Kamis, 20 Mei 2010

Data, Fakta dan Isu Kebijakan Perencaanaan dan Penganggaran

Sejak dicanangkannya kebijakan desentralisasi yang dialamatkan ke level daerah, telah mampu mendorong kebangkitan partisipasi masyarakat sipil. Tak ayal jika asosiasi sipil makin marak tumbuh di aras lokal. Upaya mereka, umumnya, berkehendak memajukan peran masyarakat di setiap pengambilan kebijakan, baik itu menyangkut perencanaan pembangunan, penganggaran daerah, sampai dengan pelayanan hak-hak sosial dasar.

Banyak cara telah ditempuh. Selain memanfaatkan jalur formal kebijakan, biasanya gerak dinamik lokal diisi juga memilih strategi advokasi melalui pengorganisasian warga, mengangkat isu-isu populis. Pilihan advokasi dilakukan dalam tiga model: (1) pendekatan diplomasi; (2) pengembangan wacana kritis; sampai dengan (3) pengorganisasian masyarakat. Dalam rentang perubahan pada babak awal reformasi, pilihan pengorganisasian masyarakat sering ditempuh oleh para aktivis, sebagai bagian dari episode merintis pondasi dan membangun tembok bagi demokrasi lokal, yang telah lama menjadi harapan sejak reformasi dideklarasikan.

Sementara, berkenaan dengan peran pemerintah daerah, sejumlah perubahan juga patut disyukuri. Merujuk bermacam riset mengenai local governance reform, telah memberikan informasi-informasi positif. Sekurang-kurangnya pada aras formal kelembagaan, juga regulasi, telah banyak inisiatif-inisiatif awal oleh pemerintah yang makin tumbuh. Hal itu dapat digolongkan sebagai respon atas tuntutan perubahan yang dikawal para CSO (civil society organisation), maupun sebentuk political will yang lahir dari teknokratisasi pemimpin daerah. Dapat disebutkan misalnya: terbentuknya peraturan-peraturan daerah (Perda) berkaitan dengan partisipasi sipil dalam kebijakan publik, pembaharuan tata kelola perijinan dan pelayanan masyarakat, transparansi dan partisipasi dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran, serta yang paling aktual adalah inisiatif perubahan anggaran yang berpihak pada kaum miskin atau yang dikenal dengan reformasi social policy (pendidikan dan kesehatan).

Meskipun pada aras masyarakat sipil dan negara telah dicapai kemajuan positif, banyak catatan penting di seputar kendala tak bisa dielakkan. Perubahan yang berlangsung sejauh ini, tidak berarti secara otomatis berujung pada implementasi yang konsisten sesuai koridor normatif. Perubahan tata kelembagaan yang berlangsung secara radikal, khususnya di bidang politik formal, dibarengi sejumlah bukti keadaan sosial ekonomi masyarakat yang menunjukkan fakta berlawanan. Jerit keluh warga terkait problem-problem sosial ekonomi, masih terus terdengar. Bahkan makin keras. Demokrasi politik belum membuahkan kesejahteraan.

Berbagai langkah politik warga membendung dan mengatasi segala macam masalah itu, memang bukan pekerjaan mudah. Pengalaman pahit makin merisaukan masyarakat, terutama banyaknya pengingkaran agenda reformasi. Kerisauan dan sinisme makin mencuat, menyaksikan berbagai jebakan pragmatisme yang selalu menghantui irama dan dinamika lokal. Kemerosotan kepercayaan makin berlangsung saat reproduksi ketegangan antar kelompok sipil dalam advokasi kebijakan makin menebal, yang seringkali diiringi sikap dan tindakan yang saling berbenturan. Propaganda buruk antar aktivis muncul, meski hanya berkutat pada perbedaan pilihan strategi, tanpa ditopang komunikasi antar mereka. Perselisihan tanpa kompromi dan negosiasi, justru mengurangi energi bagi bangunan konsistensi kesadaran dalam perjuangan.

Meningkatnya derajat partisipasi formal, yang didorong dalam sketsa demokratisasi lokal, nampaknya belum berkorelasi positif dengan derajat perubahan kebijakan secara nyata. Bahkan partisipasi itu, seringkali terjebak dalam formalisasi. Menyangkut perencanaan pembangunan dan penganggaran, sesungguhnya secara normatif telah tertuang beberapa regulasi. Sebut saja misalnya, berkenaaan dengan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), yang mensyaratkan pendekatan partisipasi, telah diatur melalui UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan daerah.

Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, yang diatur dalam dua regulasi tersebut, ternyata membentur proses penganggaran daerah. Proses penganggaran ini mengikuti regulasi yang khusus mengaturnya, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 33/2004 tentang perimbangan dana pemerintah pusat dan daerah. Meski kehendak regulasi berupaya mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, namun dalam praktiknya yang sering terjadi di banyak daerah adalah disconnection antara hasil Musrenbang kabupaten dengan posting alokasi belanja anggaran. Hasil Musrenbang dalam bentuk daftar skala prioritas (DSP), tidak dijadikan referensi nyata dalam posting alokasi anggaran oleh tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) dan Panitia Anggaran (Panggar) DPRD. Karena itu, bisa disadari bahwa anggaran daerah cenderung disusun secara oligarkis oleh eksekutif dan legislatif, sehingga tidak bisa disentuh (untouchable) oleh partisipasi masyarakat.

Padahal, Permendagri nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, memungkinkan masyarakat untuk mengetahui akses informasi yang seluas-luasnya tentang keuangan daerah. Dalam cara pandang kritis, terjadinya elitisasi dan oligarki proses perencanaan dan penganggaran, berakibat pada kecenderungan formalisasi Musrenbang yang tidak bisa dijadikan tolok ukur perencanaan yang partisipatif dan transparan. Wajar saja, jika akhirnya output Musrenbang dan penganggaran, dalam bentuk APBD, tidak sesuai harapan. Hal ini biasanya tercermin dari, besaran partispasi warga dalam Musrenbang tidak berkorelasi positif atas alokasi anggaran yang semestinya diperuntukkan untuk masyarakat.

Apalagi, di sejumlah kasus menunjukkan modus-modus perilaku aktor-aktor yang memanfaatkan secara informal proses kebijakan perencanaan maupun penganggaran, yang menerobos jalur formal (prosedural). Tidak mengherankan, jika akhirnya arena penganggaran memperlihatkan dua gerak sirkuit: arus formal dan informal dalam mempengaruhi kebijakan perencanaan dan penganggaran, yang berujung pada abainya kepentingan masyarakat luas, apalagi kelompok marginal. Kontestasi formal seringkali berbeda dengan geliat penetrasi aktor-aktor informal, termasuk jaringan agencies dalam institusi pengambil kebijakan. Disanalah, tidak jarang senantiasa muncul ”penumpang gelap” kebijakan, yang mendistorsi kebijakan.

Skema perencanaan dan penganggaran semestinya mensyaratkan perpaduan antara pendekatan teknokrasi, politik dan partisipasi. Kaitan antar pendekatan tersebut merupakan konstruksi demokratisasi kebijakan. Namun faktanya, kecenderungan modus perencanaan dan penganggaran daerah masih bersifat terlalu teknokratis-politis, tidak diimbangi dengan aspek partisipasi yang nyata. Sebagai ukuran, bahwa di setiap hasil Musrenbang yang diolah pada tingkat SKPD, selalu mengalami pemangkasan di lintasan eksekutif. Apalagi, pada fase penganggaran, senantiasa absen dari pantauan dan keterlibatan warga. Tahap krusial yang perlu diperhatikan, karena sekaligus menjadi titik strategis penentu perencanaan, tidak lain ada pada tahap perumusan program/kegiatan SKPD yang dikoordinasi Bappeda.

Proses dan rute dari bawah, sesungguhnya sangat bergantung bagaimana pembahasan masuk dalam sistematisasi dan rasionalisasi dalam kacamata SKPD yang didalamnya terjadi “interaksi” sekaligus pertarungan antar sektoral. Arena ini, memang sebagian besar memiliki modus yang sama mengenai kecenderungan para kepala dinas memperjuangkan segala usulan masing-masing instansi berbasis keinginannya. Silang kepentingan dengan nalar teknokratik, berproses dengan (cenderung) mengabaikan segala dokumen usulan dari hasil Musrenbang. Bahkan tragisnya, produk perencanaan teknokratik tersebut meninggalkan koherensinya dengan RPJMD, Renstra, maupun Renja SKPD. Hal itu bisa terjadi karena mekanisme perencanaan pembangunan telah “terbakukan dalam sangkar birokratik”.

Perangkat kelembagaan dan mekanisme perencanaan jika sudah memasuki area kabupaten, daftar usulan dari hasil Musrenbang mengalami penyusutan secara sistematik, dengan tergantikan oleh bermacam skema yang berasal dari dinas-dinas (SKPD). Hal semacam ini memperlihatkan terjadinya gap (kesenjangan), antara model perencanaan dari bawah berbasis spasial (desa), yang menunjukkan pendekatan partisipasi, berhadapan dengan model perencanaan berbasis sektoral (daerah/kabupaten), yang mencerminkan teknokratisasi. Salah satu akar penyebab kesenjangan, sebagaimana disinyalemen banyak kalangan, bahwa jika perencanaan desa (dari bawah) itu masih melekat dalam perencanaan daerah, sebagaimana diatur dalam tata kelembagaan Musrenbang, kemungkinan berlanjutnya dominasi kabupaten akan terus berlangsung. Secara hipotetis dapat dikatakan, set up tata kelembagaan perencanaan pembangunan daerah, senantiasa menjadi perangkap formalisasi partisipasi dan hanya memperkuat dominasi SKPD.

Secara teoritik, anggaran belanja daerah merupakan instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan roda kekuasaannya. Dalam skema kebijakan, keputusan alokasi sumber daya untuk berbagai keperluan berupa pengeluaran setiap tahunnya, tercermin pada APBD. Dalam prakteknya, anggaran belanja daerah tak terlepas dari sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi, sekaligus menjadi mediasi berbagai kebutuhan masyarakat. Dalam konteks demikian, kebutuhan atau kepentingan itu seringkali memiliki bobot prioritas yang relatif sama. Dari sanalah diperlukan pilihan-pilihan memutuskan mana yang akan didanai terlebih dahulu. Tidak heran jika atas pertimbangan itu pada akhirnya berbagai pihak dan kelompok kepentingan akan berebut pengaruh di dalam memutuskan alokasi anggaran belanja daerah.

Anggaran belanja daerah merupakan salah satu komponen dasar kebijakan publik daerah. Dalam perspektif mikro, kebijakan anggaran belanja daerah adalah merupakan keputusan politik yang ditetapkan kepala daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), untuk dilaksanakan oleh aparat birokrasi daerah. Sebagai keputusan politik, kebijakan anggaran belanja daerah sering melalui proses politik yang panjang dan kompleks. Prosesnya meliputi tujuan-tujuan kebijakan dan cara pengambilan keputusannya, orang-orang atau kelompok-kelompok yang dilibatkan, baik sebagai perencana, pelaksana maupun penerima manfaat kebijakan anggaran belanja daerah. Sementara dalam khasanah makro tata pemerintahan demokrasi, kebijakan anggaran belanja daerah merupakan mandat politik warga (citizen political mandate) atas sumberdaya publik yang diamanatkan kepada lembaga pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) sebagai pemilik otoritas pengelolaan anggaran. Sifat otoritatif pemerintah demikian tentu hanya berlaku sepanjang pemerintah daerah mampu melaksanakan alokasi atau distribusi anggaran berdasarkan nilai-nilai kepentingan warga.

Kombinasi dua perspektif setidaknya telah terefleksikan pada muatan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana pada Pasal 3 dinyatakan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Artinya, selain proses kebijakan penganggaran mengacu kepada prinsip-prinsip teknokratis, lebih dari itu yang patut digaris bawahi adalah adanya proses politik dan partisipasi warga.

Dalam pengertian yang luas, anggaran memiliki fungsi distributif, yang diartikan bahwa suatu anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Sebagai fungsi alokasi sumberdaya, anggaran harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengatasi kesenjangan serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi perekonomian. Untuk itulah, penyusunan anggaran harus mempergunakan prioritas kebutuhan dasar bagi masyarakat, apa yang akan dipenuhi, memperkirakan sumber daya yang dimiliki pada tahun yang akan datang, pelayanan atau pembangunan apa yang akan diberikan pemerintah untuk satu tahun ke depan.

Anggaran belanja daerah mempunyai beberapa karakteristik yang membuat anggaran itu sarat dengan masalah-masalah politik. Pemerintah daerah menyusun anggaran itu secara teknis dengan kriteria efesiensi dan profesional. Biasanya pejabat-pejabat penyusun itu mempunyai pendidikan yang khusus mendalami masalah-masalah anggaran, tetapi kadang-kadang perhitungan-perhitungan yang telah disusun secara teknis dan profesional itu sulit disajikan secara rasional, karena adanya intervensi dari unsur-unsur politik. Di sini berhadapan antara penyusun anggaran yang profesional dengan para politisi yang bekerja dengan pertimbangan politik. Dengan kata lain, terdapat batasan antara keputusan-keputusan yang bersifat teknis dari para penyusun anggaran, dan bersifat politis dari para politisi atau anggota legislatif.

Diantara anggota legislatif yang mewakili rakyat itu, sering terjadi konflik diantara mereka sendiri. Jadi konflik bukan terjadi antara anggota legislatif dan penyusun anggaran atau pemerintah saja, tetapi juga dapat terjadi dikalangan dewan legislatif. Anggota legislatif itu mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, antara lain kelompok-kelompok ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Dengan demikian dikalangan legislatif itu, tidak heran apabila disatu pihak memperjuangkan anggaran untuk golongan pengusaha yang sudah mapan.

Dimensi politik dan kepentingan dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal yang lazim terjadi di Indonesia termasuk dominasi elite kekuasaan di dalam mempengaruhi perumusan kebijakan. Pengaruh politik dalam anggaran bukan hanya pada penyusunannya, tetapi juga pada prosesnya. Proses anggaran yang dimaksud adalah dari mulai tingkat usulan sampai ke pelaksanaan dan penilaian. Pada proses inilah unsur-unsur politik itu banyak bermain atau berperan. Pada akhirnya, kebijakan banyak dianggap sebagai sebuah upaya mempertahankan kekuasaan.

Formulasi kebijakan perencanaan merefleksikan sebuah gugatan terhadap peran elit kekuasaan yang memegang kendali utama dalam proses perumusan kebijakan yang akan menentukan masa depan banyak pihak; bukan hanya negara/daerah sebagai sesuatu yang pasif namun, masyarakat sebagai sesuatu yang aktif termasuk masa depan negara/daerah.

Dalam perspektif produk kebijakan, perencanaan daerah merefleksikan sebuah gugatan terhadap sisi kelayakan dan rasionalitas atas substansi kebijakan perencanaan. Berangkat dari fenomena yang telah digambarkan, dengan segenap kekuatan pada derajat analisis pengalaman, penelitian formulasi kebijakan berusaha menginterpretasikan persoalan pada proses perencanaan (formulasi) dan kelayakan substansi perencanaan (produk) dari kebijakan perencanaan. Tentu bukan bermaksud replikasi, atau universalisasi. Segala keterbatasan yang dikandungnya, memberi harapan pula untuk kritik dan input, agar setiap upaya perubahan pada level proses selalu bermakna, andai belum menghadirkan perubahan langsung dalam waktu pendek. Pengetahuan dengan basis pengalaman yang terakumulasi dari manapun, semoga kian mencerahkan sesama.