Pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif dibedakan dalam dua pengertian yuridis, yakni:
- Selaku alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara yang kekuasaannya melekat pada kedudukan seorang kepala negara.
- Selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas penyelenggaraan pemerintahan atau selaku administrator negara (pejabat atau badan atas usaha negara)
Pemerintahan
adalah berkenaan dengan sistem, fungsi, cara, perbuatan, kegiatan, urusan,
atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan
oleh pemerintah. Eksekutif adalah cabang kekuasaan dalam negara yang
melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif
maupun atas inisiatif sendiri.
Administrasi (negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan, baik di lapangan pengaturan maupun penyelenggaraan administrasi (negara).
Berkaitan hubungan antara pemerintahan dan administrasi negara, maka didalam organisasi modern sebagaimana negara dan perangkatnya, Max Weber mengintroduksi terminologi birokrasi dengan mengatakan sebagai berikut: (Dahl, 1994: 13)
Pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan aturan-aturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam pelaksanaan organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.
Tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian, pembangunan menciptakan kemakmuran. Sedangkan Birokrasi itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Birokrasi patrimonial yang berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional yang tidak memisahkan antara tugas, wewenang, dan tanggung jawab dinas dengan urusan pribadi pejabat.
- Birokrasi modern (rasional) dicirikan dengan adanya spesialisasi, hukum, pemisahan tugas dinas dan urusan pribadi.
Lebih jauh berkaitan dengan birokrasi publik di Indonesia, Miftah Thoha (Miftah Thoha, 2000: 4-5) memberikan catatan tentang restrukturisasi dan reposisi birokrasi publik. Sekurangnya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek penegakan demokrasi, aspek perubahan sistem politik, dan aspek perkembangan teknologi informasi.
- Aspek Penegakan Demokrasi: Prinsip demokrasi yang paling urgen adalah meletakkan kekuasaan pada rakyat dan bukan pada penguasa. Oleh karena itu struktur kelembagaan pemerintah yang disebut birokrasi tidak dapat lepas dari kontrol rakyat. Wujud kekuasaan dan peran rakyat ialah bahwa pada setiap penyusunan birokrasi harus berdasarkan undang-undang. Berdasarkan undang-undang, rakyat terlibat dalam mendesain dan menetapkan lembaga-lembaga pemerintahan atau birokrasi di pusat maupun di daerah.
- Aspek Perubahan Sistem Politik: Era reformasi saat ini sungguh menghadapi persoalan kondisi mental, sikap dan perilaku politik warisan rezim terdahulu terutama dalam kerangka single majority Golongan Karya. Pada masa orde baru semua posisi jabatan dalam organisasi publik ditempati oleh kader-kader Golkar. Oleh karena itu tidak dapat dibedakan manakah yang “birokrat tulen” dan manakah “birokrat partisan” Struktur organisasi publik berkembang antara pejabat birokrasi dan pejabat politik. Semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan nonkarier, antara jabatan birokrasi dan jabatan politik.
- Aspek Perkembangan Teknologi Informasi: Kemajuan jaman dan perubahan global telah menjadikan cara kerja suatu birokrasi dengan menggunakan teknologi informasi. Cara demikian telah menciptakan “birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas” Berdasarkan kondisi demikian, maka tatanan organisasi akan berubah menjadi lebih pendek dan ramping. Sesuai dengan asas demokrasi, kewenangan birokrasi menjadi tidak hanya berada pada tataran penguasa melainkan tersebar dimana-mana (decentralized). Birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas telah menjadikan birokrasi tidak lagi secara tegas mengikuti garis hirarki. Struktur organisasi bersifat ad-hoc, komite, dan matrik akan menjadi model organisasi mendatang, yang sering disebut sebagai organisasi struktur logis (logical structure).
Menurut Max Weber (Dahl, 1994:13),
pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan aturan-aturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam pelaksanaan organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.
Sedangkan tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian, pembangunan menciptakan kemakmuran
Pada suatu
pemerintahan terdapat fungsi legislasi. Fungsi legislasi secara umum
adalah fungsi untuk membuat peraturan perundang-undangan atau pembuatan
kebijakan. Mengacu pada pengertian ini, kewenangan legislasi sebenarnya
tidak hanya dimiliki oleh parlemen (DPR/DPRD), tetapi juga oleh institusi-institusi
lain seperti eksekutif serta yudikatif. Akan tetapi kajian modul ini
hanya akan berfokus pada peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dalam proses penyusunan Peraturan Daerah (Perda).
Sesuai dengan
UU nomor 22 tahun 2003 (tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah), DPRD merupakan sebuah lembaga perwakilan
rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota.
Dalam UU nomor 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan
DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan di daerah. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan
di daerah atau unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, DPRD mempunyai
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Untuk fungsi legislasi sendiri, terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan fungsi ini, antara lain:
- Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD
Fungsi legislasi dari DPRD adalah bersama-sama dengan Kepala Daerah membuat dan menetapkan Perda, yang berfungsi sebagai:
- Perda sebagai arah pembangunan
Sebagai
kebijakan publik tertinggi di daerah, Perda harus menjadi acuan seluruh
kebijakan publik yang dibuat termasuk didalamnya sebagai acuan daerah
dalam menyusun program pembangunan daerah. Contoh konkritnya adalah
Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA).
- Perda sebagai Arah Pemerintahan di Daerah
Sesuai
dengan Tap MPR Nomor XI tahun 1998 serta UU Nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, maka ditetapkan
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Dalam
penerapan asas tersebut untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
bersih dan bebas dari KKN, maka asas-asas tersebut merupakan acuan dalam
penyusunan Perda sebagai peraturan pelaksanaannya di daerah.
Fungsi penganggaran
merupakan salah satu fungsi DPRD yang diwujudkan dengan menyusun dan
menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bersama-sama
pemerintah daerah. Dalam melaksanakan fungsi penganggaran tersebut DPRD
harus terlibat secara aktif, proaktif, bukan reaktif, dan bukan hanya
sebagai lembaga legitimasi usulan APBD yang diajukan pemerintah daerah.
Fungsi penganggaran memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena APBD yang dihasilkan oleh fungsi penganggaran DPRD memiliki fungsi sebagai berikut:
- APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal
Sebagai cerminan kebijakan fiskal, APBD memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu:
- Fungsi alokasi
Fungsi
alokasi mengandung arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja/mengurangi pengangguran, mengurangi pemborosan sumber
daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. APBD
harus dialokasikan sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan.
- Fungsi distribusi
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Jika fungsi distribusi APBD berjalan dengan baik, maka APBD dapat mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal.
- Fungsi stabilisasi
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa APBD merupakan alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
- APBD sebagai fungsi investasi daerah
Dalam pandangan manajemen keuangan daerah, APBD merupakan rencana investasi daerah yang dapat meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, APBD harus disusun sebaik mungkin agar dapat menghasilkan efek ganda (multiplier effect) bagi peningkatan daya saing daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan.
- APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah
Sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi sebagai pedoman kerja, alat pengendalian (control), dan alat ukur kinerja bagi pemerintah daerah. Dengan kata lain, dipandang dari sudut fungsi manajemen pemerintah daerah, APBD memiliki fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan. Dalam penjelasan PP Nomor 58/2005, fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan didefinisikan sebagai berikut:
- Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
- Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
- Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Uraian di atas
memberikan gambaran jelas bahwa fungsi penganggaran memiliki peranan
yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Selain itu, fungsi penganggaran
yang baik mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Pengawasan adalah mutlak diperlukan, sebab pengawasan merupakan
salah satu kegiatan dalam rangka upaya pencegahan. Jadi norma pengawasan
harus benar-benar diatur secara rinci, sistematis, dan jelas, baik menyangkut
instansi/pajabat pangawas, obyek pengawasan, prosedur (tata cara), koordinasi,
persyaratan, dan akibat pengawasan.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha ini sekurang-kurangnya meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu:
- Pemantauan penaatan (compliance monitoring).
- Pengamatan dan pemantauan lapangan.
- Evaluasi.
Paling tidak
ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi
daerah menurut Bagir Manan (2002) yaitu hubungan kewenangan, hubungan
keuangan, hubungan pengawasan dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah. Dikaitan dengan topik kajian ini
yang, maka uraian berikut akan lebih menitik beratkan pada hal-hal yang
berkaitan dengan pengawasan.
Hubungan kewenangan,
antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan
atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini
akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat
digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: Pertama, urusan-urusan
rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya
diatur dengan cara tertentu pula. Kedua, sistem supervisi dan
pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan
kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan antara
pusat dan daerah dilakukan sepihak oleh Pusat, sehingga dapat menimbulkan
pengaruh pada keuangan daerah.
UU Nomor 22 Tahun 1999 sangat mengendorkan sistem pengawasan. Dalam Penjelasan Umum angka 10 menyatakan:
“… sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberi kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah.”
Karena itu peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Meniadakan syarat pengesahan (preventief toezicht) dapat menimbulkan masalah hukum yang rumit.