Pengantar:
Dalam forum kuliah umum yang diadakan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), sekaligus sebagai acara perpisahan dgn orang-orang yang selama ini mendukung Bu Ani dalam kisruh politik belakangan ini. Bu Ani berbicara soal "Etika dalam Kebijakan Publik". Soal apa yang ia coba lakukan di Depkeu, memberi batas soal apa yg bisa dan tidak bisa dilakukan oleh Menkeu. Lalu ia juga mengritik soal pengusaha yg jadi pejabat terkait etika. Dan bagaimana rendahnya etika banyak anggota DPR yg dalam rapat-rapat suka bertanya keras hanya untuk kelihatan keras, tapi ketika dijawab malah santai keluar ruangan.
Berikut transkrip lengkapnya:
Saya rasanya
lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil Pansus Century.
Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya
jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi,
sekarang menjadi grogi. Saya diajari Pak Marsilam untuk memanggil orang
tanpa mas atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian.
Saya susah manggil “Marsilam”, selalu pakai “pak”, dan dia marah.
Tapi untuk Rocky saya malam ini saya panggil Rocky (Rocky Gerung dari
P2D) yang baik. Terimakasih atas (tepuk tangan).
Tapi saya jelas
nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor, kasus. Terima
kasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya
agak keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama, karena
judulnya adalah memberi kuliah, dan biasanya kalau memberi kuliah saya
harus, paling tidak membaca textbook yang harus saya baca dulu
dan kemudian berpikir keras bagaimana menjelaskan, dan malam ini tidak
ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus. Itu biasanya kuliah
kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk eksekutif yang
bayar SPP-nya mahal dan pasti neolib itu (disambut tertawa).
Oleh karena itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya
untuk berbicara tentang kebijakan publik dan etika publik.
Yang kedua,
meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi disebutkan
mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saja akan mengatakan
sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk tangan). Dan
malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang
saya pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya tidak boleh
untuk mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi
saya mohon ma’af kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan
amanat pada hari ini.
Tapi saya diminta
untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik, dan itu adalah
suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya,
semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri
di kabinet di Republik Indonesia itu.
Suatu penerimaan
jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran. Dengan segala upaya
saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang
pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan,
membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan
publik.
Disitu letak
pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar
seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC
tentang filosofi?. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika
di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat
publik, hari pertama saya, harus mampu untuk membuat garis antara apa
yang disebut sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya
dan keluarga, atau kelompok.
Dan sebetulnya
tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI untuk pintar
mengenai itu, karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim Presiden
Soeharto, dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara
kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal
awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap
hari harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai
makhluk, yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.
Di dalam ranah
itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5 tahun saya
bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan publik
dan bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap,
dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu
harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi,
yaitu kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat
yang adil dan makmur.
Jadi kebijakan
pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik
dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi
publik yang eksis, karena dia merupakan produk dari suatu proses politik
dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Di situlah letak bersinggungan,
apa yang disebut sebagai ingridient utama dari kebijakan publik,
yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan
kita.
Kekuasaan selalu
cenderung untuk corrupt, tanpa adanya pengendalian dan sistem
pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah
dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat
publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat
kita corrupt, maka pertanyaan “kalau saya mau menjadi pejabat publik
dan tidak ingin corrupt, apa yang harus saya lakukan?”.
Oleh karena
itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih
saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu khawatirnya,
tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk menjalankan
kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada
hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas
internal anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas
menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar, sesadar-sadarnya bahwa kewenangan
dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat
besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun orang
sudah berpikir ngeres mengenai hal itu.
Bayangkan,
seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap
tahun sekitar, mulai dari saya mulai, dari 400 triliun sampai sekarang
diatas 1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun
lebih.(batuk-batuk) Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau
bicara uang terus langsung....(ada air putih langsung datang diiringi
ketawa hadirin).
Saya sudah
melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance
pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang
yang begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi
terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seolah-olah
menjadi barang atau aset miliknya sendiri.
Dan di situlah
hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat garis
pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan dalam,
bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara
dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan
ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abuse-nya.
Barangkali
itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih menganggap bahwa
juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat
tapi ternyata “bau-nya” tidak seperti itu, tingkahnya apalagi lebih-lebih.
Jadi, saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi
berdasarkan genuine product-nya, dia hasilnya apa, tingkah laku
yang esensial.
Nah….. di
dalam hari-hari dimana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan
tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau
nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan
rambu-rambu, internal maupun eksternal.
Mungkin contoh
untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat Jenderal
saya. "Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh
dari seorang menteri". Biasanya mereka bingung, “tidak perndah
ada menteri yang tanya begitu ke saya bu”. Saya menteri boleh semuanya
termasuk mecat saya. Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang
boleh dan nggak boleh, buat mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat
janggal, untuk kultur birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di dalam
konteks yang lebih besar dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu.
Kita membuat standart operating procedure, tata cara, tata kelola
untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance.
Karena kebijakan
publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan
konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada anda. Banyak
contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang, pada
jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil hingga korupsi
yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai
korupsi yang sifatnya upstream dan hulu.
Dan bahkan
dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan itu.
Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli
sistem, dia bisa menciptakan network, dia bisa menciptakan pengaruh,
dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya.
Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu
anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.
Namun, meskipun
kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu dengan menegakkan
pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih
bisa dilewati. Di sinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika.
Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat
apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu menghianati
atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah
kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran.
Etika itu ada di dalam diri kita.
Dan kemudian
kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi yang keren
namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika
yang jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah
di dalam domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan
dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu
norma yang mengatur dan memberikan guidance kepada kita. Saya
termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi menteri.
Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus
berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Di situ anggota DPR bertanya banyak
hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Mereka mengkritik
begitu keras, tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan “ini
adalah panggung politik bu”.
Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua
Dirjen yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya.
Mereka sangat powerfull. Karena pengaruhnya, dan respectability
karena saya tidak tahu karena kepada angota dewan sangat luar biasa
dan waktu saya ditanya, mulainya dari...? segala macem. Setiap
keputusan, statemen saya dan yang lain-lain selalu ditanya dengan
sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan, "oh… ini ongkos
demokrasi yang harus dibayar" dan saya legowo saja dengan tenang
menulis pertanyaan-pertanyaan mereka.
Waktu sudah
ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau dijawab atau
tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "ibu tidak
usah dimasukkan ke hati bu, hal seperti itu hanya satu episode
drama saja". Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin
orang seperti saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan
etika publik, kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan
media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan
maka kita bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi guidance?
yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan dan
itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat
publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama, kalau saya tidak
corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua
saya menjadi khawatir saya akan split personality.
Waktu di dewan
saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan
menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak
saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu
yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah.
Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam
lain lagi dengan tengah malam. Kan… itu sesuatu yang sangat sulit
untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi seorang pejabat publik
yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.
Nah… oleh
karena itu, di dalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan
publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana
kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan
rakyat yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan
suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita
harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik, dimana
buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double
standrart, triple standart.
Dan bahkan
kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan,
saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive director
di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara
maju. Hari pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai
etika sebagai seorang executive director, do dan don'ts.
Di situ juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana
suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk level
internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam
proses politik atau proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik
kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya
melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita
untuk bisa membuat keputusan yang baik.
Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir,
ya…. kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya
dengan pemahaman mengenai konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri
suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi
kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak yang
ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan
keuntungan itu dan tidak ada rasa risih, hanya untuk menunjukkan yang
penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu
adalah urusan sekunder.
Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background-nya pengusaha, meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya, tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa' semuanya masih run. Dan dengan tenangnya,
berbagai kebijakan, bahkan yang membuat saya terpana, kalau dalam hal
ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa inggris apa disebutnya? i
drop my job atau apa..bengong itu.
Kita bingung
bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan pribadi saya
di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu
ternyata yang meng-import adalah perusahaannya dia. Nah…..
ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir
yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reason
phenomena. Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman
orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan
kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision
making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui
proses check and balance, tapi di dalam dirinya, unsur mengenai
konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang
yang jarang disebut pak.
Ada suatu saat
saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan.
Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia adalah komisaris dari
beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan dengan tenang,
bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan silahkan
keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan
di kementrian keuangan. Kebetulan mereka adalah teman-teman saya. Jadi
teman-teman saya itu dengan bitter mengatakan, "mbak ani
jangan sadis-sadis amat-lah kayak gitu, kalaupun kita disuruh keluar
juga diem-diem aja, nggak usah caranya kayak gitu".
Saya ingin
menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep
mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka
di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan,
kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC-nya
menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar
dan dunia yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang
cerita yang nggak-nggak aja. Belum kalau di dalam konteks politik
besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti “lihat saja Sri Mulyani,
neolib”.
Jadi saya mungkin
akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah
suatu keresahan buat kita. Karena episode yang terjadi beberapa
kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang
harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia
memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari
orang-orang yang diminta untuk menjadi pengawas atau check terhadap
CEO-nya.
Dan proses
ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan
untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota,
propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya.
Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban
seseorang. Saya menteri keuangan, saya biasa mengurusi ratusan triliun
bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka, tapi saya akan kaget
kalau itu menjadi beban personal.
Seseorang akan
menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan
dan waktu saya mengatakan saya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh
sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena
kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan
rakyat. Sehingga muncul-lah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan
oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya
mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan
mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak
bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.
Sehingga memunculkan
suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber finansialnya. Dan
di situlah kontrak terjadi, di tingkat daerah, tidak mungkin itu dilakukan
dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD-nya pun tidak mungkin
karena size dari APBN-nya kadang-kadang tidak sebesar atau mungkin
juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang bisa dijual-belikan. Dan itu adalah bentuk hasil dari
suatu kolaborasi. Pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi
hal ini di dalam konteks bahwa produk dari kebijakan publik, melalui
sebuah proses politik yang begitu mahal sudah pasti akan distated
dengan struktur yang membentuk awalnya. Karena kebijakan publik adalah
hilirnya, hasil akhir, hulunya yang memegang kekuasaan, lebih hulu lagi
adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu demikian mahal.
Dan itu akan
menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem demokrasi.
Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau
menjadi bagian dari pemerintah, tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan
politik itu vakum atau hampa dari kepentingan politik di mana saja pasti
tentang kepentingan dan kepentingan itu kawin di antara beberapa kelompok
untuk mendapatkan kekuasaan itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada
siapa saja yang menjadi pemenang.
Kalau pada
hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan atau ada
yang menangisi, ada yang gelo (jawa:menyesal.red), kenapa kok
Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini
adalah suatu kalkulasi di mana saya menganggap bahwa sumbangan saya,
atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki
di dalam sistem politik. Di mana perkawinan kepentingan itu begitu sangat
dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel,
saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama. (ketawa
dan tepuktangan).
Karena politik
itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya saya katakan tadi,
hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu, dan di dalam bahwa
di mana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak
memungkinkan etika publik itu bisa dimunculkan, maka untuk orang seperti
saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat
saya menerima tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah
berjanji kepada diri saya sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang
akan menghianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak mengatakan
itu gampang, sangat painful, sungguh painful sekali. Dan
saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau meneteskan
air mata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu besar,
sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar, anda bisa, anda
mampu, anda bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng-abuse-nya
oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi agar nyaman
dan anda tidak mau. (tepuk tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu
diapresiasi. P2D-kan baru muncul sesudah saya mundur (ketawa, disini
dia terlihat mengusapkan sapu tangan ke matanya).
Jadi ya…
terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan republik
ini-lah. Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa
menit atau berapa jam. Soalnya di atas jam sembilan argonya lain lagi
nanti. Jadi, saya gimana harus menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja,
balik terus nanti. Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir
kuliah saya ini, atau cerita saya ini, saya ingin menyampaikan kepada
semua kawan-kawan disini, saya bukan dari partai politik, saya bukan
politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik. Selama lebih dari
lima tahun saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi.
Kita punya
perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah. Keresahan itu memuncak
pada saat kita menghadapi realita, jangan-jangan banyak orang yang ingin
berbuat baik merasa frustasi atau mungkin saya akan less dramatic.
Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita
menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan
yang lebih besar. Sebetulnya, cerita itu bukan cerita baru, karena saya
tahu betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan
stay atau out adalah pada dilema, apakah dengan stay,
saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan
suatu kerusakan yang lebih besar, atau anda out dan anda di situ
akan punya kans untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting associated with menjadi less personal gain, public loss If you are stay, dan itu yang saya rasakan lima tahun,
you suddenly feel that everybody is your enemy.
Karena no
one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita tetap berada di dalam sistem yang tidak sejalan
dengan kita, juga jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang
bisa diajak enak-enakan. Sehingga anda di dalam di sandwich di
dua hal itu dan itu bukan suatu pengalaman yang mudah, sehingga kita
harus berkolaborasi untuk membuat space yang lebih enak, lebih
banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.
Nah… kalau
kita ingin kembali kepada topiknya, untuk menutup juga, saya rasa forum-forum
semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang duduk pada
malam hari ini adalah kelompok kelas menengah yang sangat sadar membayar
pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik
yang mengatakan dia membayar pajak sukarela, tapi meskipun tidak sukarela,
anda sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini
tetap berdaulat. Dan orang seperti anda yang tahu membayar pajak adalah
kewajiban dan sekaligus hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan
dalam bentuk sistem politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan
orang-orang seperti anda-lah republik ini harus dijaga. Sungguh berat,
dan saya ditanya atau berkali-kali di banyak forum untuk ditanya, “kenapa
ibu pergi? bagaimana reformasi, kan yang dikerjakan semua penting, apakah
ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih
penting dibandingkan bank dunia”.
Seolah-olah
sepertinya negara ini menjadi tanggung jawab Sri Mulyani dan saya keberatan
dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga bertanggungjawab
kalau bertanyaa hal yang sama ke saya. Anda semua bertanggungjawab sama
seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan
sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea cukai,
jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik".
Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat
pelik.
Kecintaan itu
paling tidak akan terus memelihara suara hati kita dan bahkan menjaga
etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan, dan
saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak
di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian
keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.
Saya ingin
memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul
genuinly adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta
republik sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani,
mereka punya harga diri, dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin
mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang
tidak boleh bersuara banyak tapi harus bekerja.
Sebagian kecil
adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan, sangat senang untuk meng-abuse.
Tapi, saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat.
Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang ini untuk
dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat, sehingga landscape negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi
dengan seolah-olah menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk
dan runtuh. Selama seminggu ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus
perpisahan dengan jajaran di kementrian keuangan dan saya bisa memberikan,
sekali lagi, testimoni bahwa perasaan mereka untuk membuktikan
bahwa reform bisa jalan ada disana. Bantu mereka untuk tetap
menjaga “api” itu. Dan jangan kemudian anda di sini bicara dengan
saya, ya… bisa diselamatkan kalau Sri Mulyani tetap menjadi Menteri
keuangan, saya rasa tidak juga.
Suasana yang
kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang lalu, seolah-olah
persoalan negara ini disandera oleh satu orang, Sri Mulyani. Sedemikian
pandainya proses politik itu diramu sedemikian, sehingga seolah-olah
persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada suatu
ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan
berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun
dia harus tetap membuat kebijakan publik. Dia berusaha di setiap pertemuan,
mencoba untuk meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan
pribadi atau kelompok, dan apakah dia diintervensi atau tidak, apakah
dia membuat keputusan karena ada tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam
dia bertanya, dia minta, dia mengundang orang dan orang-orang ini yang
tidak akan segan mengingatkan kepada saya. Meskipun mereka tahu saya
menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang seperti pak Darmin, siapa
yang bisa bilang atau marahin Pak Marsilam? wong semua orang dimarahin
duluan sama dia.
Mereka ada
di sana hanya untuk mengingatkan saya, berbagai rambu-rambu, berbagai
pilihan dan pilihan sudah dibuat dan itu dilaporkan, dan itu diaudit
dan itu kemudian dirapatkan secara terbuka, dan itu kemudian dirapatkerjakan
di DPR. Bagaimana mungkin itu kemudian, 18 bulan kemudian, dia seolah-olah
menjadi keputusan individu seorang Sri Mulyani, proses itu berjalan
dan etika sunyi, akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan
apakah pejabat publik yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat
dia sudah mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh
sebuah proses politik. Saya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde baru, semua orang di stigma komunis,
kalau ini khusus didesain pada era reformasi, seorang distigma
dengan Sri Mulyani identik dengan Century. Mungkin kejadiannya di satu
orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman
telah terjadi.
Sebetulnya
disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik yang
didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan
membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan, divonis
tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu episode yang sebetulnya
sudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik
yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah
ada etika dan norma yang menjadi guidance, kita dibenturkan dengan
realita-realita politik.
Dan untuk itu,
saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari anda mengatakan
apakah Sri Mulyani kalah?, apakah Sri Mulyani lari? dan saya yakin banyak
yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu
loss atau kehilangan. Di antara anda semua yang ada disini, saya
ingin mengatakan bahwa saya menang, saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan,
saya definisikan menurut saya, karena tidak didikte oleh siapapun
termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini. (applause).
Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang. Terimakasih (standing applause)
sumber: dari suatu milis