statistics (GFS) dan International Public
Sector Accounting Standard (IPSAS) yang tentu saja telah disesuaikan
dengan kondisi pemerintahan yang ideal di Indonesia.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">SAP seperti
peraturan perundangan yang menjadi induk kelahirannya, menegaskan kembali
kewajiban kepala daerah untuk menyusun laporan pertanggung jawaban dalam
bentuk Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD) yang di dalamnya
meliputi Neraca, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Arus Kas
(LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">LKPD disusun
untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan
seluruh transaksi yang dilakukan oleh pemrintah daerah selama satu periode
pelaporan. LKPD, digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan
dan belanja dengan anggaran yang ditetapkan, menilai kondisi keuangan,
menilai efektivitas dan efisiensi pemerintah daerah, dan membantu menentukan
ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pemerintah
daerah mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan
serta hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis
dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan: <b>pertama</b>,
akuntabilitas, yang memiliki makna mempertanggung-jawabkan pengelolaan
sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada pemerintah
daerah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Kedua,</b>
manajemen, yang mengandung arti: membantu para pengguna laporan keuangan
untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pemerintah daerah dalam periode
pelaporan sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian
atas seluruh aset, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah daerah untuk
kepentingan masyarakat.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Ketiga</b>,
transparansi, yang dipahami dengan memberikan informasi keuangan yang
terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat
memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggung-jawaban
pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya
dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Ke-empat</b>,
keseimbangan antar generasi (<i>intergenerational equity</i>), hal ini
memberikan pengertian bahwa membantu para pengguna laporan untuk mengetahui
apakah penerimaan pemerintah daerah pada periode laporan cukup untuk
membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi
yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban pengeluaran
tersebut.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Ada tiga hal
yang menjadi asumsi dasar yang perlu diperhatikan sebagaimana yang diamanatkann
PP No.24 Tahun 2005. Tiga asumsi dasar yang dimaksud adalah: <b>pertama</b>,
kemandirian entitas: yaitu asumsi kemandirian entitas, baik entitas
pelaporan (SKPKD) maupun entitas akuntansi (SKPD). Dalam asumsi kemandirian
entitas, setiap unit organisasi dianggap sebagai unit yang mandiri dan
mempunyai kewajiban untuk menyajikan laporan keuangan sehingga tidak
terjadi kekacauan antar unit instansi pemerintah dalam pelaporan keuangan.
Salah satu indikasi terpenuhi asumsi ini adalah adanya kewenangan entitas
untuk menyusun anggaran dan melaksanakannya dengan tanggung jawab penuh.
Entitas bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan sumber daya di luar
neraca untuk kepentingan yuridiski tugas pokoknya, termasuk atas kehilangan
atau kerusakan aset dan sumber daya dimaksud, utang-piutang yang terjadi
akibat putusan entitas, serta terlaksana-tidaknya program yang telah
ditetapkan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Kedua</b>,
kesinambungan entitas: yaitu laporan keuangan disusun dengan asumsi
bahwa entitas pelaporan akan berlanjut keberadaannya. Dengan demikian,
pemerintah diasumsikan tidak bermaksud melakukan likuidasi atas entitas
pelaporan dalam jangka pendek.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Ketiga</b>,
keterukuran dalam satuan uang (<i>monetary measurement</i>): yaitu laporan
keuangan entitas pelaporan harus menyajikan setiap kegiatan yang diasumsikan
dapat dinilai dengan satuan uang. Hal ini diperlukan agar memungkinkan
dilakukannya analisis dan pengukuran dalam akuntansi.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Hal penting
lain yang menjadi perhatian dalam PP No. 24 Tahun 2005 adalah delapan
prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintahan
yang terdiri dari:</font></p>
<ol type="1">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Basis Akuntansi</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Basis akuntansi
yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis kas untuk
pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam LRA, sedangkan basis
akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca.</font></p></ul>
<ol type="1" start="2">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Prinsip Nilai
Historis (<i>Historical Cost</i>)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Aset dicatat
sebesar pengeluaran kas dan setara kas yang dibayar atau sebesar nilai
wajar dari imbalan (<i>consideration</i>) untuk memperoleh aset tersebut
pada saat perolehan. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas dan setara
kas yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dimasa
yang akan datang dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah</font></p></ul>
<ol type="1" start="3">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Prinsip Realisasi
(<i>Realization</i>)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Bagi pemerintah,
pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui anggaran
pemerintahan selama satu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar
hutang dan belanja dalam periode tersebut. Prinsip layak temu biaya-pendapatan
(<i>matching-cost against revenue principle</i>) dalam akuntansi pemerintah
tidak mendapat tekanan sebagaimana dipraktekan dalam akuntansi komersial.</font></p></ul>
<ol type="1" start="4">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Prinsip Substansi
Mengungguli Bentuk Format (<i>Substance Over Form</i>)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Informasi
dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi serta peristiwa
lain yang seharusnya disajikan, maka transaksi atau peristiwa lain tersebut
perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realita ekonomi,
dan bukan hanya aspek formalitasnya. Apabila substansi transaksi atau
peristiwa lain tidak konsisten/berbeda dengan aspek formalitasnya, maka
hal tersebut harus diungkapkan dengan jelas dalam catatan atas laporan
keuangan.</font></p></ul>
<ol type="1" start="5">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Prinsip Periodisitas
(<i>Periodicity</i>)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kegiatan
akuntansi dalam pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu dibagi menjadi
periode-periode pelaporan, sehingga kinerja entitas dapat diukur dan
posisi sumber daya yang dimiliki dapat ditentukan. Periode utama yang
digunakan adalah tahunan. Namun, periode bulanan, triwulanan, dan semesteran
juga dianjurkan.</font></p></ul>
<ol type="1" start="6">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Prinsip Konsistensi
(<i>Consistency</i>)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perlakuan
akuntansi yang sama, diterapkan pada kejadian serupa dari periode ke
periode oleh suatu entitas pelaporan (priinsip konsistensi internal).
Hal ini tidak berarti bahwa tidak boleh terjadi perubahan dari satu
metode akuntansi ke metode akuntansi yang lain. Metode akuntansi yang
dipakai dapat diubah dengan syarat bahwa metode yang baru diterapkan
mampu memberikan informasi yang lebih baik dibanding metode lama. Pengaruh
atas metode ini, diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.</font></p></ul>
<ol type="1" start="7">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Prinsip Pengungkapan
Lengkap (<i>Full Disclousure</i>)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Laporan
keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna.
Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat ditempatkan
dalam lembaran muka (<i>on the face</i>) laporan keuangan atau catatan
atas laporan keuangan.</font></p></ul>
<ol type="1" start="8">
<li><font size="3" face="Times New Roman"><b>Prinsip Penyajian
Wajar (<i>Fair Presentation</i>)</b></font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Faktor
pertimbangan sehat bagi penyusunan laporan keuangan, diperlukan ketika
menghadapai ketidak-pastian peristiwa dan keadaan tertentu. Kepastian
seperti itu, diakui dengan mengungkapkan hakikat serta tingkatnya dengan
menggunakan pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan
sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan dalam
kondisi ketidak-pastian sehingga aset atau pendapatan tidak dinyatakan
terlalu tinggi dan kewajiban tidak dinyatakan terlalu rendah. Namun
demikian, penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan, misalnya,
pembentukan cadangan tersembunyi, sengaja menetapkan aset atau pendapatan
yang terlampau rendah, atau sengaja mencatat kewajiban atau belanja
yang terlampau tinggi sehingga laporan keuangan menjadi tidak netral
dan tidak andal.</font></p></ul>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perubahan mendasar
yang menjadi amanat PP No. 24 Tahun 2005 terlihat pada perubahan sistem
pencatatan dari <i>single entry</i> menjadi <i>double entry</i> dan
ini mengakibatkan perubahan teknik sistem akuntansi yang semula berbasis
kas menjadi sistem akuntansi berbasis akrual. Teknik akuntansi berbasis
akrual dinilai banyak pakar dapat menghasilkan laporan keuangan yang
komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan serta lebih ditujukan
pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik,
sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal
dan <i>sustainable</i> serta dapat memberikan gambaran kondisi keuangan
secara menyeluruh.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">SAP secara
garis besar hanya mengatur pengakuan, penilaian, dan pengungkapan, sedangkan
untuk sistem dan prosedur diatur tersendiri oleh masing-masing pemerintah
daerah. Kabupaten Jombang terhitung memiliki pemerintah daerah yang
responsif terhadap nuansa perubahan terkait dengan akuntabilitas dan
transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan segala keterbatasan
sumber daya manusia dan teknologi maupun perangkat pendukung lainnya
pada awal tahun 2006 Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang telah berhasil
menyusun neraca awal dalam LKPD Tahun 2005. Terbentuknya neraca awal,
menurut penuturan beberapa staf bidang akuntansi di DPPKAD yang terlibat
dalam penyusunan yang kala itu masih berada dalam struktur organisasi
Bagian Keuangan Sekretariat Daerah merupakan “hasil usaha yang bukan
tanpa kendala”. Bahkan menurut mereka, saat itu, “dibuat dua laporan
keuangan yaitu dalam bentuk laporan perhitungan keuangan yang berbasis
kas dan neraca yang berbasis <i>cash toward
accrual </i>atau sering disebut dengan <i>accrual modified</i>”. Hal
tersebut terpaksa dilakukan karena di saat masa-masa transisi, kebijakan
dalam tataran operasional masih menggunakan Kepmendagri No. 29 Tahun
2002 yang belum memiliki tuntunan teknis dalam penyusunan neraca.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Seiring dengan
ditetapkannya Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmendagri
No. 29 Tahun 2002, skema penyusunan neraca yang berbasis akrual penuh
(<i>full accrual</i>) semakin jelas, walaupun terdapat banyak pasal
atau ayat yang memiliki efek intervensi yang bertentangan dengan SAP.
Namun demikian, secara umum, Permendagri No. 13 Tahun 2006 telah memiliki
“ruh” dari SAP.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Implementasi
Permendagri No. 13 Tahun 2006, sebenarnya, pada fase akuntansi anggaran
relatif tidak memiliki kendala. Kendala terbesar dari implementasi kebijakan
tersebut, ada pada fase akuntansi penata-usahaan dalam pengelolaan keuangan.
Pada fase ini, kendala bekutat pada “siapa yang berwenang, atas kewenangan
apa”, serta masalah prosedur dan penata-usahaan pencairan dana. Memindah
kerangka berpikir pejabat fungsional pengelola keuangan di masing-masing
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terlibat, dari konsep prosedur
pengajuan: Beban Tetap (BT) dan Pengisian Kas (PK) menjadi konsep prosedur
pengajuan: Uang Persediaan (UP), Ganti Uang (GU), Tambahan Uang (TU)
dan Langsung (LS) memerlukan waktu proses yang relatif tidak singkat. </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Komponen akun
aset yang terdiri dari aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap,
dana cadangan dan aset lainnya merupakan bagian penting dalam penyusunan
neraca awal. Dalam hal memperoleh nilai aset tetap yang dimiliki Pemda
Jombang, berbagai masalah yang komplek ditemukan dalam penilaian aset
tetap pada sensus barang milik daerah. Belum lagi, pengaturan dalam
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dan Kepmendagri No. 152 Tahun 2004 yang
tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang kala itu menjadi pedoman,
memiliki perbedaan mendasar dengan SAP. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002
mengatur bahwa pengakuan aset tetap dilakukan pada akhir periode, sementara
SAP menyatakan bahwa aset tetap diakui pada saat diterima dan/atau hak
kepemilikan berpindah. Dengan demikan selama satu tahun berjalan terdapat
perbedaan waktu pengakuan aset meskipun pada akhir periode akuntansi
akan diperoleh saldo aset yang sama. Kompleksitas permasalahan yang
ditemukan saat penilaian aset tetap waktu sensus barang daerah dan pondasi
regulasi teknis tentang aset tetap yang diatur dalam Kepmendagri No.
29 Tahun 2002 maupun Kepmendagri No. 152 Tahun 2004 yang memiliki intervensi
berlawanan dengan SAP, nyaris menggagalkan penyusunan neraca awal. Kompleksitas
permasalahan aset tetap, bahkan masih meninggalkan residu permasalahan
hingga kini, dan ini, dibuktikan dengan permasalahan aset tetap yang
seolah tidak mau lepas dari bagian rutinitas dalam temuan-temuan LHP
BPK atas LKPD Kabupaten Jombang.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kendala lain
yang tidak kalah rumit juga terjadi pada fase penyusunan laporan keuangan
baik di SKPD maupun di SKPKD (DPPKAD yang kala itu masih bernama Badan
Pengelola Keuangan Daerah/BPKD). Pada fase ini ada beberapa hal dalam
Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang tidak sesuai dengan SAP, yang diantaranya
adalah: <b>pertama</b>, bagan perkiraan rekening belanja yang tidak
konsisten dengan format laporan keuangan yang dinginkan, misalnya dalam
format LRA tidak lagi mencantumkan belanja langsung dan tidak langsung
tetapi hanya disajikan dengan belanja operaasi. <b>Kedua</b>, rekening
belanja peralatan dan mesin tidak didefinisikan secara jelas, sementara
di LRA harus menyajikan belanja ini. <b>Ketiga</b>, tidak menggambarkan
secara jelas perbedaan sistem akuntansi umum, sistem akuntansi BUD/Kasda
dan Sistem Akuntansi SKPD. <b>Ke-empat</b>, dasar untuk melakukan penjurnalan
setiap transaksi adalah SPJ dari bendahara, sementara, dasar pencatatan
akuntansi pertama adalah dokumen sumber yang sah (SPM-SP2D, STS, Nota
Debet, Nota Kredit). <b>Kelima</b>, format laporan keuangan yang tidak
konsisten dengan bagan perkiraan rekening, sehingga harus dilakukan
modifikasi dan konversi ketika membuat laoran keuangan.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Berbagai kendala
pada awal penyusunan neraca awal tidak menyurutkan semangat apalagi
menghilangkan selera Pemda Jombang untuk menyusun LKPD yang akuntabel
dan transparan, bahkan semakin menggelora. Hal ini dibuktikan dengan
ditetapkannya Perbup No. 15 Tahun 2007 tentang Pelaporan Keuangan dan
Sistem Prosedur Akuntansi Pemerintah Kabupaten Jombang yang kemudian
disempurnakan dengan menambah aturan tentang kapitalisasi aset dalam
Perbup No. 15A Tahun 2008. Kedua perbup ini merupakan upaya dalam mencari
jalan tengah atas konflik antar kebijakan yang mengatur tentang akuntansi
keuangan daerah, sekaligus menjadi pedoman praktis yang menggabungkan
konsep SAP dalam PP No. 24 Tahun 2005, Permendagri No. 13 Tahun 2006
dan Permendagri No. 59 Tahun 2007. Penyusunan perbub tentang pelaporan
keuangan dan sisdur akuntansi daerah merupakan produk hukum daerah yang
disusun oleh akuntan pemerintahan di DPPKAD yang merupakan satuan kerja
yang memiliki kewenangan dalam pengembangan dan pengelolaan keuangan
daerah dan Inspektorat Kabupaten Jombang yang merupakan satuan kerja
yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pembinaan di bidang keuangan
daerah. Selain itu, penyusunan perbup tersebut juga mendapat sumbangan
pikiran yang berlimpah dari ahli hukum yang bertugas di Bagian Hukum
Sekretariat Daerah Kabupaten Jombang.</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Namun demikian,
permasalahan klasik, kebijakan barang daerah yang kini aturan teknis
operasionalnya telah diganti dengan Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah masih menjadi intervensi
kebijakan yang mengakibatkan konflik dengan Perbup tentang Pelaporan
Keuangan dan Sistem Prosedur Akuntansi Pemerintah Kabupaten Jombang.
Nampaknya, Akuntan Pemerintah Kabupaten Jombang dan beberapa ahli lainnya
yang terkait harus bekerja keras sekali lagi untuk mensinergikan intervensi
kebijakan yang mengakibatkan konflik tersebut.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-14433560725166728042010-06-22T10:04:00.032+07:002010-06-22T13:34:00.104+07:00Sekilas Tentang Kabupaten Jombang<ol type="1">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Letak Geografis dan Batas Administrasi</b>
</font>
</li>
</ol>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Kabupaten Jombang secara geografis terletak pada koordinat 112º 03' 46,57" BT - 112º 27' 21,26" BT dan 07º 20' 48,60" LS - 07º 46' 41,26" LS. Sedangkan secara administrasi terdiri dari 21 kecamatan, 4 kelurahan, 302 desa dan 1.258 dusun. Luas keseluruhan dari Kabupaten Jombang adalah 115.950 Ha, dengan batas-batas administrasi:
</font>
</p>
<ul type="DISC">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Sebelah Utara : Kabupaten Lamongan
</font>
</li>
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Sebelah Timur : Kabupaten Mojokerto
</font>
</li>
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Sebelah Selatan : Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang
</font>
</li>
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Sebelah Barat : Kabupaten Nganjuk
</font>
</li>
</ul>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Kabupaten Jombang terbagi dalam 21 kecamatan yang masing-masing memiliki luas seperti pada tabel berikut.
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tabel 1</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Luas Wilayah Menurut Kecamatan</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kabupaten Jombang</b>
</font><br>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 298px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXwy693mN7gHw0u7CyBVHOTHE5aJ_6uZQHW7zWXZSuKmfRuowapuddjxK4hKxoVNB1BAVaNIAbrRPR3bCi1drZ6-WMAqBbKZa5Sg0LVltKotkrATGnYCIwE439IOH4lH_tb6gNSWabClI/s320/Luas+Wilayah+Menurut+Kecamatan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485441043811749090" />
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada gambar peta di bawah ini.
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Gambar 1</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Peta Orientasi Kabupaten Jombang</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Terhadap Jawa Timur</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 242px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0Zfam_Gn62EXB5P4EUPSdv8qlxHMvARt-LqBfHModRxhESlDOd1P93eee9E7_sQc_GRWbPI7Nx_386pWKx0USdDs4car5CRB6hjAUXFohf8izN6L9USwY_gYvCTDkC8D_Aek8DgMQSBw/s320/Peta+Orientasi+Kabupaten+Jombang.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485442205750290434" />
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Gambar 2</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Peta Batas Administrasi Kabupaten Jombang</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 242px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhU7_COFZTGTGMn2C70ZlMG-QJz1kRfYc2mweMWYiGWODnlgDIJ8d88ZniHpZgzP1ieoHbP4z7BSDsVJjAXPlRIYkjWG2_tSPvzvyQVjopDsHqstepw8Qtq_iTa99yjPb4P0cG9JSt9NUk/s320/Peta+Batas+Administrasi+Kabupaten+Jombang.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485443170007765362" />
<ol type="1" start="2">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kondisi Topografi</b>
</font>
</li>
</ol>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Sebagian besar kondisi topografi wilayah Kabupaten Jombang (67,09%) cukup datar yaitu berada pada kemiringan 0-2º. Sedang sisanya adalah daerah berbukit-bukit, seperti Kecamatan Kabuh, Plandaan dan Kudu dengan rata-rata kemiringan 25º. Namun ada juga yang letaknya di pegunungan, yaitu Kecamatan Wonosalam dengan rata-rata kemiringan > 45º. Kabupaten Jombang terletak pada ketinggian ± 44 m di atas permukaan air laut.
</font>
</p>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Kabupaten Jombang mempunyai potensi sebagai wilayah agraris, dengan topografi sebagai berikut:
</font>
</p>
<ul type="DISC">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Daerah pegunungan, dengan rata-rata kemiringan 40% di wilayah Kecamatan Wonosalam (komplek Gunung Anjasmoro);
</font>
</li>
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Daerah berbukit, dengan rata-rata kemiringan 2-15% di wilayah Kecamatan Kabuh, Ngusikan dan Plandaan (daerah utara Sungai Berantas). Daerah ini merupakan pegunungan kapur (Pegunungan Kendeng) dan banyak ditumbuhi Pohon Jati, akan tetapi di bagian utara daerah ini cukup baik untuk pertanian;
</font>
</li>
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Daerah landai sampai bergelombang, dengan rata-rata kemiringan 0-2%, meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Jombang.
</font>
</li>
</ul>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Gambar 3</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Peta Topografi</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFWXhS2wyxF1VGE68Z8DdqBWhQAi7NVD1lGWC-W6BXfhFuhTlNWSsePztz3AahS3CV2CHJvUBRIxpr43V4mJhSTlhQXuyAb18IApTs-bgxd94Lclm56H82Cyl-0yiR2wuk9ERgK9DhrJE/s320/Peta+Topografi.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485443896089240226" />
<ol type="1" start="3">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Iklim dan Cuaca Hujan</b>
</font>
</li>
</ol>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Keadaan iklim pada suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh faktor curah hujan. Wilayah Kabupaten Jombang dipengaruhi oleh iklim tropis dengan angka curah hujan rata-rata berkisar 1.800 mm, dengan temperatur antara 20º-32ºC. Tipe iklim Kabupaten Jombang masuk dalam kategori D3 yang memiliki empat bulan basah dan lima bulan kering dengan curah hujan 200 mm yang terdapat pada bulan desember, januari, pebruari dan maret. Sedangkan bulan kering dengan curah hujan di bawah 100 mm yang terjadi pada bulan juni sampai oktober. Curah hujan tahunan rata-rata 1.847 mm dengan hari hujan 95 hari. Sedangkan menurut musim, Kabupaten Jombang dibagi dua musim yaitu:
</font>
</p>
<ul type="DISC">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Musim penghujan (<i>rendengan</i>) yang jatuh antara bulan oktober sampai maret;
</font>
</li>
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Musim kemarau pada bulan april sampai september
</font>
</li>
</ul>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Diantara musim tersebut, musim peralihan atau pancaroba terjadi sekitar bulan april/mei dan oktober/nopember. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Gambar 4</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Iklim dan Curah Hujan</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 238px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiExKORiA-pjcv2Fosum17s-8VhMbH_wDDzq7R1FEvFMQ_pWa_FEhyphenhyphengHpEn2tPUrg_zW6oySxCGzZBewpX-tW06Sx_RH-KnjaFZqP9rlpsODGzgFZmP1H9J7BG4-Pqp54fQ8Emz7BHHRqI/s320/Iklim+dan+Curah+Hujan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485444524334403090" />
<ol>
<ol>
<ol type="1">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Geologi dan Jenis Tanah</b>
</font>
</li>
</ol>
</ol>
</ol>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Kabupaten Jombang memiliki struktur geologi yang secara umum tersusun atas batuan dan endapan lumpur kuarter dengan penyebarannya yang terwakilkan dalam bentuk morfologi dan unit-unit litologi. Kontrol struktur geologi yang kompleks, didapatkan di daerah didapatkan di daerah utara Sungai Brantas, sedangkan untuk daerah selatan Sungai Brantas hasil aktivitas vulkanisme lebih mendominasi. Berdasarkan pola relief topografi, Kabupaten Jombang dibagi menjadi tiga satuan morfologi, yaitu morfologi perbukitan struktural lipatan di bagian utara, morfologi dataran aluvial di bagian tengah dan perbukitan volkan di bagian selatan dengan empat klas kemiringan lereng, sebagai berikut:\
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tabel 2</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Klas Kemiringan di Kabupaten Jombang</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 117px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgr9PoGhDOCpU_4KkrSu9KqgpiyXr3mCI1MGkPJFiFHj2Rb6gB0GfKy0EqnrB8PRS9arzOeTR64ElEJrAolnq1jN-uwwuSAt4Wzx23xkBd1mTmeI0jLquPhQNSYAxJWNdTEJJX4UsjVC0c/s320/Klas+Kemiringan+di+Kabupaten+Jombang.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485445093438406130" />
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Struktur litologi di Kabupaten Jombang terbagi atas tiga bagian besar, yaitu Litologi Jombang bagian utara yang tersusun oleh batuan sedimen berupa napal tak berlapis, berwarna putih kekuningan sampai abu kebiru-biruan bersifat napalan atau pasiran dan berlapis baik. Jombang bagian tengah tersusun oleh endapan aluvial dan endapan sungai terutama di sekitar Sungai Brantas, berupa material lepas dominan berukuran lempung sampai kerikil. Bagian selatan Jombang tersusun atas batuan volkanik, berupa breksi volkanik dan di beberapa tempat dijumpai andesit dengan warna segar abu-abu cerah, warna lapuk agak kehitaman
</font>
</p>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Berdasarkan ciri fisik tanah di Kabupaten Jombang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
</font>
</p>
<ul type="DISC">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Kabupaten Jombang bagian utara adalah bagian dari pegunungan kapur yang memiliki tanah relatif kurang subur, sebagian besar mempunyai fisiografi yang mendatar dan sebagian lagi berbukit-bukit tetapi tidak terlalu tajam, yang terletak di sebelah utara Sungai Brantas;
</font>
</li>
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Kabupaten Jombang bagian tengah di bagian selatan Sungai Brantas sebagian besar merupakan tanah pertanian dengan sungai-sungai dan daerah irigasi yang tersebar dan cocok untuk pertanian;
</font>
</li>
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
Kabupaten Jombang bagian selatan merupakan tanah pegunungan yang dimanfaatkan untuk daerah perkebunan.
</font>
</li>
</ul>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar peta di bawah ini.
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Gambar 5</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Peta Tekstur Tanah</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 242px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjY5o-_PJr3R9UCTm5PYYqASvG_dmFOUgEFXrPypzfFi_zIKpmj-NQz3gqmMewFsg1LDUirhqgPyb7AduxVojPAzIYfJPVNDtxUcRLbgatad_lgHutYcFBp9DbyHo7NqEDp2VyuDgoAXIQ/s320/Peta+Tekstur+Tanah.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485445726360360594" />
<ol type="1" start="4">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Hidrologi</b>
</font>
</li>
</ol>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Sungai Brantas yang merupakan sungai terbesar di Jawa Timur, “membelah” Kabupaten Jombang menjadi dua bagian, yaitu bagian utara (24%) dan bagian selatan (76%), sepanjang ± 44 km. Sungai-sungai lain yang signifikan adalah Sungai Marmoyo (23 km), Sungai Ngotok Ring Kanal (27 km), Sungai Konto (14 km), Sungai Gunting (12 km) dan Sungai Jurangrejo (12 km).
</font>
</p>
<ol type="1" start="5">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Penggunaan Lahan</b>
</font>
</li>
</ol>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Penggunaan
lahan di Kabupaten Jombang terdiri atas permukiman, sawah irigasi teknis,
sawah setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah irigasi desa,
sawah tadah hujan, pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, hutan produksi,
hutan negara, perkebunan, kolam serta lain-lain. Untuk lebih jelasnya
dapat di lihat pada tabel dan gambar peta di bawah ini.</font> <br>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tabel 3</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Penggunaan Lahan Kabupaten Jombang</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tahun 2007</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 249px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAvW1Lx3yxxRkkAkUfMRMKLufEOUypv_Oo_P9BgpHqql0tejMB0KX1VX92G8e7ZHSSkMU4oF1abAjRhesJTMTPuctvRPZ3AQCPDFKyBI9jQq1s5FsWcFzCa9hYHxYrD0F02K62IFQvZiM/s320/Penggunaan+Lahan+Kabupaten+Jombang.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485446323684140754" />
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Gambar 6</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Peta Penggunaan Lahan Tahun 2008</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 244px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiP3o3D2sh7Pk7TZ4j8dr_0vfnZT_k60Mc_8gAglJASdaC90aICM-8imczZkyjKDajo4koWScVPld-g5-hn889X06tHWHuEZHPELN4Bdkn6iCT2KxrIr882Y4S8-Gw2EV2EEjzPSTGMuvQ/s320/Peta+Penggunaan+Lahan+Tahun+2008.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485446960820367826" />
<ol type="1" start="6">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Jumlah dan Perkembangan Penduduk</b>
</font>
</li>
</ol>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Perkembangan penduduk di Kabupaten Jombang secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut:
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tabel 4</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Jumlah Penduduk Pada Tiap-Tiap Kecamatan</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kabupaten Jombang Tahun 2007</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 314px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoSbEmpnj4_7mlPyk6BMS_KQqXUc6aBahLaNVi-WoQPtXq0PqFT5fl9pXXD56aEvDeL6oD21F5JBSQRTMlXBEhyhaG3RKREqrIoZMt24RTbM6Z0fFKumPNON0AblGqQux8WRxeeYy2o9k/s320/Jumlah+Penduduk+Pada+Tiap-Tiap+Kecamatan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485447497618450482" />
<ol type="1" start="7">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kepadatan Penduduk</b>
</font>
</li>
</ol>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Kepadatan penduduk di Kabupaten Jombang secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut:
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tabel 5</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kepadatan Penduduk Pada Tiap-Tiap Kecamatan</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kabupaten Jombang Tahun 2007</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 294px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9ldKOTXYGicXKjBI8mV-bgUJh6Tri1gCLCf54mJ5iUICwm0dEcBZNprsUfyv6AD3UoNdCnWnWYW3JK-9afmI-cTY1KhZpK1njYMABNZJhtIrBjEerUjmFqobM1aJDE37N9YW4mDjsrbk/s320/Kepadatan+Penduduk+Pada+Tiap-Tiap+Kecamatan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485448168098911922" />
<ol type="1" start="8">
<li>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Perekonomian</b>
</font>
</li>
</ol>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Untuk mengetahui kondisi perekonomian di Kabupaten Jombang dapat dilihat dari seberapa besar jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jombang. Berikut ini gambaran PDRB Kabupaten Jombang dalam dua tahun terakhir.
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tabel 6</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Jombang</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tahun 2006-2007</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 201px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT87UOarc-985w5xlAEUWqGLyeLsKHiSP98bDGX_N2ZhA5PABKuvf7qAfSO1dRsNexpawye5u_E4lGTg3ylpjSYrYQoxhECATYi4P8ekfikW7GTuV90zNm8CulvGendfPMVJz8PQZsDr8/s320/Produk+Domestik+Regional+Bruto+Kabupaten+Jombang.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485448846101572162" />
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Selain mengetahui besarnya jumlah PDRB, kondisi perekonomian di Kabupaten Jombang juga bisa dilihat dari kontribusi masin-masing sektor dan kelompok sektor ekonomi terhadap total PDRB. Berikut ini gambaran kontribusi masing-masing sektor ekonomi yang ada di Kabupaten Jombang dalam dua tahun terakhir.
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Gambar 7</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Perkembangan Kontribusi Masing-Masing Sektor Ekonomi</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kabupaten Jombang (2006-2007)</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 223px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1Zy-S5_AfN3rN1XbUZhiLXf8dl-RGjc_IKY9BHLMRVSe-L9u-yZ3kmrZq5Rp0U_9NHezPS4n0Vzwr5K9wlHYR3abFTbGl8jWEAJiC4DZrrOzIpAPt8mw0qK1SKTwL-38eB4UZ-S7EmII/s320/Perkembangan+Kontribusi+Masing-Masing+Sektor+Ekonomi.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485450554446869250" />
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Dengan mengetahui kontribusi tersebut, secara tidak langsung bisa diketahui bagaimana struktur perekonomian di Kabupaten Jombang. Berikut kontribusi sektor dan kelompok sektor ekonomi yang ada di Kabupaten Jombang terhadap total PDRB Kabupaten Jombang.
</font> </p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tabel 7</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kontribusi Masing-Masing Sektor Terhadap PDRB</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kabupaten Jombang Tahun 2006-2007</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 192px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMd2PZl5xy05YhsC4u1EjGrzJKEzGvNITZPJREWecLpuI4VMAbJsyZpQ6A3C89PphwEukEVIpSz-77Tci82aB-9NnNx5y2-SAKpBd07a05tQA49nrndAxaM4Gw23_idkIkJD4efqJUoL8/s320/Kontribusi+Masing-Masing+Sektor+Terhadap+PDRB.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485480054037466290" />
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat ringkasan dari peranan masing-masing sektor terhadap PDRB. Peran sektor di atas dikelompokkan menjadi tiga sektor pokok, yaitu sektor primer, sekunder dan tersier. Kelompok sektor primer mencakup sektor pertanian serta sektor pertambangan dan galian. Peranan sektor primer memberikan kontribusi kedua setelah kelompok sektor tersier yaitu rata-rata memberikan kontribusi sebesar 32,19% , peran sektor ini didominasi sektor pertanian yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 30,69%.
</font>
</p>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Kelompok sektor sekunder mencakup sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, serta sektor konstruksi. Kelompok sektor ini memberikan kontribusi paling rendah terhadap PDRB Kabupaten Jombang, yaitu rata-rata hanya sebesar 15,90%. Peranan kelompok sektor ini didominasi oleh sektor sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 12,33% selama dua tahun terakhir
</font>
</p>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Kelompok sektor tersier yang terdiri dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Sektor ini memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Jombang yaitu sebesar 51,91%. Peran kelompok sektor ini didominasi sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan kontribusi sebesar 34,52%.
</font>
</p>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Selain melihat kontribusi masing-masing sektor terhadap total PDRB Kabupaten Jombang, untuk mengetahui kondisi ekonomi Kabupaten Jombang dapat juga dilihat dari kontribusi masing-masing PDRB kecamatan. Dengan mengetahui kontribusi PDRB masing-masing kecamatan dapat dilihat kekuatan ekonomi secara spasial di Kabupaten Jombang. Berikut ini adalah PDRB masing-masing kecamatan dan kontribusinya terhadap PDRB Kabupaten Jombang.
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Tabel 8</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Masing-Masing Kecamatan di Wilayah Kabupaten Jombang</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 250px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxv7jhF34b-JXC89F6B3SENd0i1d_tXRFcebXaCeFfFe5SxOIjppnt1umJnUbmJGhsuoCeZf5cgmBS4Oh98DZ0B_kVgcVEK6y7zjX5L_3f3YsHST6TRsekPQtBZSIVlE4dLjgWJRnlNk4/s320/Produk+Domestik+Regional+Bruto+(PDRB).jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485453146113268834" />
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa PDRB kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Jombang adalah Kecamatan Jombang yang kemudian disusul oleh Kecamatan Mojoagung dan Kecamatan Peterongan. PDRB Kecamatan Jombang memberikan kontribusi sebesar 22,31% terhadap PDRB Kabupaten Jombang, sementara PDRB Kecamatan Mojoagung dan Kecamatan Peterongan masing-masing memberikan kontribusi sebesar 8,84% dan 6,35%. Berikut ini gambaran secara jelas kontribusi PDRB masing-masing kecamatan terhadap PDRB Kabupaten Jombang.
</font>
</p>
<p align="center">
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Gambar 8</b>
</font><br>
<font size="3" face="Times New Roman">
<b>Kontribusi PDRB Masing-Masing Kecamatan</b>
</font>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 283px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizMFn6wYNFf7JN2Zxn4T15aTqK99F79xctb3uQTu4cloywxubmvJES60eaTxG3fosO3TP4Tpnvt5bZqm6Put2cTbXoL_EprN7bju2cbdigL2kYcIbb5QKnGymzZB3A4VFqgnlKrFuMLfQ/s320/Kontribusi+PDRB+Masing-Masing+Kecamatan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5485479234030597666" />Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-67614131457702069502010-06-09T01:06:00.011+07:002010-06-09T03:50:20.019+07:00Cara Mendapatkan Download Gratis (suratku kepada teman)<img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 114px; height: 303px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWGbE7Gwl9M4rqhtjMOFN7LVwYC9Qq9a-UA7j2vmajqqDwDBct3RfQMUwPdmyeBzy74WYqFIWZa_KHVLXYIww921U_BUn1Ed096E9kTauzIcgTXc6BUHbouuVm59ssFYoT6zh8KBsjOQ4/s320/dl1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480483922819462690" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Hei… friend…. trim’s ya… dah ngunjungi blogku… mengenai kesulitanmu
download karya ilmiah, ini kusertakan cara memperoleh link dan mendownloadnya. </font> <br></p>
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">Pertama, tentu
saja kamu harus kunjungi blog </font>
<a href="http://abdiprojo.blogspot.com/" target="_blank">
<font color="#0000FF" size="3" face="Times New Roman">http://abdiprojo.blogspot.com/</font></a>
<font size="3" face="Times New Roman"> dulu, lalu kamu cari menu “LINK
FREE DOWNLOAD” dibawah facebook badge seperti gambar disamping kanan
ini. Oh yaa… waktu snapshoot image aku gunakan Firefox sebagai web
browser.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Nah… disitukan
ada menu dropdown list yang tulisannya “Klik Disini”, coba kamu
klik tulisan tersebut.</font></p>
<img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 106px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjYfec0CrHxtUlWRBwv359edE9G_w_rQKyifCR2LDUCKMLMFLf-nzUGlLTWs7ZHHEbYACA4ZYyldwE51hJQFJOwqijHT6m7fPozl9weD8sk2qxFaE80eNczzB_D3vICxc7WXlgbl0K8cA/s320/dl2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480486318469958082" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kalau dah diklik
mestinya ada menu list yang keluar, seperti pada gambar kedua disamping
kanan. Kamu pilih salah satu option, misal “Karya Ilmiah”. Setelah
kamu klik pilihanmu, seharusnya muncul menu dropdown list yang kedua
di bawahnya seperti gambar pertama di sebelah kiri.</font> <br>
</p>
<img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 108px; height: 288px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidDorxAvf0619guIAzj82cQD83tEJRnQ0l6cDgbJXkwfaB-QzcMfH087cjElvavqmdwV7G2GSOLW3ZPSYExWoxStCZrT-OWcbZL01DLU-Ek7kMb_1FOjJcyKfbh-gvNtLhxCg3yebW5pk/s320/dl3.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480488209648230658" />
<p align="justify">
<font size="3" face="Times New Roman">
Dimenu tersebut juga ada tulisan “Klik Disini”. Ya… udah… kamu
ikuti saja perintahnya.</font> <br></p>
<img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 245px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikaotmdJ4xTpGmG2WeAgX46u1yEoia4EuSRZteXvxVUCvtb9xZ0on6m0w-M_PQYMh2Yflx8f-rPpx84beTrhj9MOIxH0ToUk26uoLEEIOh7oWE59iOrXOVAc3BZUUELweJZUwbqG_VPj0/s320/dl4.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480492414077377506" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">
Kalau dah diklik, seharusnya nampak daftar menu pada dropdownn list
yang kedua seperti yang terlihat pada gambar ketiga di sebelah kanan.
Lalu pilih judul yang kamu suka, misal “Hubungan Kualitas Pelayanan
Dengan Niat Membeli Ulang Di Toko Sinar Bandung”. Setelah kamu klik
pilihannya, seharusnya keluar menu dropdown list ketiga. Seperti yang
terlihat pada gambar kedua di sebelah kiri</font></p>
<img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 176px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfYp1Ul7jU3nEh_meMH0aKBnqFX_uBz8TzcKBQ8YZVNdsz1ljEh4t955GiZd_bnnW67muYEFvpjg_eyAOyu23l8B54R0JK78tu6BQW9rlemThvyvtkYTXjTsu_fA6ItTCR_a1XudLRQwI/s320/dl5.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480494775027425922" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">
Seperti dropdown list pada menu di atasnya, pada dropdown list ketiga
juga terdapat tulisan “Klik Disini” dan sama, kamu juga harus mengklik
tulisan tersebut. setelah kamu klik tulisan tersebut, seharusnya keluar
menu pilihan seperti gambar keempat di sebelah kanan. Lalu pilih salah
satu option tersebut.</font> <br></p>
<img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 117px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnK6APBf9TTFBcTtrzRhlvD5v629SNf1f2n_8vVavL5R4qaBasMtku87TNk6ba0IckRZPkskrgc_38nudztLclHanL7LMaZUOIsa9Fq8oj4vD-zNCKwsRsl2u4epZ808SxgGahMM7vLIQ/s320/dl6.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480496403723311634" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">
Setelah kamu klik pilihanmu, mestinya keluar pesan berwarna merah yang
berkedip (<i>blink</i>). Di bawah pesan tersebut ada textbox yang berisi
link yang akan didownload.</font> <br></p>
<img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 122px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgonaY_s5lxiFDFC2d3aig3i-rpWKiJCTy5jk3Y0OYM8gVB1oTWWGGayceKUIlE0oqM5CA3jlbR1dtrEbq37l_cpTB5hzkoqxRZrs6VrbrzU2ZyOtefSxSsyoBCPFE2wQyJfIp2CJlv16Y/s320/dl7.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480498567356219714" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">
Okay…. dari posisimu sekarang, jika kamu belum melalukan apa-pun kamu
tinggal tekan tab sehingga textbox yang berisi link yang sebelumnya
memiliki warna dasar putih, sekarang menjadi lebih gelap, karena tulisan
yang diblok, selanjutnya tekan “Ctrl+c” atau klik kanan copy untuk
mengkopi link tersebut</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tapi kalau
kamu sudah terlanjur melakukan sesuatu misal mengklik space kosong di
halaman web, kamu harus mengklik bagian paling kiri link dalam textbox
yang biasanya tertulis <b><a href="http://www.ziddu.com/register.php?referralid=(yoM]L3dl@H" target="_blank"><u>“http://www.ziddu.com/....html”</u></a></b>,
setelah itu seperti diatas tekan “Ctrl+c”
atau klik kanan copy untuk mengkopi link tersebut. Perubahan image dari
textbox yang dasarnya berwarna putih kemudian berubah warna dasarnya
menjadi gelap akibat blok tulisan link pada textbox dapat kamu lihat
pada gambar kelima di sebelah kanan.</font> <br></p>
<img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 126px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZcg7TU6Xo4vsPwY0wdwXwLA9yte3P2eYpR1Aq9zFLruRW8uxlXyU0RSLDRicKnJ1xPA1PfRwn8LF4QjC8YwM28j-EdtN7_4mE48abSSTH6rH5c4qZDPuhxLXySEV3jzrm7cEq5HBA404/s320/dl8.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480501520562822962" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Langkah berikutnya
yang harus dilakukan adalah membuka halaman web kosong pada tab baru
atau jendela baru (new window), seperti terlihat pada gambar di bawah
ini, lalu paste alamat link yang telah dicopy tadi ke dalam addres barnya.</font> <br>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 102px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9r-Kt_-1X5clicrmjL25eM5Sd6i1RNicURWI8zLerPIgqVlV7sNXZg74vdQMvcLEFTqo8WTMKaLHfe58UjFOQBbUMSdn6sLUzO4PEtA8A3J1FpaDLBCE7b-VDy450n8jVO4vsqHw_VnE/s320/dl9.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480502226959890082" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Setelah itu
tinggal di enter atau klik ikon panah di sebelah kanan addres bar. Tunggu
sebentar sampai halaman web baru memperlihatkan gambar seperti di bawah
ini</font> <br></p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 225px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiISoCMB3jO16TnN1gSNck7KQYoZgS5SldWe3E3QwkJXkJOwsxz4uZITYX07ntlMJcnYcJ7jqib-lzYbMY1pQ0vfxg-SzfPsf6f4FP4jVa_sQspYlOkw7ma5ZSzvwr_AJRFgHZPQNk1eJY/s320/dl10.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480502787908897922" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Okay…. kita
dah berhasil masuk ke dalam menu download dalam halaman </font><a href="http://www.ziddu.com/register.php?referralid=(yoM]L3dl@H" target="_blank"><font color="#0000FF" size="3" face="Times New Roman"><u>www.ziddu.com</u></font></a><font size="3" face="Times New Roman">. Setelah ini kamu pasti tahu caranya,
karena kamu juga memiliki account di ziddu sebagai media penyimpan file
gratis dan bahkan dapat memberi tambahan penghasilan untuk si pemilik
accountnya.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tapi untuk
menyempurnakan pekerjaan ijinkan aku untuk menyelesaikan apa yang telah
ku mulai….</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Setelah keluar
halaman seperti image di atas, klik saja button yang bertuliskan “Download”.
Tunggu sebentar hingga halaman berganti dan captcha code memperlihatkan
sebuah kode validasi seperti yang diperlihatkan pada contoh gambar di
bawah ini.</font> <br></p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 188px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGmNUFM7PU6ejhkTFJXfY42aPfFrjh5Apn3DVn_ib3lxNOdo75IafE_ZzsvDemGEwA1036rT539hbx6xYPsBqFWq6KJCKUCloNDOGseNisGMDTydRSHbzArkNKgY0hMhgHdnj97uVnY_Q/s320/dl11.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480503397444635810" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Masukkan captcha
code yang ditampilkan, misalnya pada contoh di atas kode validasinya
adalah “n4z6d”. Setelah yakin kode validasi yang dimasukkan benar
klik button yang bertuliskan “Download” seperti yang ditunjukkan
pada contoh gambar di bawah ini. </font> <br></p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 182px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiravwdWLnpZwLlhHis4WhuMVtoEcSf5N1y6fJx2DX7PwjqunNgKuWdYcZr3YYgWutzw5Hj2wOqrmX8YCo2YQjFHSlXpdFcnZ3koD3_DOhD0k__i0FTQQenS5BrXn4LYMK4X-hPx7rpyjk/s320/dl12.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480503964472744482" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dibawah ini
adalah snapshoot image proses download dan kebetulan aku gunakan tool
bantuan Internet Download Manager (IDM), kamu juga bisa memperoleh link
free download IDM-nya di blog ini…… dan juga ada file patch-nya
yang berfungsi untuk <i>cracking</i> IDM sehingga IDM bisa teregristasi
secara online dan IDM bisa dijalankan secara Full Version.</font> <br>
</p>
<img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 228px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGYJD1bizXj5BHb05ZWd77wSAjbXA-c6UvcSZLTGmpTuAXnXBIZDwLL0AeMNNJvfGFZXMMuZdkIu33XKPwtSEO5WCFvIX52x-Mn9n9Bq31OYHv30p3qyo01y_SN_z-HiJJUb2gg9sDFLc/s320/dl14.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5480504627042557778" />
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Nah… sekarang
tinggal menunggu hasilnya…. Selamat mencoba….. </font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-30931215970569984522010-06-07T15:47:00.002+07:002010-06-07T15:55:13.397+07:00Kebijakan Pemblokiran Situs Facebook (fb) di Lingkungan Pemkab Jombang, Efektifkah…???<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dulu, banyak
aparatur publik yang di kantor santai dan menghabiskan waktunya dengan
membaca koran. bila sekarang juga terjadi hal yang sama dengan memanfaatkan
media fb, seharusnya tidak mengambil kesimpulan bahwa fb-lah yang menjadi
penyebab rendahnya kualitas kinerja aparatur publik.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kalau mau bijak,
seharusnya kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa dalam sehari-hari
aparatur publik lebih banyak volume waktu luang/santai daripada volume
tugas.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Jadi, seharusnya
yang perlu diperbaiki adalah moral/etika si aparatnya, sistem kerja
serta distribusi pekerjaan yang proporsional sehingga setiap aparat
memiliki beban kerja berimbang dengan rekan kerjanya. Beban kerja yang
proporsional antar aparat bisa meminimalkan volume waktu luang/santai.
Jadi, tidak perlu menutup akses fb karena waktu kerja si aparat telah
habis digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Terkait dengan
lambatnya koneksi internet (<i>lemot</i>) juga tidak bijak menyalahkan
fb. koneksi lambat internet bisa disebabkan oleh kecilnya bandwidth
yang tersedia, atau terjadi akibat banyaknya user yang sedang online
di waktu yang bersamaan, atau masalah teknologi jaringan yang rendah
kualitasnya. </font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Jadi meskipun
fb diblokir, jika masalah tersebut tidak dipecahkan tetap saja
koneksi internet lambat (<i>lemot</i>). Hal ini terjadi terutama pada
saat banyak user sedang online diwaktu yang bersamaan meskipun yang
dibuka bukan fb.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perkembangan
teknologi informasi, terutama pada portal jejaring sosial seharusnya
disikapi dengan apresiasi positif. Karena dengan semakin banyaknya aparatur
publik yang menggunakan fb, seharusnya menjadi keuntungan bagi masyarakat,
karena dengan begitu masyarakat memiliki ruang akses yang lebih luas.
masyarakat bisa mendapat informasi tentang aktivitas dan informasi publik
dengan menanyakan secara langsung kepada petugasnya tanpa harus datang
ke kantor pemerintahan</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Lagipula, teknologi
informasi tidak dapat dibendung. fb bukan satu-satunya portal yang menyediakan
jasa jejaring sosial, masih ada twitter, friendster dan masih banyak
lagi yang lainnya.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Selain itu,
menutup akses fb bukan berarti si aparatur publik tidak dapat menggunakan
fasilitas fb. kalau tidak percaya coba anda masukkan kata kunci “cara
membuka facebook yang diblokir” di search engine google, nanti akan
anda jumpai ratusan ribu cara yang dapat digunakan dalam memanfaatkan
fasilitas facebook yang diblokir, bahkan ada yang telah memberikan aplikasi
(software) gratis yang siap pakai.</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-76006772963769991572010-06-05T22:29:00.003+07:002010-06-05T22:37:26.370+07:00Link Download Gratis Makalah, Skripsi, Thesis, Disertasi dan Karya Ilmiah<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Seorang peneliti
atau mahasiswa yang mendapat tugas menulis sebuah karya ilmiah pasti
membutuhkan referensi kepustakaan atau penelitian yang sudah ada, baik
itu dalam bentuk makalah, skripsi, thesis, disertasi atau hasil penelitian
yang lain untuk memperkuat/mendukung analisa dalam karya ilmiah tersebut.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Namun, pada
umumnya karena waktu yang terbatas, atau karena minimnya sumber dana
yang dimiliki, atau akses informasi yang terbatas, sering seseorang
memulai pencariannya dengan memanfaatkan teknologi informasi internet.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Langkah awal
yang sering dilakukan kebanyakan orang adalah memanfaatkan jasa mesin
pencari yang disediakan gratis oleh situs-situs besar seperti Google,
Yahoo atau yang lain. Bagi para pengguna awam yang baru mengenal dunia
maya menggunakan mesin pencari tersebut masih dengan cara-cara konvensional
yaitu hanya dengan memasukkan kata kunci lalu klik tombol “cari’.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Begitu melihat
hasil pencarian di mesin pencari tersebut, begitu banyaknya hasil pencarian
dengan kata kunci yang terkait dengan informasi referensi yang dicari.
Namun, apa hasilnya….??? Setelah membuka banyak halaman, yang ditemukan
hanya sederet situs yang halamannya hanya dipenuhi dengan iklan yang
tidak terkait dengan pencarian, atau situs yang menyediakan jasa pengiriman
file makalah, skripsi, thesis, disertasi dengan imbalan yang malah berpotensi
menguras kocek, bahkan situs resmi perguruan tinggi pun hanya menyediakan
dafta <i>list </i>judul atau abstrak belaka. Hal-hal seperti ini sering
membuat hati jengkel. Niat menghemat waktu dan uang malah menjadi pemborosan
yang tidak perlu dengan mengeluarkan uang ekstra untuk <i>online</i>
di warnet.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Blog ini berupaya
membantu pengguna yang kesulitan mencari karya ilmiah yang sebenarnya
sudah tersedia di internet dan hanya membutuhkan sedikit sentuhan script
dengan menyediakan beberapa link download gratis file-file karya ilmiah
hasil perburuan selama beberapa bulan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Karena terbatasnya
waktu dan kesibukan kerja, baru beberapa yang bisa di upload dan masuk
dalam daftar list. Selain itu dalam perburuan karya ilmiah, secara tidak
sengaja banyak ditemukan file film, musik software dan hal-hal menarik
lainnya. Insya Allah disetiap waktu luang akan di upload lebih banyak
lagi. Link file download gratis ada dimenu sebelah kanan atas. Semoga
bisa membantu…..</font></p>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-42783717890996615932010-06-01T18:24:00.005+07:002010-06-01T18:50:58.659+07:00Sri Mulyani bicara Etika dalam Kebijakan Publik<div><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Pengantar: </b></font></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam forum
kuliah umum yang diadakan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D),
sekaligus sebagai acara perpisahan dgn orang-orang yang selama ini mendukung
Bu Ani dalam kisruh politik belakangan ini. Bu Ani berbicara soal "Etika
dalam Kebijakan Publik". Soal apa yang ia coba lakukan di Depkeu,
memberi batas soal apa yg bisa dan tidak bisa dilakukan oleh Menkeu.
Lalu ia juga mengritik soal pengusaha yg jadi pejabat terkait etika.
Dan bagaimana rendahnya etika banyak anggota DPR yg dalam rapat-rapat
suka bertanya keras hanya untuk kelihatan keras, tapi ketika dijawab
malah santai keluar ruangan.</font></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Berikut transkrip lengkapnya:</b></font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Saya rasanya
lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil Pansus Century.
Dan saya bisa merasakan itu karena <i>sometimes</i> dari moral dan etikanya
jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi,
sekarang menjadi grogi. Saya diajari Pak Marsilam untuk memanggil orang
tanpa mas atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi <i>egalitarian</i>.
Saya susah manggil “Marsilam”, selalu pakai “pak”, dan dia marah.
Tapi untuk Rocky saya malam ini saya panggil Rocky (Rocky Gerung dari
P2D) yang baik. Terimakasih atas (tepuk tangan).</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tapi saya jelas
nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor, kasus. Terima
kasih atas <i>introduksi</i> yang sangat <i>generous</i>. Saya sebetulnya
agak keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama, karena
judulnya adalah memberi kuliah, dan biasanya kalau memberi kuliah saya
harus, paling tidak membaca <i>textbook</i> yang harus saya baca dulu
dan kemudian berpikir keras bagaimana menjelaskan, dan malam ini tidak
ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus. Itu biasanya kuliah
kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk eksekutif yang
bayar SPP-nya mahal dan pasti <i>neolib</i> itu (disambut tertawa).
Oleh karena itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya
untuk berbicara tentang kebijakan publik dan etika publik.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Yang kedua,
meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi disebutkan
mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saja akan mengatakan
sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk tangan). Dan
malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang
saya pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya tidak boleh
untuk mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi
saya mohon ma’af kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan
amanat pada hari ini.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tapi saya diminta
untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik, dan itu adalah
suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya,
semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri
di kabinet di Republik Indonesia itu.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Suatu penerimaan
jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran. Dengan segala upaya
saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang
pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan,
membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan
publik.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Disitu letak
pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar
seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi <i>MC </i>
tentang filosofi?. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika
di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat
publik, hari pertama saya, harus mampu untuk membuat garis antara apa
yang disebut sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya
dan keluarga, atau kelompok.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dan sebetulnya
tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI untuk pintar
mengenai itu, karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim Presiden
Soeharto, dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara
kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal
awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap
hari harus membuat kebijakan publik dengan <i>domain</i> saya sebagai
makhluk, yang juga punya <i>privacy</i> atau kepentingan pribadi.</font> <br>
</p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Di dalam ranah
itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5 tahun saya
bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan publik
dan bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap,
dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu
harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi,
yaitu kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat
yang adil dan makmur.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Jadi kebijakan
pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik
dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi
publik yang eksis, karena dia merupakan produk dari suatu proses politik
dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Di situlah letak bersinggungan,
apa yang disebut sebagai <i>ingridient</i> utama dari kebijakan publik,
yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan
kita.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kekuasaan selalu
cenderung untuk <i>corrupt</i>, tanpa adanya pengendalian dan sistem
pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti <i>corrupt</i>. Itu sudah
dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat
publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat
kita corrupt, maka pertanyaan “kalau saya mau menjadi pejabat publik
dan tidak ingin <i>corrupt</i>, apa yang harus saya lakukan?”.</font> <br>
</p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Oleh karena
itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih
saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu khawatirnya,
tapi juga pada saat yang sama punya perasaan <i>anxiety</i> untuk menjalankan
kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada
hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas
internal anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas
menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar, sesadar-sadarnya bahwa kewenangan
dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat
besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir <i>corrupt</i> pun orang
sudah berpikir <i>ngeres</i> mengenai hal itu.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Bayangkan,
seseorang harus mengelola suatu <i>resources</i> yang omsetnya tiap
tahun sekitar, mulai dari saya mulai, dari 400 triliun sampai sekarang
diatas 1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun
lebih.(batuk-batuk) Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau
bicara uang terus langsung....(ada air putih langsung datang diiringi
ketawa hadirin).</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Saya sudah
melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau <i>governance</i>
pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang
yang begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi
terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seolah-olah
menjadi barang atau aset miliknya sendiri.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dan di situlah
hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat garis
pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan dalam,
bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara
dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan
ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-<i>abuse</i>-nya.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Barangkali
itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih menganggap bahwa
juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat
tapi ternyata “bau-nya” tidak seperti itu, tingkahnya apalagi lebih-lebih.
Jadi, saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi
berdasarkan <i>genuine product</i>-nya, dia hasilnya apa, tingkah laku
yang <i>esensial</i>.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Nah….. di
dalam hari-hari dimana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan
tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau
nilai <i>resources</i> yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan
rambu-rambu, internal maupun eksternal.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Mungkin contoh
untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat Jenderal
saya. "Tolong beri saya <i>list</i> apa yang boleh dan tidak boleh
dari seorang menteri". Biasanya mereka bingung, “tidak perndah
ada menteri yang tanya begitu ke saya bu”. Saya menteri boleh semuanya
termasuk mecat saya. Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang
boleh dan nggak boleh, buat mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat
janggal, untuk kultur birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di dalam
konteks yang lebih besar dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu.
Kita membuat <i>standart operating procedure</i>, tata cara, tata kelola
untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem <i>check and balance</i>.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Karena kebijakan
publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan
konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada anda. Banyak
contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang, pada
jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil hingga korupsi
yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan <i>ritel</i> sampai
korupsi yang sifatnya <i>upstream</i> dan hulu.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dan bahkan
dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan itu.
Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli
sistem, dia bisa menciptakan <i>network</i>, dia bisa menciptakan pengaruh,
dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya.
Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu
anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Namun, meskipun
kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu dengan menegakkan
pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih
bisa dilewati. Di sinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika.
Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat
apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu menghianati
atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah
kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran.
Etika itu ada di dalam diri kita.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dan kemudian
kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi yang keren
namanya <i>agregat</i>, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika
yang jumlahnya <i>agregat</i> atau publik, pertanyaannya adalah apakah
di dalam <i>domain</i> publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan
dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu
norma yang mengatur dan memberikan <i>guidance</i> kepada kita. Saya
termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi menteri.
Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus
berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Di situ anggota DPR bertanya banyak
hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Mereka mengkritik
begitu keras, tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan “ini
adalah panggung politik bu”.</font><br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"> Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua
Dirjen yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya.
Mereka sangat <i>powerfull</i>. Karena pengaruhnya, dan <i>respectability</i>
karena saya tidak tahu karena kepada angota dewan sangat luar biasa
dan waktu saya ditanya, mulainya dari...? segala <i>macem</i>. Setiap
keputusan, <i>statemen</i> saya dan yang lain-lain selalu ditanya dengan
sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan, "oh… ini ongkos
demokrasi yang harus dibayar" dan saya legowo saja dengan tenang
menulis pertanyaan-pertanyaan mereka.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Waktu sudah
ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau dijawab atau
tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "ibu tidak
usah dimasukkan ke hati bu, hal seperti itu hanya satu <i>episode</i>
drama saja". Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin
orang seperti saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan
etika publik, kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan
media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan
maka kita bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi <i>guidance</i>?
yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan dan
itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat
publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama, kalau saya tidak <i>
corrupt</i>, jelas saya <i>legowo</i> nggak ada masalah. Tapi yang kedua
saya menjadi khawatir saya akan <i>split personality</i>.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Waktu di dewan
saya menjadi <i>personality</i> yang lain, nanti di kantor saya akan
menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak
saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu
yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah.
Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam
lain lagi dengan tengah malam. Kan… itu sesuatu yang sangat sulit
untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi seorang pejabat publik
yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.</font> <br>
</p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Nah… oleh
karena itu, di dalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan
publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana
kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan
rakyat yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan
suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita
harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik, dimana
buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya <i>double
standrart</i>, <i>triple standart</i>.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dan bahkan
kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan,
saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi <i>executive director</i>
di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara
maju. Hari pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai
etika sebagai seorang <i>executive director</i>, <i>do</i> dan <i>don'ts</i>.
Di situ juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana
suatu institusi yang memprodusir suatu <i>policy</i> publik, untuk level
internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam
proses politik atau proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik
kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya
melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam <i>domain</i> konflik kepentingan. Dan mereka memberikan <i>counsel</i> untuk kita
untuk bisa membuat keputusan yang baik.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir,
ya…. kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya
dengan pemahaman mengenai konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri
suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi
kepada anggaran, entah belanja, entah <i>insentif</i>, dan pihak yang
ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan
keuntungan itu dan tidak ada rasa risih, hanya untuk menunjukkan yang
penting pemerintahan <i>efektif</i>, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu
adalah urusan sekunder.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah <i>background</i>-nya pengusaha, meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya, tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan <i>teteh</i>, <i>mamah</i>, <i>aa'</i> semuanya masih <i>run</i>. Dan dengan tenangnya,
berbagai kebijakan, bahkan yang membuat saya terpana, kalau dalam hal
ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa inggris apa disebutnya? <i>i
drop my job</i> atau apa..bengong itu.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kita bingung
bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan pribadi saya
di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu
ternyata yang meng-<i>import</i> adalah perusahaannya dia. Nah…..
ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir
yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi <i>the most reason
phenomena</i>. Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman
orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan
kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi <i>decision
making process</i> juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui
proses <i>check and balance</i>, tapi di dalam dirinya, unsur mengenai
konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang
yang jarang disebut pak.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Ada suatu saat
saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan.
Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia adalah komisaris dari
beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan dengan tenang,
bagi yang punya <i>aviliasi</i> dengan apa yang kita diskusikan silahkan
keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan
di kementrian keuangan. Kebetulan mereka adalah teman-teman saya. Jadi
teman-teman saya itu dengan <i>bitter</i> mengatakan, "mbak ani
jangan sadis-sadis amat-lah kayak gitu, kalaupun kita disuruh keluar
juga <i>diem-diem</i> aja, nggak usah caranya kayak gitu".</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Saya ingin
menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep
mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka
di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan,
kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau <i>MC</i>-nya
menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar
dan dunia yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang
cerita yang <i>nggak-nggak aja</i>. Belum kalau di dalam konteks politik
besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti “lihat saja Sri Mulyani,
neolib”.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Jadi saya mungkin
akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah
suatu keresahan buat kita. Karena <i>episode</i> yang terjadi beberapa
kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang
harusnya menjadi <i>the ultimate shareholder</i> dari kekuasaan. Dia
memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari
orang-orang yang diminta untuk menjadi pengawas atau <i>check</i> terhadap
CEO-nya.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dan proses
ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan
untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota,
propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya.
Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban
seseorang. Saya menteri keuangan, saya biasa mengurusi ratusan triliun
bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka, tapi saya akan kaget
kalau itu menjadi beban personal.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Seseorang akan
menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai <i>return of investment</i> saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan
dan waktu saya mengatakan saya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh
sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena
kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan
rakyat. Sehingga muncul-lah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan
oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya
mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan
mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun <i>toh</i> tetap tidak
bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sehingga memunculkan
suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber finansialnya. Dan
di situlah kontrak terjadi, di tingkat daerah, tidak mungkin itu dilakukan
dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD-nya pun tidak mungkin
karena <i>size</i> dari APBN-nya kadang-kadang tidak sebesar atau mungkin
juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui <i>policy</i>. <i>Policy</i> yang bisa dijual-belikan. Dan itu adalah bentuk hasil dari
suatu kolaborasi. Pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi
hal ini di dalam konteks bahwa produk dari kebijakan publik, melalui
sebuah proses politik yang begitu mahal sudah pasti akan <i>distated</i>
dengan struktur yang membentuk awalnya. Karena kebijakan publik adalah
hilirnya, hasil akhir, hulunya yang memegang kekuasaan, lebih hulu lagi
adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu demikian mahal.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dan itu akan
menjadi pertanyaan yang <i>concern</i> untuk sebuah sistem demokrasi.
Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau
menjadi bagian dari pemerintah, tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan
politik itu vakum atau hampa dari kepentingan politik di mana saja pasti
tentang kepentingan dan kepentingan itu kawin di antara beberapa kelompok
untuk mendapatkan kekuasaan itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada
siapa saja yang menjadi pemenang.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kalau pada
hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan atau ada
yang menangisi, ada yang <i>gelo</i> (jawa:menyesal.red), kenapa kok
Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini
adalah suatu kalkulasi di mana saya menganggap bahwa sumbangan saya,
atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki
di dalam sistem politik. Di mana perkawinan kepentingan itu begitu sangat
dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah <i>kartel</i>,
saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama. (ketawa
dan tepuktangan).</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Karena politik
itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya saya katakan tadi,
hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu, dan di dalam bahwa
di mana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak
memungkinkan etika publik itu bisa dimunculkan, maka untuk orang seperti
saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat
saya menerima tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah
berjanji kepada diri saya sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang
akan menghianati dengan berbuat <i>corrupt</i>. Saya tidak mengatakan
itu gampang, sangat <i>painful,</i> sungguh <i>painful</i> sekali. Dan
saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau meneteskan
air mata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu besar,
sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar, anda bisa, anda
mampu, anda bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng-<i>abuse</i>-nya
oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi agar nyaman
dan anda tidak mau. (tepuk tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu
diapresiasi. P2D-kan baru muncul sesudah saya mundur (ketawa, disini
dia terlihat mengusapkan sapu tangan ke matanya).</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Jadi ya…
terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan republik
ini-lah. Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa
menit atau berapa jam. Soalnya di atas jam sembilan argonya lain lagi
nanti. Jadi, saya gimana harus menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja,
balik terus nanti. Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir
kuliah saya ini, atau cerita saya ini, saya ingin menyampaikan kepada
semua kawan-kawan disini, saya bukan dari partai politik, saya bukan
politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik. Selama lebih dari
lima tahun saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kita punya
perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah. Keresahan itu memuncak
pada saat kita menghadapi realita, jangan-jangan banyak orang yang ingin
berbuat baik merasa frustasi atau mungkin saya akan <i>less dramatic</i>.
Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita
menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan
yang lebih besar. Sebetulnya, cerita itu bukan cerita baru, karena saya
tahu betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan <i>
stay</i> atau <i>out</i> adalah pada dilema, apakah dengan <i>stay</i>,
saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan
suatu kerusakan yang lebih besar, atau anda <i>out</i> dan anda di situ
akan punya <i>kans</i> untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko <i>getting associated with</i> menjadi <i>less</i> <i>personal gain,</i> <i>public loss If you are stay</i>, dan itu yang saya rasakan lima tahun, <i>
you suddenly feel that everybody is your enemy</i>.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Karena <i>no
one</i> yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu <i>happy</i> karena kita tetap berada di dalam sistem yang tidak sejalan
dengan kita, juga jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang
bisa diajak enak-enakan. Sehingga anda di dalam di <i>sandwich</i> di
dua hal itu dan itu bukan suatu pengalaman yang mudah, sehingga kita
harus berkolaborasi untuk membuat <i>space</i> yang lebih enak, lebih
banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Nah… kalau
kita ingin kembali kepada topiknya, untuk menutup juga, saya rasa forum-forum
semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang duduk pada
malam hari ini adalah kelompok kelas menengah yang sangat sadar membayar
pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik
yang mengatakan dia membayar pajak sukarela, tapi meskipun tidak sukarela,
anda sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini
tetap berdaulat. Dan orang seperti anda yang tahu membayar pajak adalah
kewajiban dan sekaligus hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan
dalam bentuk sistem politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan
orang-orang seperti anda-lah republik ini harus dijaga. Sungguh berat,
dan saya ditanya atau berkali-kali di banyak forum untuk ditanya, “kenapa
ibu pergi? bagaimana reformasi, kan yang dikerjakan semua penting, apakah
ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih
penting dibandingkan bank dunia”.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Seolah-olah
sepertinya negara ini menjadi tanggung jawab Sri Mulyani dan saya keberatan
dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga bertanggungjawab
kalau bertanyaa hal yang sama ke saya. Anda semua bertanggungjawab sama
seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan
sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea cukai,
jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik".
Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat
pelik.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kecintaan itu
paling tidak akan terus memelihara suara hati kita dan bahkan menjaga
etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan, dan
saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak
di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian
keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Saya ingin
memberikan <i>testimoni</i> bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul <i>
genuinly</i> adalah orang-orang yang <i>dedicated</i>. Mereka yang cinta
republik sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani,
mereka punya harga diri, dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin
mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang
tidak boleh bersuara banyak tapi harus bekerja.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sebagian kecil
adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan, sangat senang untuk meng-<i>abuse</i>.
Tapi, saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat.
Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang ini untuk
dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat, sehingga <i>landscape</i> negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi
dengan seolah-olah menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk
dan runtuh. Selama seminggu ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus
perpisahan dengan jajaran di kementrian keuangan dan saya bisa memberikan,
sekali lagi, <i>testimoni</i> bahwa perasaan mereka untuk membuktikan
bahwa <i>reform</i> bisa jalan ada disana. Bantu mereka untuk tetap
menjaga “api” itu. Dan jangan kemudian anda di sini bicara dengan
saya, ya… bisa diselamatkan kalau Sri Mulyani tetap menjadi Menteri
keuangan, saya rasa tidak juga.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Suasana yang
kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang lalu, seolah-olah
persoalan negara ini disandera oleh satu orang, Sri Mulyani. Sedemikian
pandainya proses politik itu diramu sedemikian, sehingga seolah-olah
persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada suatu
ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan
berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun
dia harus tetap membuat kebijakan publik. Dia berusaha di setiap pertemuan,
mencoba untuk meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan
pribadi atau kelompok, dan apakah dia diintervensi atau tidak, apakah
dia membuat keputusan karena ada tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam
dia bertanya, dia minta, dia mengundang orang dan orang-orang ini yang
tidak akan segan mengingatkan kepada saya. Meskipun mereka tahu saya
menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang seperti pak Darmin, siapa
yang bisa bilang atau marahin Pak Marsilam? wong semua orang dimarahin
duluan sama dia.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Mereka ada
di sana hanya untuk mengingatkan saya, berbagai rambu-rambu, berbagai
pilihan dan pilihan sudah dibuat dan itu dilaporkan, dan itu diaudit
dan itu kemudian dirapatkan secara terbuka, dan itu kemudian dirapatkerjakan
di DPR. Bagaimana mungkin itu kemudian, 18 bulan kemudian, dia seolah-olah
menjadi keputusan individu seorang Sri Mulyani, proses itu berjalan
dan etika sunyi, akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan
apakah pejabat publik yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat
dia sudah mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa <i>divictimize</i> oleh
sebuah proses politik. Saya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian <i>rezim</i> orde lama ke orde baru, semua orang di <i>stigma</i> komunis,
kalau ini khusus didesain pada era reformasi, seorang di<i>stigma</i>
dengan Sri Mulyani identik dengan Century. Mungkin kejadiannya di satu
orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman
telah terjadi.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sebetulnya
disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik yang
didorong, yang di<i>motivate</i>, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan
membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan, divonis
tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu <i>episode</i> yang sebetulnya
sudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik
yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah
ada etika dan norma yang menjadi <i>guidance</i>, kita dibenturkan dengan
realita-realita politik.</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dan untuk itu,
saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari anda mengatakan
apakah Sri Mulyani kalah?, apakah Sri Mulyani lari? dan saya yakin banyak
yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu <i>
loss</i> atau kehilangan. Di antara anda semua yang ada disini, saya
ingin mengatakan bahwa saya menang, saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan,
saya definisikan menurut saya, karena tidak di<i>dikte</i> oleh siapapun
termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini. (<i>applause</i>).</font> <br></p><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Saya merasa
berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah tiga. Selama
saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani
saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya,
maka disitu saya menang. Terimakasih (standing applause)</font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman"> <br>sumber: dari suatu milis</font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-60188075303292239802010-05-20T05:47:00.003+07:002010-06-01T06:38:35.777+07:00Data, Fakta dan Isu Kebijakan Perencaanaan dan Penganggaran<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sejak dicanangkannya
kebijakan desentralisasi yang dialamatkan ke level daerah, telah mampu
mendorong kebangkitan partisipasi masyarakat sipil. Tak ayal jika asosiasi
sipil makin marak tumbuh di aras lokal. Upaya mereka, umumnya, berkehendak
memajukan peran masyarakat di setiap pengambilan kebijakan, baik itu
menyangkut perencanaan pembangunan, penganggaran daerah, sampai dengan
pelayanan hak-hak sosial dasar.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Banyak cara
telah ditempuh. Selain memanfaatkan jalur formal kebijakan, biasanya
gerak dinamik lokal diisi juga memilih strategi advokasi melalui pengorganisasian
warga, mengangkat isu-isu populis. Pilihan advokasi dilakukan dalam
tiga model: (1) pendekatan diplomasi; (2) pengembangan wacana kritis;
sampai dengan (3) pengorganisasian masyarakat. Dalam rentang perubahan
pada babak awal reformasi, pilihan pengorganisasian masyarakat sering
ditempuh oleh para aktivis, sebagai bagian dari episode merintis pondasi
dan membangun tembok bagi demokrasi lokal, yang telah lama menjadi harapan
sejak reformasi dideklarasikan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sementara,
berkenaan dengan peran pemerintah daerah, sejumlah perubahan juga patut
disyukuri. Merujuk bermacam riset mengenai local <i>governance
reform</i>, telah memberikan informasi-informasi positif. Sekurang-kurangnya
pada aras formal kelembagaan, juga regulasi, telah banyak inisiatif-inisiatif
awal oleh pemerintah yang makin tumbuh. Hal itu dapat digolongkan sebagai
respon atas tuntutan perubahan yang dikawal para CSO (<i>civil
society organisation</i>), maupun sebentuk <i>political
will</i> yang lahir dari teknokratisasi pemimpin daerah. Dapat disebutkan
misalnya: terbentuknya peraturan-peraturan daerah (Perda) berkaitan
dengan partisipasi sipil dalam kebijakan publik, pembaharuan tata kelola
perijinan dan pelayanan masyarakat, transparansi dan partisipasi dalam
perencanaan pembangunan dan penganggaran, serta yang paling aktual adalah
inisiatif perubahan anggaran yang berpihak pada kaum miskin atau yang
dikenal dengan reformasi <i>social policy</i> (pendidikan dan kesehatan).</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Meskipun pada
aras masyarakat sipil dan negara telah dicapai kemajuan positif, banyak
catatan penting di seputar kendala tak bisa dielakkan. Perubahan yang
berlangsung sejauh ini, tidak berarti secara otomatis berujung pada
implementasi yang konsisten sesuai koridor normatif. Perubahan tata
kelembagaan yang berlangsung secara radikal, khususnya di bidang politik
formal, dibarengi sejumlah bukti keadaan sosial ekonomi masyarakat yang
menunjukkan fakta berlawanan. Jerit keluh warga terkait problem-problem
sosial ekonomi, masih terus terdengar. Bahkan makin keras. Demokrasi
politik belum membuahkan kesejahteraan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Berbagai langkah
politik warga membendung dan mengatasi segala macam masalah itu, memang
bukan pekerjaan mudah. Pengalaman pahit makin merisaukan masyarakat,
terutama banyaknya pengingkaran agenda reformasi. Kerisauan dan sinisme
makin mencuat, menyaksikan berbagai jebakan pragmatisme yang selalu
menghantui irama dan dinamika lokal. Kemerosotan kepercayaan makin berlangsung
saat reproduksi ketegangan antar kelompok sipil dalam advokasi kebijakan
makin menebal, yang seringkali diiringi sikap dan tindakan yang saling
berbenturan. Propaganda buruk antar aktivis muncul, meski hanya berkutat
pada perbedaan pilihan strategi, tanpa ditopang komunikasi antar mereka.
Perselisihan tanpa kompromi dan negosiasi, justru mengurangi energi
bagi bangunan konsistensi kesadaran dalam perjuangan.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Meningkatnya
derajat partisipasi formal, yang didorong dalam sketsa demokratisasi
lokal, nampaknya belum berkorelasi positif dengan derajat perubahan
kebijakan secara nyata. Bahkan partisipasi itu, seringkali terjebak
dalam formalisasi. Menyangkut perencanaan pembangunan dan penganggaran,
sesungguhnya secara normatif telah tertuang beberapa regulasi. Sebut
saja misalnya, berkenaaan dengan musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang), yang mensyaratkan pendekatan partisipasi, telah diatur
melalui UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan daerah.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Partisipasi
dalam perencanaan pembangunan, yang diatur dalam dua regulasi tersebut,
ternyata membentur proses penganggaran daerah. Proses penganggaran ini
mengikuti regulasi yang khusus mengaturnya, yaitu UU No 17/2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No 33/2004 tentang perimbangan dana pemerintah
pusat dan daerah. Meski kehendak regulasi berupaya mengintegrasikan
proses perencanaan dan penganggaran, namun dalam praktiknya yang sering
terjadi di banyak daerah adalah <i>disconnection</i> antara hasil Musrenbang
kabupaten dengan posting alokasi belanja anggaran. Hasil Musrenbang
dalam bentuk daftar skala prioritas (DSP), tidak dijadikan referensi
nyata dalam posting alokasi anggaran oleh tim anggaran pemerintah daerah
(TAPD) dan Panitia Anggaran (Panggar) DPRD. Karena itu, bisa disadari
bahwa anggaran daerah cenderung disusun secara oligarkis oleh eksekutif
dan legislatif, sehingga tidak bisa disentuh (<i>untouchable</i>) oleh
partisipasi masyarakat.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Padahal, Permendagri
nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, memungkinkan
masyarakat untuk mengetahui akses informasi yang seluas-luasnya tentang
keuangan daerah. Dalam cara pandang kritis, terjadinya elitisasi dan
oligarki proses perencanaan dan penganggaran, berakibat pada kecenderungan
formalisasi Musrenbang yang tidak bisa dijadikan tolok ukur perencanaan
yang partisipatif dan transparan. Wajar saja, jika akhirnya output Musrenbang
dan penganggaran, dalam bentuk APBD, tidak sesuai harapan. Hal ini biasanya
tercermin dari, besaran partispasi warga dalam Musrenbang tidak berkorelasi
positif atas alokasi anggaran yang semestinya diperuntukkan untuk masyarakat.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Apalagi, di
sejumlah kasus menunjukkan modus-modus perilaku aktor-aktor yang memanfaatkan
secara informal proses kebijakan perencanaan maupun penganggaran, yang
menerobos jalur formal (prosedural). Tidak mengherankan, jika akhirnya
arena penganggaran memperlihatkan dua gerak sirkuit: arus formal dan
informal dalam mempengaruhi kebijakan perencanaan dan penganggaran,
yang berujung pada abainya kepentingan masyarakat luas, apalagi kelompok
marginal. Kontestasi formal seringkali berbeda dengan geliat penetrasi
aktor-aktor informal, termasuk jaringan <i>agencies</i> dalam institusi
pengambil kebijakan. Disanalah, tidak jarang senantiasa muncul ”penumpang
gelap” kebijakan, yang mendistorsi kebijakan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Skema perencanaan
dan penganggaran semestinya mensyaratkan perpaduan antara pendekatan
teknokrasi, politik dan partisipasi. Kaitan antar pendekatan tersebut
merupakan konstruksi demokratisasi kebijakan. Namun faktanya, kecenderungan
modus perencanaan dan penganggaran daerah masih bersifat terlalu teknokratis-politis,
tidak diimbangi dengan aspek partisipasi yang nyata. Sebagai ukuran,
bahwa di setiap hasil Musrenbang yang diolah pada tingkat SKPD, selalu
mengalami pemangkasan di lintasan eksekutif. Apalagi, pada fase penganggaran,
senantiasa absen dari pantauan dan keterlibatan warga. Tahap krusial
yang perlu diperhatikan, karena sekaligus menjadi titik strategis penentu
perencanaan, tidak lain ada pada tahap perumusan program/kegiatan SKPD
yang dikoordinasi Bappeda.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Proses dan
rute dari bawah, sesungguhnya sangat bergantung bagaimana pembahasan
masuk dalam sistematisasi dan rasionalisasi dalam kacamata SKPD yang
didalamnya terjadi “interaksi” sekaligus pertarungan antar sektoral.
Arena ini, memang sebagian besar memiliki modus yang sama mengenai kecenderungan
para kepala dinas memperjuangkan segala usulan masing-masing instansi
berbasis keinginannya. Silang kepentingan dengan nalar teknokratik,
berproses dengan (cenderung) mengabaikan segala dokumen usulan dari
hasil Musrenbang. Bahkan tragisnya, produk perencanaan teknokratik tersebut
meninggalkan koherensinya dengan RPJMD, Renstra, maupun Renja SKPD.
Hal itu bisa terjadi karena mekanisme perencanaan pembangunan telah
“terbakukan dalam sangkar birokratik”. </font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perangkat kelembagaan
dan mekanisme perencanaan jika sudah memasuki area kabupaten, daftar
usulan dari hasil Musrenbang mengalami penyusutan secara sistematik,
dengan tergantikan oleh bermacam skema yang berasal dari dinas-dinas
(SKPD). Hal semacam ini memperlihatkan terjadinya <i>gap</i> (kesenjangan),
antara model perencanaan dari bawah berbasis spasial (desa), yang menunjukkan
pendekatan partisipasi, berhadapan dengan model perencanaan berbasis
sektoral (daerah/kabupaten), yang mencerminkan teknokratisasi. Salah
satu akar penyebab kesenjangan, sebagaimana disinyalemen banyak kalangan,
bahwa jika perencanaan desa (dari bawah) itu masih melekat dalam perencanaan
daerah, sebagaimana diatur dalam tata kelembagaan Musrenbang, kemungkinan
berlanjutnya dominasi kabupaten akan terus berlangsung. Secara hipotetis
dapat dikatakan, <i>set up</i> tata kelembagaan perencanaan pembangunan
daerah, senantiasa menjadi perangkap formalisasi partisipasi dan hanya
memperkuat dominasi SKPD.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Secara teoritik,
anggaran belanja daerah merupakan instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan
roda kekuasaannya. Dalam skema kebijakan, keputusan alokasi sumber daya
untuk berbagai keperluan berupa pengeluaran setiap tahunnya, tercermin
pada APBD. Dalam prakteknya, anggaran belanja daerah tak terlepas dari
sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi, sekaligus menjadi mediasi
berbagai kebutuhan masyarakat. Dalam konteks demikian, kebutuhan atau
kepentingan itu seringkali memiliki bobot prioritas yang relatif sama.
Dari sanalah diperlukan pilihan-pilihan memutuskan mana yang akan didanai
terlebih dahulu. Tidak heran jika atas pertimbangan itu pada akhirnya
berbagai pihak dan kelompok kepentingan akan berebut pengaruh di dalam
memutuskan alokasi anggaran belanja daerah.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Anggaran belanja
daerah merupakan salah satu komponen dasar kebijakan publik daerah.
Dalam perspektif mikro, kebijakan anggaran belanja daerah adalah merupakan
keputusan politik yang ditetapkan kepala daerah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), untuk dilaksanakan oleh aparat birokrasi daerah.
Sebagai keputusan politik, kebijakan anggaran belanja daerah sering
melalui proses politik yang panjang dan kompleks. Prosesnya meliputi
tujuan-tujuan kebijakan dan cara pengambilan keputusannya, orang-orang
atau kelompok-kelompok yang dilibatkan, baik sebagai perencana, pelaksana
maupun penerima manfaat kebijakan anggaran belanja daerah. Sementara
dalam khasanah makro tata pemerintahan demokrasi, kebijakan anggaran
belanja daerah merupakan mandat politik warga (<i>citizen political
mandate</i>) atas sumberdaya publik yang diamanatkan kepada lembaga
pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) sebagai pemilik otoritas
pengelolaan anggaran. Sifat otoritatif pemerintah demikian tentu hanya
berlaku sepanjang pemerintah daerah mampu melaksanakan alokasi atau
distribusi anggaran berdasarkan nilai-nilai kepentingan warga.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kombinasi dua
perspektif setidaknya telah terefleksikan pada muatan Undang-undang
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana pada Pasal 3 dinyatakan
bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Artinya, selain proses kebijakan
penganggaran mengacu kepada prinsip-prinsip teknokratis, lebih dari
itu yang patut digaris bawahi adalah adanya proses politik dan partisipasi
warga.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam pengertian
yang luas, anggaran memiliki fungsi distributif, yang diartikan bahwa
suatu anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Sebagai
fungsi alokasi sumberdaya, anggaran harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja, mengatasi kesenjangan serta meningkatkan efektivitas
dan efisiensi perekonomian. Untuk itulah, penyusunan anggaran harus
mempergunakan prioritas kebutuhan dasar bagi masyarakat, apa yang akan
dipenuhi, memperkirakan sumber daya yang dimiliki pada tahun yang akan
datang, pelayanan atau pembangunan apa yang akan diberikan pemerintah
untuk satu tahun ke depan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Anggaran belanja
daerah mempunyai beberapa karakteristik yang membuat anggaran itu sarat
dengan masalah-masalah politik. Pemerintah daerah menyusun anggaran
itu secara teknis dengan kriteria efesiensi dan profesional. Biasanya
pejabat-pejabat penyusun itu mempunyai pendidikan yang khusus mendalami
masalah-masalah anggaran, tetapi kadang-kadang perhitungan-perhitungan
yang telah disusun secara teknis dan profesional itu sulit disajikan
secara rasional, karena adanya intervensi dari unsur-unsur politik.
Di sini berhadapan antara penyusun anggaran yang profesional dengan
para politisi yang bekerja dengan pertimbangan politik. Dengan kata
lain, terdapat batasan antara keputusan-keputusan yang bersifat teknis
dari para penyusun anggaran, dan bersifat politis dari para politisi
atau anggota legislatif.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Diantara anggota
legislatif yang mewakili rakyat itu, sering terjadi konflik diantara
mereka sendiri. Jadi konflik bukan terjadi antara anggota legislatif
dan penyusun anggaran atau pemerintah saja, tetapi juga dapat terjadi
dikalangan dewan legislatif. Anggota legislatif itu mewakili kelompok-kelompok
masyarakat yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, antara lain
kelompok-kelompok ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Dengan demikian dikalangan
legislatif itu, tidak heran apabila disatu pihak memperjuangkan anggaran
untuk golongan pengusaha yang sudah mapan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dimensi politik
dan kepentingan dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal
yang lazim terjadi di Indonesia termasuk dominasi elite kekuasaan di
dalam mempengaruhi perumusan kebijakan. Pengaruh politik dalam anggaran
bukan hanya pada penyusunannya, tetapi juga pada prosesnya. Proses anggaran
yang dimaksud adalah dari mulai tingkat usulan sampai ke pelaksanaan
dan penilaian. Pada proses inilah unsur-unsur politik itu banyak bermain
atau berperan. Pada akhirnya, kebijakan banyak dianggap sebagai sebuah
upaya mempertahankan kekuasaan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Formulasi kebijakan
perencanaan merefleksikan sebuah gugatan terhadap peran elit kekuasaan
yang memegang kendali utama dalam proses perumusan kebijakan yang akan
menentukan masa depan banyak pihak; bukan hanya negara/daerah sebagai
sesuatu yang pasif namun, masyarakat sebagai sesuatu yang aktif termasuk
masa depan negara/daerah.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam perspektif
produk kebijakan, perencanaan daerah merefleksikan sebuah gugatan terhadap
sisi kelayakan dan rasionalitas atas substansi kebijakan perencanaan.
Berangkat dari fenomena yang telah digambarkan, dengan segenap kekuatan
pada derajat analisis pengalaman, penelitian formulasi kebijakan berusaha
menginterpretasikan persoalan pada proses perencanaan (formulasi) dan
kelayakan substansi perencanaan (produk) dari kebijakan perencanaan.
Tentu bukan bermaksud replikasi, atau universalisasi. Segala keterbatasan
yang dikandungnya, memberi harapan pula untuk kritik dan input, agar
setiap upaya perubahan pada level proses selalu bermakna, andai belum
menghadirkan perubahan langsung dalam waktu pendek. Pengetahuan dengan
basis pengalaman yang terakumulasi dari manapun, semoga kian mencerahkan
sesama.</font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-67599770192832485252010-05-20T05:46:00.002+07:002010-05-20T05:56:30.930+07:00Corak Perencanaan Inkrimental<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kritik paling
awal dalam sejarah terhadap pendekatan perencanaan komprehensif—dan
sangat mempengaruhi—diberikan oleh Charles Lindblom pada tahun 1959.
Penulis tersebut mengkritik pendekatan perencanaan komprehensif sebagai
model perencanaan yang membutuhkan tingkat ketersediaan data dan kompleksitas
analisis yang berada di luar jangkauan dan kemampuan para perencana
pada umumnya.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Menurutnya,
dalam praktek, jarang perencanaan dilakukan secara komprehensif, sehingga
lebih baik perencanaan dilakukan secara inkrimental (sepotong demi sepotong)
menggunakan “perbandingan terbatas dari hasil-hasil berurutan” untuk
mencapai tujuan jangka pendek yang realistis.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pendekatan
inkrimental sendiri juga dikritik sebagai terlalu “kuatir” dan konservatif,
karena memperkuat kondisi yang ada (status quo) dan mengingkari kekuatan
perubahan sosial yang revolusioner (perubahan besar dan dalam waktu
relatif singkat). Pendekatan ini juga dikritik berkaitan dengan kelemahannya
dalam berpikir induktif dengan berasumsi bahwa stimulus dan respon jangka
pendek dapat menggantikan kebutuhan terhadap visi dan teori.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Meskipun menerima
kritik-kritik tersebut, pendekatan ini merupakan argumen balik/kontra
terhadap perencanaan tradisional “master planning” yang berbasis
kekomprehensifan arsitektur dan perancangan kota. Pendekatan inkrimental
meningkatkan orientasi ke analisis marginal dari kebijakan sarana prasarana,
ekonomi dan politik serta sosial budaya secara pragmatis dan tidak terpadu.
Oleh karena itu, perencanaan inkrimental (oleh beberapa pihak) dianggap
bukan perencanaan karena tidak mengantisipasi masa depan yang berjangka
panjang;</font> <br> <br> <br> <br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Tabel
….</b></font></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Hubungan
Corak Perencanaan dengan Teori Politik</b></font> <br></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center">
<img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 282px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXnbuqJlSduxY55iVhjuqvQA5FttXRLvVa15-fqbrxBOFCGHJw9CHPRPyaCweTyhVuoDm0KiyaMS8ANxC1G_ZILxpNuO_2UD_xCsWAjucj9SmJzzkYlkQIs2sXDOMIbgx09HteUTMlYpg/s320/Hubungan+Corak+Perencanaan+dengan+Teori+Politik.jpg" border="0" alt="Hubungan Corak Perencanaan dengan Teori Politik" title="Hubungan Corak Perencanaan dengan Teori Politik" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473118212286051378" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perencanaan
strategis memang lebih mewadahi partisipasi masyarakat dalam proses
perencanaannya, sehingga memang mampu mewadahi aspirasi partai atau
golongan/ kelompok yang memperjuangkan demokrasi. Aliran sosialis cenderung
memilih corak perencanaan ekuiti atau perencanaan advokasi. Aliran sosialis
yang “radikal” mungkin lebih menyukai perencanaan advokasi, karena
mewadahi konflik antar kelas sosial, sedangkan aliran sosialis yang
lebih lunak mungkin memilih perencanaan ekuiti, karena hasilnya menjadi
satu rencana, secara kompromi dengan golongan lain di masyarakat.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kompromi tersebut
dapat saja berakhir dengan menerima rencana komprehensif atau rencana
strategis bila aspirasi kelompok minoritas/tertindas yang diperjuangkan
oleh para perencana ekuiti secara adil telah dapat terwadahi. Kelompok
masyarakat yang ingin lebih bebas, tidak terikat dengan pihak lain dan
juga tidak terikat dengan masa lalu serta merasa tidak perlu mempunyai
tujuan jangka panjang, mungkin sekali akan lebih memilih perencanaan
inkrimental.</font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-78486501447805246142010-05-20T05:45:00.000+07:002010-05-20T05:46:01.815+07:00Corak Perencanaan Advokasi<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perencanaan
advokasi meragukan bahwa ada satu saja “kepentingan umum” bersama.
Paul Davidoff dalam Junaedi (2000:6) mengkiritik bahwa perencanaan yang
mengaku mampu merumuskan satu versi kepentingan umum berarti memonopoli
kekuatan/kewenangan perencanaan dan tidak mendorong adanya partisipasi.
Menurut penulis tersebut, bila perencanaan bersifat inklusif, maka sebuah
lembaga tidak akan dapat mewadahi kepentingan masyarakat yang beragam
dan saling konflik. </font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sebaliknya,
perencanaan haruslah dapat mendorong pluralisme yang berimbang dengan
cara mengadvokasi (“memberi hak bersuara”) pihak-pihak yang tidak
mampu menyalurkan aspirasinya. Perencanaan tradisional menghambat tumbuhnya
pluralisme yang efektif, karena: (1) komisi perencanaan (semacam Bappeda)
tidak demokratis dan kurang sekali mewakili kepentingan yang saling
bersaing dalam masyarakat yang beragam (plural), dan (2) perencanaan
kota tradisional berfokus pada aspek fisik yang terpisah dengan aspek
sosial, sehingga mengabaikan kenyataan adanya konflik sosial dan ketidakadilan
di kota.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Karena tidak
percaya adanya satu kepentingan umum, yang berarti juga tidak percaya
adanya satu rencana yang dapat disepakati bersama, maka menurut perencanaan
advokasi, tiap kelompok masyarakat dapat mempunyai rencananya sendiri.
Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mewadahi kepentingan
yang plural di masyarakat.</font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-30689822194789858072010-05-20T05:42:00.000+07:002010-05-20T05:45:09.387+07:00Corak Perencanaan Ekuiti<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Di dekade-dekade
akhir Abad ke 20, tidak hanya pendekatan perencanaan strategis saja
yang muncul, tapi juga tipe perencanaan ekuiti. Tipe ini secara progresif
mempromosikan kepentingan umum bersama yang lebih besar (tidak hanya
kepentingan satu kelompok saja) sekaligus menentang ketidakadilan di
perkotaan. Perencanaan ekuiti mengikuti pendapat perencanaan advokasi
bahwa akar-akar ketidakadilan sosio-ekonomis perkotaan perlu diatasi,
tapi tidak sependapat bahwa perencana mempunyai tanggung-jawab eksplisit
untuk membantu pihak-pihak yang tidak beruntung.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pengalaman
dalam mempraktekkan tipe perencanaan ini dilaporkan oleh Norman Krumholz
di tahun 1982, yang pernah bertugas sebagai direktur perencanaan Cleveland
(AS), yang mempunyai pengalaman impresif dalam melakukan pemerataan
sosial di sebuah kota industri yang mengalami pertumbuhan yang negatif.
Hasil perencanaan ekuiti dapat saja menjadi satu dengan hasil perencanaan
komprehensif atau perencanaan strategis bila partisipasi “kaum pinggiran”
(kelompok minoritas)—yang memperjuangkan keadilan bagi kelompoknya—telah
terwadahi dengan memuaskan.</font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-91282661952409271742010-05-20T05:41:00.001+07:002010-05-20T06:02:27.301+07:00Corak Perencanaan Strategis<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sebagai respon
terhadap tujuan yang terlalu luas (dan sering seperti impian) dalam
perencanaan komprehensif, maka para perencana, di dekade-dekade akhir
Abad ke 20, meminjam pendekatan perencanaan strategis yang biasa dipakai
dalam dunia usaha dan militer. Pendekatan strategis memfokuskan secara
efisien pada tujuan yang spesifik, dengan meniru cara perusahaan swasta
yang diterapkan pada gaya perencanaan publik, tanpa menswastakan kepemilikan
publik.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Di tahun 1987,
Jerome Kaufman dan Harvey Jacobs dalam Djunaedi (2000:4) mengkaji perencanaan
strategis ini dengan bertanya apakah tipe perencanaan ini dapat dipakai
untuk seluruh masyarakat dan bukan hanya untuk pengguna tradisionalnya
yaitu sebuah perusahaan publik atau kantor dinas. Mereka juga mewawancarai
perencana praktisi untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya para praktisi
tersebut menggunakan pendekatan perencanaan strategis tersebut.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Hal yang paling
penting, ada anggapan bahwa perencanaan strategis secara fundamental
berbeda dengan praktek perencanaan yang ada (komprehensif). Dapat disimpulkan
bahwa banyak unsur dasar perencanaan strategis (seperti: berorientasi
tindakan, kajian lingkungan, partisipasi, kajian kekuatan dan kelemahan
masyarakat) sebenarnya telah ada sejak lama dalam tradisi perencanaan.
Membandingkan perencanaan strategis dengan perencanaan komprehensif,
menurut para tokoh di atas bagaikan “barang yang sama tapi dikemas
dengan bungkus yang lebih baru”.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perencanaan
strategis tidak mengenal standar baku dan prosesnya mempunyai variasi
yang tidak terbatas. Tiap penerapan perlu merancang variasinya sendiri
sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi setempat. Meskipun demikian,
secara umum proses perencanaan strategis memuat unsur-unsur: (1) perumusan
visi dan misi, (2) pengkajian lingkungan eksternal, (3) pengkajian lingkungan
internal, (4) perumusan isu-isu strategis, dan (5) penyusunan strategi
pengembangan (yang dapat ditambah dengan tujuan dan sasaran). Proses
perencanaan strategis tidak bersifat sekuensial penuh, tapi dapat dimulai
dari salah satu dari langkah ke (1), (2), atau (3). </font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Ketiga langkah
tersebut saling mengisi. Setelah ketiga langkah pertama ini selesai,
barulah dilakukan langkah ke (4), yang disusul dengan langkah ke (5).
Setelah rencana trategis (renstra) selesai disusun, maka diimplementasikan
dengan terlebih dahulu menyusun rencana-rencana kerja (aksi/tindakan). </font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Seperti disebutkan
di atas, karena tidak ada standar baku proses perencanaan strategis,
maka banyak sekali terdapat versi perencanaan strategis. Suatu versi
yang mengkombinasikan antara perencanaan strategis dan perencanaan komprehensif
juga mungkin dilakukan untuk mengisi masa transisi dari penggunaan perencanaan
komprehensif ke masa perencanaan strategis.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pada suatu
masa transisi dari pemerintahan yang bersifat sentralistik kuat (yang
menyeragamkan tipe perencanaan yang dipakai—misal pemerintahan Orde
Baru) ke pemerintahan desentralistik (dalam Era Otonomi Daerah) mungkin
sekali dipakai suatu versi perencanaan strategis yang diseragamkan untuk
semua daerah. Bila semua daerah telah terbiasa berbeda dalam tipe perencanaan
yang dipakai, maka tiap daerah dapat memilih versi perencanaan strategisnya
sendiri-sendiri.</font> <br></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-41406608217630410112010-05-20T05:40:00.000+07:002010-05-20T05:41:43.547+07:00Corak Perencanaan Komprehensif dan Induk<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Corak perencanaan
induk (master planning) adalah model yang paling tua. Perencanaan komprehensif
melakukan perencanaan secara menyeluruh (komprehensif), yang berarti
Perencanaan induk (master planning) biasanya diterapkan pada perencanaan
komplek bangunan atau kota baru secara fisik.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dibandingkan
dengan perencanaan komprehensif yang dilakukan secara multi-disiplin,
maka perencanaan induk umumnya dilakukan secara satu disiplin, yaitu
arsitektur. Keduanya, perencanaan induk dan perencanaan komprehensif,
mempunyai kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci,
end-state, tidak fleksibel—seakan masa depan sangat pasti-. Proses
perencanaan induk mengacu pada perencanaan dan perancangan arsitektur,
yaitu dengan langkah-langkah sekuensial (urut): (1) problem seeking,
(2) programming, dan (3) designing. Terhadap hasil perencanaan/perancangan
dilakukan kegiatan konstruksi atau pelaksanaan aksi/tindakan.</font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-25051586518853215202010-05-20T05:39:00.000+07:002010-05-20T05:40:34.402+07:00Kriteria Kelayakan Sebuah Kebijakan<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam melakukan
sebuah proses analisis harus ditetapkan terlebih dahulu kriteria yang
ingin digunakan dalam sebuah proses analisis kebijakan. Ada beberapa
kategori dalam penentuan kriteria yang bertujuan untuk mengarahkan kriteria
yang akan dipilih sesuai dengan konteks yang terjadi. Baardach dalam
Abidin 1972 mengemukakan empat titik fokus yang dapat disesuaikan dengan
tujuan dari sebuah analisis kebijakan, yaitu sebagai berikut:</font></p>
<ol type="1">
<li><font size="3" face="Times New Roman">Technical feasibility </font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tipologi
kriteria yang menitikberatkan hasil sebuah tujuan pada ukuran-ukuran
teknis yang pasti untuk mencapai tujuan dasar. </font></p></ul>
<ol type="1" start="2">
<li><font size="3" face="Times New Roman">Economic dan financial
possibility </font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Mengukur
program atau kebijakan dengan ukuran ekonomi, seperti pembiayaan, keuntungan
yang akan didapat dan ukuran-ukuran finansial lainnya. </font></p></ul>
<ol type="1" start="3">
<li><font size="3" face="Times New Roman">Administrative operability </font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tipologi
kriteria yang mengukur tingkat pelaksanaan rencana dalam konteks administrasi. </font> <br>
</p></ul>
<ol type="1" start="4">
<li><font size="3" face="Times New Roman">Political viability </font></li>
</ol>
<ul><p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Tipologi
kriteria yang mengukur kemungkinan sebuah rencana kebijakan dilaksanakan
dalam konteks yang terkait dengan kelompok kepentingan dan para pengambil
keputusan, seperti badan legislatif, badan eksekutif, partai politik,
LSM, kelompok warga dan aktor-aktor lainnya yang terkait dan terkena
dampak dari program dan kebijakan yang hendak dibuat.</font> <br>
</p></ul>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Secara umum,
keragaman corak perencanaan yang ada dalam praktek saat ini, yaitu:
(1) perencanaan komprehensif (comprehensive planning); (2) perencanaan
induk (master planning); (3) perencanaan strategis (strategic planning);
(4) perencanaan ekuiti (equity planning); (5) perencanaan advokasi (advocacy
planning); dan (6) perencanaan inkrimental (incremental planning). (Djunaedi,
2000 : 2)</font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-63061256281235347832010-05-20T05:38:00.002+07:002010-05-20T12:14:29.744+07:00Perencana sebagai Salah Satu Stakeholders atau Aktor<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perencanaan
sebagai sebuah proses komunikasi, menekankan kepada peran perencana
sebagai komunikator dari produk perencanaan yang dihasilkannya. Perencana
mendengarkan, mengakomodasi, melakukan mediasi dan pada akhirnya melakukan
sebuah sosialisasi mengenai produk rencana yang dihasilkan.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Perspektif
manapun yang dipilih oleh seorang perencana, ketika berhadapan dengan
situasi dan proses politik yang kompleks, fungsi perencana sebagai seorang
komunikator memegang peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang
terjadi. Karena informasi merupakan sumber kekuasaan bagi setiap aktor
yang dapat meningkatkan kapasitas dan posisi politik setiap aktor, perencana
memiliki posisi yang strategis ketika berperan sebagai pemberi informasi.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Forester (1989)
memberikan lima persepektif yang ada dalam menjelaskan peran informasi
dalam sebuah perencanaan yang sarat dengan nuansa politik. Pertama sebagai
technician, dimana kekuasaan terletak di informasi teknis yang berkaitan
dengan sumber data dan metode analisis yang digunakan. Perspektif ini
menggunakan ide paling tradisional dari perencanaan, dimana perencana
bertindak sebagai pemecah masalah dan bertindak untuk tidak terlibat
secara langsung dengan politik.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kedua, perencana
sebagai seorang inkrementalis yang memandang informasi sebagai sumber
kekuasaan karena informasi itu menjawab kebutuhan organisasi, dimana
setiap orang membutuhkan sumber informasi, prosedur perijinan atau restriksi
dalam melakukan perencanaan. Kekuasaan yang didapatkan melalui organisasi
sebagi sumber informasi, memungkinkan perencana memilih informasi yang
ingin disampaikan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Ketiga, perencana
sebagai liberal-advocate yang memandang informasi sebagai sumber kekuasaan
karena merespon kebutuhan dari sebuah sistem politik yang beragam. Informasi
dapat digunakan oleh kelompok yang tidak terwakili atau tidak terorganisasi
untuk meningkatkan kapasitas partisipasi dalam proses perencanaan. Perencana
memiliki peran sebagai pendamping kelompok masyarakat yang tidak terwakili
untuk memberikan saran dan pertimbangan teknis untuk memperkuat kapasitas
dan memperbesar tingkat partisipasi.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Keempat, perencana
sebagai strukturalis, dimana informasi menjadi media dan alat dalam
memperoleh atau memperkuat legitimasi struktur kekuasaan yang ada dan
memperkuat perhatian publik terhadap sebuah isu. Seorang perencana tidak
memiliki kekuasaan, akan tetapi dapat mempertahankan kekuasaan yang
ada dan memberikan sebuah kondisi status-quo dalam tatanan politik yang
telah ada.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Yang terakhir
adalah perencana sebagai kekuatan progresif dimana informasi dimanfaatkan
sebagai alat meningkatkan partisipasi masyarakat dan menghindari legitimasi
yang dibuat oleh struktur yang ada. Perencana memiliki fungsi dalam
mengorganisir tindakan masyarakat untuk meraih kekuasaan yang ada dengan
mengorganisir informasi yang ada untuk mencegah misinformasi dan manipulasi
informasi yang dilakukan oleh kelompok dengan kapasitas politik yang
lebih besar.</font> <br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Model Perencana
Forester</b></font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center">
<img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 282px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqFojyo7l9tmnjxsmCO211O_wDlrgo9Dbd5yg-DPqIyqwA39eqQ9YnbagnuPGGlJuVZz1DlA16PNAgQ5L_DEVc1AW0IJtiLnczKlEi3GTBkRNMXFpn3dFeJyhCA1uzlOfmh7HJllJiTaE/s320/Model+Perencana+Forester.jpg" border="0" alt="Model Perencana Forester" title="Model Perencana Forester" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473215483072756418" /></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-14317947190652316892010-05-20T05:37:00.000+07:002010-05-20T05:38:14.773+07:00Pengertian Stakeholders<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Istilah stakeholders
sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya
dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi,
pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga
publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam
proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana,
stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau
pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana. </font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Freeman (1984)
mendefenisikan stakeholders sebagai kelompok atau individu yang dapat
mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.
Sedangkan Biset (1998) secara singkat mendefinisikan stakeholder sebagai
orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder
ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagaimana dikemukakan
Freeman (1984), yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder
terhadap issu, Grimble and Wellard (1996), dari segi posisi penting
dan pengaruh yang dimiliki mereka. </font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Berdasarkan
kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu issu,
stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu stakeholder
primer, sekunder dan stakeholder kunci.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Stakeholder
utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara
langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan
sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya masyarakat
dan tokoh masyarakat, masyarakat yang terkait dengan proyek, yakni masyarakat
yang di identifkasi akan memperoleh manfaat dan yang akan terkena dampak
(kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari
proyek ini. Sedangkan tokoh masyarakat adalah anggota masyarakat yang
oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili
aspirasi masyarakat. Di sisi lain, stakeholders utama adalah juga pihak
manajer Publik yakni lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam
pengambilan dan implementasi suatu keputusan. </font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Stakeholder
pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan
secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi
memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut
bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal
pemerintah. Yang termasuk dalam stakeholders ini misalnya lembaga(Aparat)
pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab
langsung, lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki
kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan, Lembaga swadaya
Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai
dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki concern (termasuk
organisasi massa yang terkait). Perguruan Tinggi yakni kelompok akademisi
ini memiliki pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah
serta Pengusaha (Badan usaha) yang terkait sehingga mereka juga masuk
dalam kelompok stakeholder pendukung.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Sedangkan Stakeholder
kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam
hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur
eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi. Misalnya, stakeholder
kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten
adalah Pemerintah Kabupaten, DPR Kabupaten serta dinas yang membawahi
langsung proyek yang bersangkutan. </font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Di sisi lain,
James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), James Lester dan Joseph
Stewart, Jr (2000) dalam Winarno (2002 : 84) berpendapat bahwa aktor-aktor
atau pemeran dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam
dua kelompok yaitu para pemeran resmi dan para pemeran tidak resmi.
Yang termasuk para pemeran resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),
eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota), legislatif dan yudikatif.
Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran tidak resmi meliputi
kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu
baik para pakar perencana maupun individu lainnya.</font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-2221627036280787619.post-22515788223790327472010-05-20T05:35:00.003+07:002010-05-20T06:18:02.579+07:00Dimensi Kekuasaan dan Politik dalam Perencanaan<div>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kekuasaan tidak
dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Definisi tentang
kekuasaan terkadang tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan.
Lasswell (Dalam Dwicaksono, 2003) berpendapat bahwa kekuasaan adalah
partisipasi dalam membuat keputusan yang penting. Sheppered (dalam Abbot,
1995) berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan publik adalah contoh
nyata dari penggunaan kekuasaan. Kekuasaan merupakan sesuatu yang tidak
dapat dilepaskan dari proses pembuatan keputusan yang melipatkan hubungan
antar individu dan kelompok kepentingan dengan negara.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Teori mengenai
kekuasaan mengalami metamorfosa dan proses dialektika untuk menuju sebuah
penyempurnaan mengenai pemahaman para ahli mengenai kekuasaan. Salah
satu teori yang terkemuka adalah teori tiga dimensi kekuasaan yang dikemukakan
oleh Luke dan dikembangkan oleh John Gaventa. Teori tersebut merupakan
sebuah evolusi dari teori lain yang berkembang sebelumnya.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Teori yang
pertama adalah teori kekuasaan satu dimensi yang dikemukakan oleh Robert
Dahl. Persepektif ini disebut sebagai pendekatan pluralis dan meningkatkan
kepada peningkatan kekuasaan melalui proses pembuatan kebijakan dan
perilaku yang bisa diamati. Persepektif satu dimensi ini menjelaskan
sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh kelompok yang
lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun
tanpa ada ’perintah’ dari kelompok yang mendominasi.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pendekatan
pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan
kesempatan yang sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan
hanya berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan ikut terlibat
dan berpartisipasi dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan
satu isu dan ingin menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut. Apatisme
atau non-partisipasi merupakan sebuah gambaran dari kurangnya minat
terhadap sebuah isu yang berkembang. Menyadari kondisi masyarakat yang
beragam, maka konflik merupakan sebuah hal yang wajar terjadi sebagai
sebuah hasil yang diharapkan atau sebagai sebuah media untuk menentukan
siapa yang menang.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pendekatan
ini mendapatkan kritikan yang menyatakan bahwa ketika pendekatan satu
dimensi ini melihat kekuasaan sebagai sebuah fungsi yang tersembunyi
dari pembuatan kebijakan yang mengamati konflik terbuka melalui partisipasi
terbuka, maka pendekatan itu telah mengabaikan mekanisme politik yang
penting. Seringkali terjadi, dimana kekuasaan menggunakan potensinya
untuk mencegah satu isu untuk diangkat dan menekan partisipasi di dalam
arena politik. Isu potensial dan keluhan tidak pernah terungkapkan karena
telah dimatikan oleh kekuasaan. Pendekatan yang membatasi pada sebuah
fenomena yang nampak, dapat melewatkan fenomena manipulasi dan paksaan
yang menyebabkan sebuah isyu atau suatu kelompok tidak masuk dalam arena
politik.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Kritikan terhadap
pendekatan satu dimensi melahirkan pendekatan kedua yang dikemukakan
oleh Bachrach dan Baratz yang melihat kekuasaan melalui pendekatan dua
dimensi yang sering disebut sebagai elite model. Dimensi pertama melihat
arena sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan
tidak tersebar merata, akan tetapi tidak berpusat pada satu kelompok
saja. Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik
diciptakan dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan
dan sumber daya untuk mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan
mereka. Elite menentukan agenda untuk mempertahankan dominasinya. Pendekatan
dua dimensi ini membahas lebih dalam mengenai fenomena non-partisipasi,
keluhan dan apatisme.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Analisis yang
lebih dalam dari dimensi kedua ini tetap melahirkan kritikan. Salah
satu kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak
berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan analisis pada
sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi
konflik, maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya
yang menyebabkan tidak terjadi sebuah konflik. Luke (dalam Hardiansyah,
2005) menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan sebuah
bentuk kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka. Sehingga
konflik laten dapat terjadi dimana ketika seseorang menerima sesuatu
yang berlawanan dengan kepentingannya tanpa mengetahuinya sama sekali.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Pendekatan
tiga dimensi merupakan perluasan daari pendekatan satu dimensi dan dua
dimensi dan sering disebut calss dialetical model. Pendekatan ini lahir
dari sebuah kritikan terhadap pendekatan yang fokus dan prilaku yang
memasukkan pertimbangan kekuatan yang tersembunyi dan konflik yang mendapat
pengaruh kekuasaan (Gaventa, 1985) adalah untuk mengidentifikasi alat
dan media yang digunakan oleh pengaruh kekuasaan untuk membentuk atau
menentukan konsepsi dari kebutuhan, kemungkinan dan strategi untuk menghadapi
konflik yang terjadi.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Proses yang
terjadi dalam proses politik dalam persepektif dalam tiga dimensi ini
adalah sebuah proses ekskalatif. Dimana kelompok yang terdominasi akan
bergerak dari sebuah kondisi ketidakberdayaan menjadi sebuah kondisi
melawan kelompok dominan. Proses ini dipersepsikan oleh Gaventa (1985)
sebagai kondisi ”power serves to create power, powerlessness serves
to re-enforce powerless-ness”</font> <br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Kerangka
Kekuasaan Tiga Dimensi</b></font> <br></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center">
<img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 282px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdyEppncPz8GFyp7prl98_UtW4Kzi5qn1C0M5Gb1nxls9ggXYaof47X6ZstQSfXRigDnkw2pD-UsWNu2Ue8Kfm3Lk1X1NMdjNA29IYbNvJZ9xYouJ5xQipn1PXRRt2YrR4iddOflPucwQ/s320/Kerangka+Kekuasaan+Tiga+Dimensi.jpg" border="0" alt="Kerangka Kekuasaan Tiga Dimensi" title="Kerangka Kekuasaan Tiga Dimensi" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473122104033788386" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dimensi pertama,
yaitu kekuasaan, melibatkan sebuah titik tekan dari perilaku dalam pengambilan
keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik terbuka dari sebuah
kepentingan subjektif. Dimensi ini mencoba menjelaskan bagaimana sebuah
kelompok atau individu berusaha untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan
yang dimilikinya. Domensi kedua adalah kepentingan, merupakan perluasan
dari dimensi pertama, sehingga proses-proses yang terjadi dalam spektrum
dimensi pertama termasuk pula dalam dimensi kedua. </font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dimensi kedua
mencoba menjelaskan bagaimana proses pembuatan keputusan sedapat mungkin
berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik terbuka
dari sebuah kepentuingan subjektif semata. Tindakan-tindakan politis
yang diambil dan termasuk spektrum dimensi ini menekankan kepada sebuah
proses perluasan kekuasaan serta mulai melibatkan kepentingan sebagai
sebuah pencapaian yang harus daraih. Pada titik ini tindakan-tindakan
yang dilakukan dimaksudkan untuk memperbesar kekuasaan dan kepentingan-kepentingan
yang dimiliki oleh kelompok atau individu. Pada dimensi ini pula kepentingan-kepentingan
yang tidak sejalan dengan perluasan kekuasaan dan </font></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">kepentingan
objektif mulai disingkirkan. </font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dimensi yang
ketiga adalah hegemoni, yang merupakan perluasan dari kedua dimensi
sebelumnya. Dimensi kedua dan ketiga pada dasarnya dibangun untuk memperoleh
sebuah gambaran mengenai hubungan sebab akibat dari dimensi yang pertama.
Dimensi ketiga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau
individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan
mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki
oleh kelompok atau individu.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">John Gaventa
(1980) mencoba menjelaskan hubungan para pelaku pilitik dalam konteks
kerangka kekuasaan tiga dimensi Luke. Model ini menganalogikan dua belah
pihak antara A dan B. Kelompok A merupakan kelompok dominan sedangkan
kelompok B kelompok yang terdominasi. Hal ini diungkapkan oleh Gaventa
pada penelitiannya yang menggunakan pendekatan tiga dimensi ini pada
kasus Suku Indian Applachian yang terdominasi oleh kelompok pengusaha
yang mengambil alih lahan yang dimiliki. </font><br></p>
<p align="center"><font size="3" face="Times New Roman"><b>Model Relasi
Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa</b></font></p>
<p style=" margin:0pt; text-align:center">
<img style="margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 282px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPKiSgedFbtqVl_CjeO15e9SE_pnndgrq_b3Jd2MVrTpzytc1k9qwbx5A1E5qDS6j_KtHg8eyj-5VFd4ZRpLyWUXGcbxHpL3qMj6hNZ8GGNBBa_FOrTJaUJQqy4OIzRMYqkHLQqt748qw/s320/Model+Relasi+Kekuasaan+Tiga+Dimensi+Gaventa.jpg" border="0" alt="Model Relasi Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa" title="Model Relasi Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473123274589327746" /></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Proses penyusunan
strategi dalam meraih kepentingan adalah sebuah usaha dalam meraih inovasi
deliberatif yang dijelaskan oleh Bryson dan Crosby (1992). Penjelasan
model ini mengadaptasi dari model kekuasaan tiga dimensi yang dikemukakan
sebelumnya oleh Luke. Bryson dan Crosby (1992) mencoba menjelaskan sebuah
tindakan yang diambil oleh masing-masing aktor perencanaan dalam perumusan
kebijakan publik berdasarkan dimensi Luke dal tiga macam sifat pertemuan
yaitu forum, arena dan pengadilan.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Titik perbedaan
ketiganya adalah jenis pertemuan yang dilakukan dalam memenuhi kepentingan
kelompok dan individu yang ada. Pada forum menekankan kepada sebuah
proses komunikasi dan interpretasi makna, sedangkan pada arena titik
tekannya pada sebuah proses pembuatan dan implementasi dari kebijakan.
Sedangkan pengadilan merupakan sebuah bentuk dan media arbitrasi dalam
meminimasi konflik yang terjadi. Pemain kunci dari ketiga bentuk pertemuan
ini adalah para pemimpin yang berperan sebagai seorang inisiator dan
pemimpin dari kelompok-kelompok tersebut. Pekerjaan dalam membangun
sebuah forum adalah melibatkan sebuah kesepakatan diantara para aktor
utama dengan mencoba mencari sebuah konsensus antara kelompok yang berkepentingan.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam persepektif
perencanaan model ini melihat dan memformulasikan proses-proses politik
yang tidak mungkin dihindari dari sebuah perumusan kebijakan publik.
Targetan-targetan dari tiap dimensi dari masing-masing jenis pertemuan
berbeda-beda, karena kepentingan yang akan diraih berbeda pula untuk
masing-masing konteks.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dimensi politik
dalam proses pengambilan keputusan publik selalu terkait erat dengan
sebuah proses pengaruh dalam pengambilan keputusan. Menurut Cristian
Bay (Dalam Varma, 1992), arena politik bukan hanya studi yang terkait
dengan bentuk kenegaraan, tetapi termasuk pula proses mensejahterakan
manusia dan kemaslahatan masyarakat. Dimana kedua proses tersebut difokuskan
kepada perbaikan-perbaikan individu yang terpinggirkan dalam dunia publik.</font> <br>
</p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Paul Davidovf
menekankan pada sisi politis dan srat nilai perencanaan. Davidoff menilai
perencanaan sebagai sebuah proses, yang menekankan lebih sebagai proses
atas-atas pilihan. Sehingga dalam sebuah proses perencanaan, akan sangat
terkait sekali dengan proses penentuan pilihan-pilihan yang merupakan
sebuah pengejewantahan dari proses politik yang terjadi dalam proses
politik perumusan kebijakan publik. </font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Dalam persepektif
perencanaan model ini melihat dan memformulasikan proses-proses politik
yang tidak mungkin dihindari dari sebuah perumusan kebijakan publik.
Targetan-targetan dari tiap dimensi dalam masing-masing jenis pertemuan
berbeda-beda, karena kepentingan yang ingin diraih berbeda pula untuk
masing-masing konteks. Model ini akan menjadi sebuah dasar untuk mengamati
tindakan yang diambil oleh aktor dalam mempengaruhi sebuah kebijakan
publik. Penelusuran modus, strategi dan rencana para aktor dalam mempengaruhi
proses penataan ruang dapat diidentifikasi dengan menggunakan model
di atas.</font> <br></p>
<p align="justify"><font size="3" face="Times New Roman">Proses partisipasi
di masyarakat seringkali dapat merupakan sebuah usaha dari kelompok
elite untuk mempertahankan atau memperkuat kekuasaannya dan untuk membina
usaha-usaha mencapai tujuan lain yang mereka perlu. Para politik elite
akan berusaha memberikan ruang partisipasi sebagai metode mengendalikan
partisipasi itu sendiri. Menurut Huntington dan Nelson (1954, dalam
Aswindi, 2002), dibanyak negara dunia ketiga pendekatan pembangunan
sering meminggirkan golongan masyarakat marjinal. </font></p>
</div>Neo-Linkhttp://www.blogger.com/profile/02129579304640028500noreply@blogger.com