Istilah otonomi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu outus yang berarti sendiri dan nomos
berarti undang-undang. Menurut perkembangan sejarah pemerintahan di
Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundang-undangan juga mengandung
arti pemerintahan atau perundang-undangan sendiri (Pamudji, 1982: 45).
Sesuai dengan
Pasal 1 butir (h) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menyebutkan bahwa otonomi daerah
adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri atau aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Tujuan pemberian
otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan itu, maka kepada
daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
Untuk pemerintah
Propinsi hanya diberikan otonomi terbatas yang meliputi kewenangan lintas
kabupaten dan kota. Selain itu, kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan
oleh daerah kabupaten atau kota, serta kewenangan bidang pemerintahan
tertentu lainnya (Pasal 9 ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2004).
Hal tersebut
menunjukkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Ini berguna
untuk peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan
di daerah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan. Untuk dapat mencapainya, maka titik berat
otonomi diletakkan di daerah kabupaten dan daerah kota dengan pertimbangan
bahwa daerah kabupaten atau kota langsung berhubungan dengan masyarakat.
Menurut Utomo
(2000), seluruh khasanah politik dan pemerintahan di Indonesia, termasuk
manajemem pemerintahan daerah, membicarakan mengenai otonomi, desentralisasi
atau demokrasi lokal yang harus menitik beratkan adanya kewenangan.
Dengan kewenangan yang dimiliki, akan memotivasi daerah untuk menumbuhkan
inisiatif dan kreativitas tidak saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
tetapi juga untuk tercapainya kemandirian daerah.
Meskipun tidak
dapat ditolak bahwa penyelenggaraan manajemen pemerintahan daerah diperlukan
adanya keuangan yang cukup memadai. Hal ini dapat terjadi suatu polemik
“apa artinya kewenangan apabila tidak ada uang atau sebaliknya apa
artinya memiliki uang kalau tidak memiliki kewenangan”.
Kewenangan menjadi central issues dalam pelaksanaan otonomi karena untuk mengembalikan kekuasaan dari tangan penguasa kepada kedaulatan rakyat. Di samping itu, untuk menumbuhkan kemandirian dan pemberdayaan daerah dan masyarakat daerah. Selama beberapa tahun yang lalu, kewenangan belum pernah dirasakan dan dipegang oleh daerah, sehingga tidaklah mengherankan apabila di era reformasi sering terjadi adanya euphoria yang berlebihan ataupun juga defence mechanism yang terlalu ketat padahal kewenangan belum secara nyata dilimpahkan.
Pada prinsipnya, hakekat otonomi daerah ialah mempunyai sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakannya untuk melaksanakan tugas otonomi, serta mempunyai anggaran belanja yang ditetapkan sendiri. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga faktor yang menentukan, yaitu perangkat, personalia, dan pembiayaan atau pendanaan daerah.