Selasa, 06 April 2010

Fungsi dan Peran Pemerintah Daerah

Pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif dibedakan dalam dua pengertian yuridis, yakni:

  1. Selaku alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara yang kekuasaannya melekat pada kedudukan seorang kepala negara.
  2. Selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas penyelenggaraan pemerintahan atau selaku administrator negara (pejabat atau badan atas usaha negara)

Pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem, fungsi, cara, perbuatan, kegiatan, urusan, atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh pemerintah. Eksekutif adalah cabang kekuasaan dalam negara yang melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri.

Administrasi (negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan, baik di lapangan pengaturan maupun penyelenggaraan administrasi (negara).

Berkaitan hubungan antara pemerintahan dan administrasi negara, maka didalam organisasi modern sebagaimana negara dan perangkatnya, Max Weber mengintroduksi terminologi birokrasi dengan mengatakan sebagai berikut: (Dahl, 1994: 13)

Pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan aturan-aturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam pelaksanaan organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.

Tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian, pembangunan menciptakan kemakmuran. Sedangkan Birokrasi itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Birokrasi patrimonial yang berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional yang tidak memisahkan antara tugas, wewenang, dan tanggung jawab dinas dengan urusan pribadi pejabat.
  2. Birokrasi modern (rasional) dicirikan dengan adanya spesialisasi, hukum, pemisahan tugas dinas dan urusan pribadi.

Lebih jauh berkaitan dengan birokrasi publik di Indonesia, Miftah Thoha (Miftah Thoha, 2000: 4-5) memberikan catatan tentang restrukturisasi dan reposisi birokrasi publik. Sekurangnya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek penegakan demokrasi, aspek perubahan sistem politik, dan aspek perkembangan teknologi informasi.

  1. Aspek Penegakan Demokrasi: Prinsip demokrasi yang paling urgen adalah meletakkan kekuasaan pada rakyat dan bukan pada penguasa. Oleh karena itu struktur kelembagaan pemerintah yang disebut birokrasi tidak dapat lepas dari kontrol rakyat. Wujud kekuasaan dan peran rakyat ialah bahwa pada setiap penyusunan birokrasi harus berdasarkan undang-undang. Berdasarkan undang-undang, rakyat terlibat dalam mendesain dan menetapkan lembaga-lembaga pemerintahan atau birokrasi di pusat maupun di daerah.
  2. Aspek Perubahan Sistem Politik: Era reformasi saat ini sungguh menghadapi persoalan kondisi mental, sikap dan perilaku politik warisan rezim terdahulu terutama dalam kerangka single majority Golongan Karya. Pada masa orde baru semua posisi jabatan dalam organisasi publik ditempati oleh kader-kader Golkar. Oleh karena itu tidak dapat dibedakan manakah yang “birokrat tulen” dan manakah “birokrat partisan” Struktur organisasi publik berkembang antara pejabat birokrasi dan pejabat politik. Semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan nonkarier, antara jabatan birokrasi dan jabatan politik.
  3. Aspek Perkembangan Teknologi Informasi: Kemajuan jaman dan perubahan global telah menjadikan cara kerja suatu birokrasi dengan menggunakan teknologi informasi. Cara demikian telah menciptakan “birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas” Berdasarkan kondisi demikian, maka tatanan organisasi akan berubah menjadi lebih pendek dan ramping. Sesuai dengan asas demokrasi, kewenangan birokrasi menjadi tidak hanya berada pada tataran penguasa melainkan tersebar dimana-mana (decentralized). Birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas telah menjadikan birokrasi tidak lagi secara tegas mengikuti garis hirarki. Struktur organisasi bersifat ad-hoc, komite, dan matrik akan menjadi model organisasi mendatang, yang sering disebut sebagai organisasi struktur logis (logical structure).

Menurut Max Weber (Dahl, 1994:13),

pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan aturan-aturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam pelaksanaan organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.

Sedangkan tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian, pembangunan menciptakan kemakmuran

Pada suatu pemerintahan terdapat fungsi legislasi. Fungsi legislasi secara umum adalah fungsi untuk membuat peraturan perundang-undangan atau pembuatan kebijakan. Mengacu pada pengertian ini, kewenangan legislasi sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh parlemen (DPR/DPRD), tetapi juga oleh institusi-institusi lain seperti eksekutif serta yudikatif. Akan tetapi kajian modul ini hanya akan berfokus pada peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses penyusunan Peraturan Daerah (Perda).

Sesuai dengan UU nomor 22 tahun 2003 (tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), DPRD merupakan sebuah lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota. Dalam UU nomor 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan di daerah atau unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Untuk fungsi legislasi sendiri, terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan fungsi ini, antara lain:

  1. Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  2. Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD

Fungsi legislasi dari DPRD adalah bersama-sama dengan Kepala Daerah membuat dan menetapkan Perda, yang berfungsi sebagai:

  1. Perda sebagai arah pembangunan

    Sebagai kebijakan publik tertinggi di daerah, Perda harus menjadi acuan seluruh kebijakan publik yang dibuat termasuk didalamnya sebagai acuan daerah dalam menyusun program pembangunan daerah. Contoh konkritnya adalah Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA).

  1. Perda sebagai Arah Pemerintahan di Daerah

    Sesuai dengan Tap MPR Nomor XI tahun 1998 serta UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, maka ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Dalam penerapan asas tersebut untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih dan bebas dari KKN, maka asas-asas tersebut merupakan acuan dalam penyusunan Perda sebagai peraturan pelaksanaannya di daerah.

Fungsi penganggaran merupakan salah satu fungsi DPRD yang diwujudkan dengan menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bersama-sama pemerintah daerah. Dalam melaksanakan fungsi penganggaran tersebut DPRD harus terlibat secara aktif, proaktif, bukan reaktif, dan bukan hanya sebagai lembaga legitimasi usulan APBD yang diajukan pemerintah daerah.

Fungsi penganggaran memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena APBD yang dihasilkan oleh fungsi penganggaran DPRD memiliki fungsi sebagai berikut:

  1. APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal

    Sebagai cerminan kebijakan fiskal, APBD memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu:

    1. Fungsi alokasi

    Fungsi alokasi mengandung arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran, mengurangi pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. APBD harus dialokasikan sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan.

    1. Fungsi distribusi

    Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Jika fungsi distribusi APBD berjalan dengan baik, maka APBD dapat mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal.

    1. Fungsi stabilisasi

    Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa APBD merupakan alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

  1. APBD sebagai fungsi investasi daerah

    Dalam pandangan manajemen keuangan daerah, APBD merupakan rencana investasi daerah yang dapat meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, APBD harus disusun sebaik mungkin agar dapat menghasilkan efek ganda (multiplier effect) bagi peningkatan daya saing daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan.

  1. APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah

    Sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi sebagai pedoman kerja, alat pengendalian (control), dan alat ukur kinerja bagi pemerintah daerah. Dengan kata lain, dipandang dari sudut fungsi manajemen pemerintah daerah, APBD memiliki fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan. Dalam penjelasan PP Nomor 58/2005, fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan didefinisikan sebagai berikut:

    1. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
    2. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
    3. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Uraian di atas memberikan gambaran jelas bahwa fungsi penganggaran memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Selain itu, fungsi penganggaran yang baik mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pengawasan adalah mutlak diperlukan, sebab pengawasan merupakan salah satu kegiatan dalam rangka upaya pencegahan. Jadi norma pengawasan harus benar-benar diatur secara rinci, sistematis, dan jelas, baik menyangkut instansi/pajabat pangawas, obyek pengawasan, prosedur (tata cara), koordinasi, persyaratan, dan akibat pengawasan.

Pengawasan terhadap kegiatan usaha ini sekurang-kurangnya meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu:

  1. Pemantauan penaatan (compliance monitoring).
  2. Pengamatan dan pemantauan lapangan.
  3. Evaluasi.

Paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi daerah menurut Bagir Manan (2002) yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah. Dikaitan dengan topik kajian ini yang, maka uraian berikut akan lebih menitik beratkan pada hal-hal yang berkaitan dengan pengawasan.

Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: Pertama, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara tertentu pula. Kedua, sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan sepihak oleh Pusat, sehingga dapat menimbulkan pengaruh pada keuangan daerah.

UU Nomor 22 Tahun 1999 sangat mengendorkan sistem pengawasan. Dalam Penjelasan Umum angka 10 menyatakan:

“… sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberi kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah.”

Karena itu peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Meniadakan syarat pengesahan (preventief toezicht) dapat menimbulkan masalah hukum yang rumit.