Tonggak otonomi daerah menyeluruh ditunjukkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hubungan eksekutif dan legislatif dari masa sebelum otonomi ke masa awal otonomi sampai masa kini merupakan pantulan transformasi hubungan sebagai refleksi perubahan iklim kepemerintahan di Indonesia.
Era sebelum UU 22/1999 dan UU 25/1999, terjadi pola hubungan dominasi kepala daerah yang sangat kuat. Proses formulasi anggaran relatif singkat dan sederhana. Sebelum pembahasan anggaran di rapat paripurna DPRD, kepala daerah dengan power yang dimilikinya, melakukan pembahasan awal dengan Ketua DPRD dan Ketua Fraksi pada sebuah rapat tertutup dan terbatas yang diistilahkan “rapat setengah kamar”. Dalam rapat tersebut, kepala daerah beserta birokrasi menanamkan akar dominasinya dengan membuat “deal-deal” politik pada pimpinan dewan dan pimpinan fraksi. Kesepakatan politik tersebut tentu saja efektif, karena pembahasan anggaran di Rapat Paripurna DPRD tidak se-dinamis sekarang.
Penetapan UU 22/1999 dan UU 25/1999 merupakan kebijakan yang lahir prematur setelah terjadi turbulensi sosial politik di Indonesia. Pesan amanat pelimpahan kewenangan yang disertai dengan transfer keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, di satu sisi merupakan hal positif bagi demokrasi, namun di sisi lain, euphoria power legislatif di daerah mereduksi substansi tujuan kedua kebijakan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena terdapat kelemahan dalam peraturan perundangan tersebut. Dengan memberi kewenangan yang sangat luas kepada legislatif. Keluasan kewenangan yang dimiliki legislatif, dimanfaatkan banyak anggota dewan untuk mendominasi proses formulasi anggaran. Bahkan lebih luas dari itu, penetrasi legislatif melampaui batas-batas demokrasi dengan melemahkan sendi-sendi birokrasi.
Fenomena implementasi UU 22/1999 dan UU 25/1999 disadari Pemerintah Pusat dan DPR-RI telah menyebabkan konsep otonomi daerah dan desentralisasi keluar jalur dari yang diharapkan. Lahirnya UU 32/2004 yang menggantikan UU 22/1999 dan UU 33/2004 yang menggantikan UU 25/1999 merupakan upaya memperbaiki kualitas otonomi dan desentralisasi di daerah. UU 32/2004 dan UU 33/2004 meletakkan hubungan legislatif dan eksekutif setara. Tidak hanya itu, bahkan kedua konsep otonomi dan desentralisasi pada kedua kebijakan tersebut didukung dengan diterbitkannya PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur tentang proses formulasi anggaran di daerah.
Namun demikian, penetrasi orde baru selama lebih dari tiga dekade, bagaimana pun telah menanamkan banyak hal. Aspek pembangunan, stabilitas politik (sekaligus represi politik), dan gaya kepemimpinan menjadi salah satu dimensi yang dikenal pada awal-awal tumbuhnya kesadaran bernegara.
Masalah keagenan yang timbul di kalangan anggota dewan terjadi dari dua tinjauan perspektif, sebagai prinsipal atas eksekutif dan sebagai agen dengan rakyat (pemilih). Pertama, sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat merealisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif.
Kedua, masalah keagenan anggota legislatif sebagai agen, dimana posisi legislatif sebagai pihak agen dan rakyat/pemilih sebagai pihak prinsipal. Pihak legislatif sebagai agen akan membela kepentingan rakyat atau pemilihnya, namun seringkali ini tidak terjadi, karena pendelegasian kewenangan rakyat/pemilih terhadap legislatornya tidak memiliki kejelasan aturan konsekuensi kontrol keputusan atau biasa disebut dengan ”abdication”. Akibatnya, legislator cenderung menyusun anggaran untuk kepentingan pribadi atau golongannya dan kondisi ini disebut oleh Garamfalvi (1997) sebagai political corruption dalam proses penyusunan anggaran, dan sekiranya anggaran tersebut dilaksanakan akan menimbulkan administration corruption. Kalau kondisi tersebut terjadi, maka proses penyusunan anggaran yang semestinya akan menghasilkan outcome yang efisien dan efektif dari alokasi sumber daya dalam anggaran akan terdistorsi karena adanya perilaku opportunistik untuk kepentingan pribadi dan politisi.
Sepatutnya legislatif bisa elegan dengan menempatkan diri untuk bekerja dengan mengoptimalkan fungsinya di bidang pengawasan, legislasi, dan anggaran. Dengan demikian, aspirasi masyarakat bisa tertampung dan dihargai. Bukan malah menguatkan hegemoni politik dan menyuburkan lahan korupsi baru. Legislatif dengan power yang dimilikinya seharusnya menjadi alat efektif budget controlling dengan meneliti secara seksama perencanaan pembangunan dan pembagian anggaran. Bukan malah membangun tahta politik dengan cara yang kabur. Membangun hegemoni politik yang bertumpu pada tiang aspirasi masyarakat yang ternyata dimaknai dengan sangat rapuh. Hal ini sepatutnya menjadi dugaan bahwa aspirasi masyarakat atau apa pun namanya, hanya akan digunakan anggota dewan sebagai pintu masuk untuk lebih memperdalam akar kekuasaan dalam melampiaskan kepentingan pork barrel-nya.
Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintah daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung slack seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Slack tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Munculnya kondisi yang secara sistemik menempatkan anggaran lebih sebagai instrumen sirkuit akumulasi modal dan kekuasaan seharusnya menjadi perhatian khusus banyak pihak. Pemilik modal atau politikus menggunakan kekuatan finansial guna mendapat posisi kekuasaan politik, lalu dimanfaatkan guna menghimpun lebih banyak modal, yang bisa digunakan lagi demi tujuan akumulasi kekuasaan politik seterusnya.
Peluang seperti skema tersebut, kini diperbesar, antara lain, oleh munculnya berbagai bentuk aliansi antara masyarakat politik dan masyarakat bisnis, yang berujung pada terbentuknya aliansi antara eksekutif, legislatif dan berbagai kelompok pemilik modal. Aliansi itu antara lain karena partai politik, anggota lembaga legislatif, atau pimpinan lembaga eksekutif kian dihadapkan tuntutan untuk menghimpun dana bagi pemenangan pemilu langsung di daerah, yang ditandai sebagai kampanye berbiaya besar (big money campaign). Usaha-usaha memelihara kekuasaan pun kian memerlukan praktik money politics. Sirkuit semacam itu secara konstan menyebabkan anggota lembaga legislatif, atau pimpinan lembaga eksekutif dibayangi krisis representasi. Di satu sisi dituntut berperan mengupayakan kesejahteraan masyarakat pemilih. Di sisi lain tuntutan untuk memberi konsesi bagi kepentingan akumulasi modal aneka kelompok pebisnis yang telah memberi dukungan finansial dalam melakukan big money campaign dan politik uang. Oleh karena itu, pilihan yang tersedia bagi publik telah terstruktur oleh konstelasi kekuatan modal.
Relasi ekskutif, legislatif dan pengusaha telah bermutasi, berubah ke bentuk lebih gamblang, yakni tidak hanya ditandai adanya aliansi, tetapi juga oleh penetrasi pemilik modal yang kian masif ke pengendalian formulasi anggaran secara langsung. Hal itu dilakukan dengan merebut posisi di lembaga-lembaga legislatif atau eksekutif melalui proses pemilu langsung di daerah atau melalui berbagai pendekatan dan tawar-menawar politik, yang lebih dimungkinkan, dimilikinya surplus modal. Alhasil, komposisi pebisnis dalam lembaga legislatif dan eksekutif kini tampak meningkat.
Pada tata kelola pemerintahan kini, makin banyak pebisnis besar yang memegang posisi-posisi kunci, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Daftar pengusaha yang menempati posisi sebagai penguasa politik kian panjang jika diteliti dari susunan keanggotaan legislatif, dan pejabat-pejabat hasil pemilu langsung di daerah. Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi masyarakat untuk selalu menyidik adanya kaitan antara kepentingan ekonomi pemilik modal tertentu dalam pemerintahan dengan aneka kebijakan publik yang dijalankan. Apalagi, tidak adanya ketentuan hukum yang mencegah munculnya konflik kepentingan, seolah semua dikembalikan pada etika pejabat. Bisakah sebuah struktur ekonomi-politik dibangun berdasar asumsi seolah tiap orang memiliki etika dan kemauan baik? Munculnya pertanyaan seperti itu menunjukkan awal terjadinya krisis representasi, di tengah bayang-bayang munculnya kondisi di mana anggaran lebih menempatkan perannya sebagai instrumen akumulasi modal dan kekuasaan belaka.
Anggaran dalam proses usulan dan pembahasannya kerap mengabaikan aspek kepentingan publik. Pengabaian ini terjadi akibat dominasi kepentingan eksekutif sebagai pengelola pemerintahan dan legislatif sebagai representasi partai politik. Partisipasi publik dalam hal ini amat minim karena aspirasi rakyat yang mestinya harus disampaikan oleh anggota legislatif cenderung terabaikan. Oleh karena itu anggaran tidak dapat diharapkan mampu memenuhi kebutuhan rakyat karena hanya lebih mementingkan kepentingan proyek-proyek fisik yang menjadi lahan kolaborasi pengusaha dan penguasa.
Benturan dengan legislatif lebih didasarkan pada upaya-upaya pencapaian kepentingan partai politik yang lebih mengutamakan kolega-kolega pendukung partai politik. Dalam hal ini pengusaha untuk mengajukan anggaran sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak. Oleh karena itu instansi teknis dalam hal ini SKPD diharuskan mengakomodasi kepentingan ini.
Tidaklah mengherankan jika program-program yang diajukan dalam anggaran tidak memihak kepentingan publik karena dominasi kepentingan partai politik dan pemilik modal. Kondisi konflik kepentingan eksekutif dan legislatif tentu saja menyulitkan kepentingan publik agar terakomodasi. Kepentingan masyarakat miskin misalnya, kerap hanya mendapatkan porsi yang sangat minimal, itu pun karena didasari oleh faktor “belas kasihan” dan lagi-lagi demi kepentingan politik. Dengan kata lain, dalam proses penyusunan anggaran, kemiskinan hanya menjadi obyek karena tidak ada ukuran kinerja yang dapat dicapai, kalaupun ada, masih bersifat ambigu. Selain itu, bagi anggota legislatif program-program yang meminimalisir kemiskinan cenderung tidak memberikan keuntungan finansial. Namun demikian, masih ada anggota legislatif yang berusaha memenuhi kepentingan masyarakat miskin. Meskipun pada akhirnya, tetap saja menghadapi kendala karena adanya mekanisme voting yang hasilnya ditentukan oleh anggota legislatif yang berasal dari partai-partai mayoritas.