Kamis, 24 Juni 2010

Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Jombang

Reformasi pengelolaan keuangan daerah di era otonomi daerah ditandai dengan lahirnya paket kebijakan keuangan negara yakni: UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Nuansa pembaharuan dari tiga kebijakan tersebut melandasi bangunan kebijakan dalam tataran teknis yakni: PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Dalam hal pelaksanaan Permendagri No.13 Tahun 2006, hampir sebagian besar energi pejabat fungsional pengelola keuangan di daerah dihabiskan dalam perdebatan tentang perbedaan penafsiran dalam setiap aktivitas keuangan daerah. Perdebatan antar pejabat fungsional pengelola keuangan di daerah berakhir pada kesadaran mereka akan isi kebijakan Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang memberi efek multi tafsir bagi siapa pun yang membacanya.

Protes keras kepala daerah yang disampaikan secara resmi kepada Menteri Dalam Negeri, debat terbuka di berbagai media televisi, kritik dalam opini di kolom-kolom koran nasional menjadi bukti sejarah usaha advokasi yang ditempuh daerah yang mempermasalahkan Kebijakan Menteri Dalam Negeri yang multi tafsir. Menyadari kelemahan kebijakan tersebut, Menteri Dalam Negeri di tahun berikutnya merevisi sejumlah pasal dan ayat yang menjadi akar masalah dalam penerapan pengelolaan keuangan di daerah dengan menerbitkan Permendagri No. 59 Tahun 2007.

Terlepas dari berbagai masalah dalam implementasi Permendagri No. 13 Tahun 2006, catatan penting pada awal penerapan pengelolaan keuangan daerah adalah terbentuknya Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang ditetapkan dengan PP No. 24 Tahun 2005. Standar yang selama puluhan tahun hanya menjadi perbincangan dalam tataran ide di kalangan praktisi dan akademisi yang konsen pada masalah publik. SAP sendiri lahir dari semangat yang kuat kaum intelektual reformis yang mendambakan pembaharuan di dalam sistem akuntansi keuangan daerah dengan menyusun suatu standar pemerintahan yang diyakini dapat menjadi payung bagi pemerintah daerah dalam penyusunan laporan keuangan secara lebih transparan, akuntabel dan dapat memiliki kualitas daya banding (comparability).

Amanat UU No. 17 Tahun 2003 dan tuntutan masyarakat yang semakin kritis akan perubahan dalam sistem akuntasi pemerintahan mendorong Pemerintah Pusat melalui Menteri Keuangan pada tanggal 13 Juni 2002 menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan No. 308/KMK.012/2002 tentang pembentukan Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP). Komite ini bertugas untuk merumuskan dan mengembangkan konsep Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah, yang keanggotannya terdiri dari kalangan birokrasi (Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan BPKP), asosiasi profesi (Ikatan Akuntan Indonesia/IAI) dan kalangan akademisi. Dengan adanya KSAP, isu mengenai siapa yang berwenang untuk menetapkan standar akuntansi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sudah dapat terpecahkan.

Dalam tulisan “Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dan Standar Akuntansi Pemerintahan Sebagai Wujud Reformasi Manajemen Keuangan Daerah” yang disusun oleh Imam Basri (2004), anggota Komite Kerja Standar Akuntansi Pemerintahan menunjukkan adanya koherensi antara SAP dalam PP No. 24 Tahun 2005 dengan praktek-praktek akuntansi yang berlaku di dunia internasional sepert Government Finance Statistics (GFS) dan International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) yang tentu saja telah disesuaikan dengan kondisi pemerintahan yang ideal di Indonesia.

SAP seperti peraturan perundangan yang menjadi induk kelahirannya, menegaskan kembali kewajiban kepala daerah untuk menyusun laporan pertanggung jawaban dalam bentuk Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD) yang di dalamnya meliputi Neraca, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK).

LKPD disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh pemrintah daerah selama satu periode pelaporan. LKPD, digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan dan belanja dengan anggaran yang ditetapkan, menilai kondisi keuangan, menilai efektivitas dan efisiensi pemerintah daerah, dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.

Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan: pertama, akuntabilitas, yang memiliki makna mempertanggung-jawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada pemerintah daerah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.

Kedua, manajemen, yang mengandung arti: membantu para pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pemerintah daerah dalam periode pelaporan sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian atas seluruh aset, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah daerah untuk kepentingan masyarakat.

Ketiga, transparansi, yang dipahami dengan memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggung-jawaban pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.

Ke-empat, keseimbangan antar generasi (intergenerational equity), hal ini memberikan pengertian bahwa membantu para pengguna laporan untuk mengetahui apakah penerimaan pemerintah daerah pada periode laporan cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban pengeluaran tersebut.

Ada tiga hal yang menjadi asumsi dasar yang perlu diperhatikan sebagaimana yang diamanatkann PP No.24 Tahun 2005. Tiga asumsi dasar yang dimaksud adalah: pertama, kemandirian entitas: yaitu asumsi kemandirian entitas, baik entitas pelaporan (SKPKD) maupun entitas akuntansi (SKPD). Dalam asumsi kemandirian entitas, setiap unit organisasi dianggap sebagai unit yang mandiri dan mempunyai kewajiban untuk menyajikan laporan keuangan sehingga tidak terjadi kekacauan antar unit instansi pemerintah dalam pelaporan keuangan. Salah satu indikasi terpenuhi asumsi ini adalah adanya kewenangan entitas untuk menyusun anggaran dan melaksanakannya dengan tanggung jawab penuh. Entitas bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan sumber daya di luar neraca untuk kepentingan yuridiski tugas pokoknya, termasuk atas kehilangan atau kerusakan aset dan sumber daya dimaksud, utang-piutang yang terjadi akibat putusan entitas, serta terlaksana-tidaknya program yang telah ditetapkan.

Kedua, kesinambungan entitas: yaitu laporan keuangan disusun dengan asumsi bahwa entitas pelaporan akan berlanjut keberadaannya. Dengan demikian, pemerintah diasumsikan tidak bermaksud melakukan likuidasi atas entitas pelaporan dalam jangka pendek.

Ketiga, keterukuran dalam satuan uang (monetary measurement): yaitu laporan keuangan entitas pelaporan harus menyajikan setiap kegiatan yang diasumsikan dapat dinilai dengan satuan uang. Hal ini diperlukan agar memungkinkan dilakukannya analisis dan pengukuran dalam akuntansi.

Hal penting lain yang menjadi perhatian dalam PP No. 24 Tahun 2005 adalah delapan prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintahan yang terdiri dari:

  1. Basis Akuntansi

    Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam LRA, sedangkan basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca.

  1. Prinsip Nilai Historis (Historical Cost)

    Aset dicatat sebesar pengeluaran kas dan setara kas yang dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration) untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas dan setara kas yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dimasa yang akan datang dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah

  1. Prinsip Realisasi (Realization)

    Bagi pemerintah, pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui anggaran pemerintahan selama satu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar hutang dan belanja dalam periode tersebut. Prinsip layak temu biaya-pendapatan (matching-cost against revenue principle) dalam akuntansi pemerintah tidak mendapat tekanan sebagaimana dipraktekan dalam akuntansi komersial.

  1. Prinsip Substansi Mengungguli Bentuk Format (Substance Over Form)

    Informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi serta peristiwa lain yang seharusnya disajikan, maka transaksi atau peristiwa lain tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realita ekonomi, dan bukan hanya aspek formalitasnya. Apabila substansi transaksi atau peristiwa lain tidak konsisten/berbeda dengan aspek formalitasnya, maka hal tersebut harus diungkapkan dengan jelas dalam catatan atas laporan keuangan.

  1. Prinsip Periodisitas (Periodicity)

    Kegiatan akuntansi dalam pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu dibagi menjadi periode-periode pelaporan, sehingga kinerja entitas dapat diukur dan posisi sumber daya yang dimiliki dapat ditentukan. Periode utama yang digunakan adalah tahunan. Namun, periode bulanan, triwulanan, dan semesteran juga dianjurkan.

  1. Prinsip Konsistensi (Consistency)

    Perlakuan akuntansi yang sama, diterapkan pada kejadian serupa dari periode ke periode oleh suatu entitas pelaporan (priinsip konsistensi internal). Hal ini tidak berarti bahwa tidak boleh terjadi perubahan dari satu metode akuntansi ke metode akuntansi yang lain. Metode akuntansi yang dipakai dapat diubah dengan syarat bahwa metode yang baru diterapkan mampu memberikan informasi yang lebih baik dibanding metode lama. Pengaruh atas metode ini, diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

  1. Prinsip Pengungkapan Lengkap (Full Disclousure)

    Laporan keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat ditempatkan dalam lembaran muka (on the face) laporan keuangan atau catatan atas laporan keuangan.

  1. Prinsip Penyajian Wajar (Fair Presentation)

    Faktor pertimbangan sehat bagi penyusunan laporan keuangan, diperlukan ketika menghadapai ketidak-pastian peristiwa dan keadaan tertentu. Kepastian seperti itu, diakui dengan mengungkapkan hakikat serta tingkatnya dengan menggunakan pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan dalam kondisi ketidak-pastian sehingga aset atau pendapatan tidak dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban tidak dinyatakan terlalu rendah. Namun demikian, penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan, misalnya, pembentukan cadangan tersembunyi, sengaja menetapkan aset atau pendapatan yang terlampau rendah, atau sengaja mencatat kewajiban atau belanja yang terlampau tinggi sehingga laporan keuangan menjadi tidak netral dan tidak andal.

Perubahan mendasar yang menjadi amanat PP No. 24 Tahun 2005 terlihat pada perubahan sistem pencatatan dari single entry menjadi double entry dan ini mengakibatkan perubahan teknik sistem akuntansi yang semula berbasis kas menjadi sistem akuntansi berbasis akrual. Teknik akuntansi berbasis akrual dinilai banyak pakar dapat menghasilkan laporan keuangan yang komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan serta lebih ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik, sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal dan sustainable serta dapat memberikan gambaran kondisi keuangan secara menyeluruh.

SAP secara garis besar hanya mengatur pengakuan, penilaian, dan pengungkapan, sedangkan untuk sistem dan prosedur diatur tersendiri oleh masing-masing pemerintah daerah. Kabupaten Jombang terhitung memiliki pemerintah daerah yang responsif terhadap nuansa perubahan terkait dengan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan segala keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi maupun perangkat pendukung lainnya pada awal tahun 2006 Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang telah berhasil menyusun neraca awal dalam LKPD Tahun 2005. Terbentuknya neraca awal, menurut penuturan beberapa staf bidang akuntansi di DPPKAD yang terlibat dalam penyusunan yang kala itu masih berada dalam struktur organisasi Bagian Keuangan Sekretariat Daerah merupakan “hasil usaha yang bukan tanpa kendala”. Bahkan menurut mereka, saat itu, “dibuat dua laporan keuangan yaitu dalam bentuk laporan perhitungan keuangan yang berbasis kas dan neraca yang berbasis cash toward accrual atau sering disebut dengan accrual modified”. Hal tersebut terpaksa dilakukan karena di saat masa-masa transisi, kebijakan dalam tataran operasional masih menggunakan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang belum memiliki tuntunan teknis dalam penyusunan neraca.

Seiring dengan ditetapkannya Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, skema penyusunan neraca yang berbasis akrual penuh (full accrual) semakin jelas, walaupun terdapat banyak pasal atau ayat yang memiliki efek intervensi yang bertentangan dengan SAP. Namun demikian, secara umum, Permendagri No. 13 Tahun 2006 telah memiliki “ruh” dari SAP.

Implementasi Permendagri No. 13 Tahun 2006, sebenarnya, pada fase akuntansi anggaran relatif tidak memiliki kendala. Kendala terbesar dari implementasi kebijakan tersebut, ada pada fase akuntansi penata-usahaan dalam pengelolaan keuangan. Pada fase ini, kendala bekutat pada “siapa yang berwenang, atas kewenangan apa”, serta masalah prosedur dan penata-usahaan pencairan dana. Memindah kerangka berpikir pejabat fungsional pengelola keuangan di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terlibat, dari konsep prosedur pengajuan: Beban Tetap (BT) dan Pengisian Kas (PK) menjadi konsep prosedur pengajuan: Uang Persediaan (UP), Ganti Uang (GU), Tambahan Uang (TU) dan Langsung (LS) memerlukan waktu proses yang relatif tidak singkat.

Komponen akun aset yang terdiri dari aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap, dana cadangan dan aset lainnya merupakan bagian penting dalam penyusunan neraca awal. Dalam hal memperoleh nilai aset tetap yang dimiliki Pemda Jombang, berbagai masalah yang komplek ditemukan dalam penilaian aset tetap pada sensus barang milik daerah. Belum lagi, pengaturan dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dan Kepmendagri No. 152 Tahun 2004 yang tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang kala itu menjadi pedoman, memiliki perbedaan mendasar dengan SAP. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 mengatur bahwa pengakuan aset tetap dilakukan pada akhir periode, sementara SAP menyatakan bahwa aset tetap diakui pada saat diterima dan/atau hak kepemilikan berpindah. Dengan demikan selama satu tahun berjalan terdapat perbedaan waktu pengakuan aset meskipun pada akhir periode akuntansi akan diperoleh saldo aset yang sama. Kompleksitas permasalahan yang ditemukan saat penilaian aset tetap waktu sensus barang daerah dan pondasi regulasi teknis tentang aset tetap yang diatur dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 maupun Kepmendagri No. 152 Tahun 2004 yang memiliki intervensi berlawanan dengan SAP, nyaris menggagalkan penyusunan neraca awal. Kompleksitas permasalahan aset tetap, bahkan masih meninggalkan residu permasalahan hingga kini, dan ini, dibuktikan dengan permasalahan aset tetap yang seolah tidak mau lepas dari bagian rutinitas dalam temuan-temuan LHP BPK atas LKPD Kabupaten Jombang.

Kendala lain yang tidak kalah rumit juga terjadi pada fase penyusunan laporan keuangan baik di SKPD maupun di SKPKD (DPPKAD yang kala itu masih bernama Badan Pengelola Keuangan Daerah/BPKD). Pada fase ini ada beberapa hal dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang tidak sesuai dengan SAP, yang diantaranya adalah: pertama, bagan perkiraan rekening belanja yang tidak konsisten dengan format laporan keuangan yang dinginkan, misalnya dalam format LRA tidak lagi mencantumkan belanja langsung dan tidak langsung tetapi hanya disajikan dengan belanja operaasi. Kedua, rekening belanja peralatan dan mesin tidak didefinisikan secara jelas, sementara di LRA harus menyajikan belanja ini. Ketiga, tidak menggambarkan secara jelas perbedaan sistem akuntansi umum, sistem akuntansi BUD/Kasda dan Sistem Akuntansi SKPD. Ke-empat, dasar untuk melakukan penjurnalan setiap transaksi adalah SPJ dari bendahara, sementara, dasar pencatatan akuntansi pertama adalah dokumen sumber yang sah (SPM-SP2D, STS, Nota Debet, Nota Kredit). Kelima, format laporan keuangan yang tidak konsisten dengan bagan perkiraan rekening, sehingga harus dilakukan modifikasi dan konversi ketika membuat laoran keuangan.

Berbagai kendala pada awal penyusunan neraca awal tidak menyurutkan semangat apalagi menghilangkan selera Pemda Jombang untuk menyusun LKPD yang akuntabel dan transparan, bahkan semakin menggelora. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya Perbup No. 15 Tahun 2007 tentang Pelaporan Keuangan dan Sistem Prosedur Akuntansi Pemerintah Kabupaten Jombang yang kemudian disempurnakan dengan menambah aturan tentang kapitalisasi aset dalam Perbup No. 15A Tahun 2008. Kedua perbup ini merupakan upaya dalam mencari jalan tengah atas konflik antar kebijakan yang mengatur tentang akuntansi keuangan daerah, sekaligus menjadi pedoman praktis yang menggabungkan konsep SAP dalam PP No. 24 Tahun 2005, Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan Permendagri No. 59 Tahun 2007. Penyusunan perbub tentang pelaporan keuangan dan sisdur akuntansi daerah merupakan produk hukum daerah yang disusun oleh akuntan pemerintahan di DPPKAD yang merupakan satuan kerja yang memiliki kewenangan dalam pengembangan dan pengelolaan keuangan daerah dan Inspektorat Kabupaten Jombang yang merupakan satuan kerja yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pembinaan di bidang keuangan daerah. Selain itu, penyusunan perbup tersebut juga mendapat sumbangan pikiran yang berlimpah dari ahli hukum yang bertugas di Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Jombang.

Namun demikian, permasalahan klasik, kebijakan barang daerah yang kini aturan teknis operasionalnya telah diganti dengan Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah masih menjadi intervensi kebijakan yang mengakibatkan konflik dengan Perbup tentang Pelaporan Keuangan dan Sistem Prosedur Akuntansi Pemerintah Kabupaten Jombang. Nampaknya, Akuntan Pemerintah Kabupaten Jombang dan beberapa ahli lainnya yang terkait harus bekerja keras sekali lagi untuk mensinergikan intervensi kebijakan yang mengakibatkan konflik tersebut.