Dimensi paling
inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan
publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan
sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung,
saling menentukan dan saling membentuk.
Dalam bukunya Public Policy, Riant Nugroho (2009, 494-495) memberi makna implementasi kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang”. Ditambahakan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Sekuensi
Implementasi Kebijakan
Implementasi
kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah
yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman
utama adalah konsistensi implementasi.
Pendekatan
dalam implementasi kebijakan publik oleh Peter deLeon dan Linda deLeon
(2001) dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu
pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah
yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Mempergunakan pendekatan
ini, antara lain: Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba (1971,
1979). Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan studi pengambilan
keputusan di sektor publik.
Generasi kedua,
tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi
kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer perspective).
Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan
yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan
pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), dan
Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-upper
yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern
(1982, 1983).
Generasi ketiga,
tahun 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990),
memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksana implementasi
kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada
saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi atau situsional dalam implementasi
kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung
oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang
mengembangkan yang mengembangkan pendekatan ini adalah antara lain Richard
Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik
- Model Van Meter dan Van Horn
Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:
- Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
- Karakteristik agen pelaksana/implementator
- Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
- Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.
- Model Mazmanian dan Sabatier
Model yang
kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
(1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut Model Kerangka
Analisis Implementasi (a framework for implementation analysis).
Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:
- Variabel Independen
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki
- Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publi, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
- Variabel Dependen
Yaitu tahapan
dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang
terdiri dari: pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam
bentuk disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga,
hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir, kelima,
tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan,
baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
- Model Hogwood dan Gunn
Model ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah:
- Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius. Beberapa kendala/hambatan (constraints) pada saat implementasi kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dari badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik maupun politis.
- Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama diatas, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu tinggi
- Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti syarat item kedua artinya disatu pihak harus dijamin tidak ada kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap tahapan proses implementasi perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus dapat disediakan. Dalam prakteknya implementasi program yang memerlukan perpaduan antara dana, tenaga kerja dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan program harus dapat disiapkan secara serentak, namun ternyata ada salah satu komponen tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaannya sehingga berakibat program tersebut tertunda pelaksanaannya.
- Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplemetasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi kebijakan itu sendiri memang jelek. Penyebabnya karena kebijakan itu didasari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadahi mengenahi persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahanya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut.
- Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada kebanyakan program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih komplek dari pada sekedar hubungan antara dua variabel yang memiliki hubungan kausalitas. Kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan sebab-akibat tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin kompleks implementasinya. Dengan kata lain semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
- Hubungan saling ketergantungan harus kecil. Implemetasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal dalam melaksanakan misi tidak tergantung badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan rangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah aktor/pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.
- Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai dan dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu harus dirumuskan dengan jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan, dan disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi. Namun berbagai penelitian telah mengungkap bahwa dalam prakteknya tujuan yang akan dicapai dari program sukar diidentifikasikan. Kemungkinan menimbulkan konflik yang tajam atau kebingungan, khususnya oleh kelompok profesional atau kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam program lebih mementingkan tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan resmi kerap kali tidak dipahami dengan baik, mungkin karena komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat awal tujuan dipahami dan disepakati namun tidak ada jaminan kondisi ini dapat terpelihara selama pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan itu cenderung mudah berubah, diperluas dan diselewengkan.
- Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan program menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam urutan-uruan yangbtepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap bagian yang terlibat. Kesulitan untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Untuk mengendalikan program dengan baik dapat dilakukan dengan teknologi seperti Network planning dan contrrol.
- Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan ordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Pada kebanyakan organiasi yang memiliki ciri-ciri departemenisasi, profesionalisasi, dan bermacam kegiatan kelompok yang melindungi nilai-nilai dan kepentingan kelompok hampir tidak ada koordinasi yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses implementasi karena data, syaran dan perintah-perintah dapat dimengerti sesuai dengan apa yang dikehendaki.
- Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa harus ada ketundukan yang penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya. Persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus juga yang memiliki kekuasan dan mampu menjamin adanya kepatuhan sikap secara menyeluruh dari pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun luar organisasi. Dalam kenyataan dimungkinkan adanya kompartemenisasi dan diantara badan yang satu dengan yang lain mungkin terdapat konflik kepentingan.
- Model Goggin
Malcolm Goggin,
Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai
“communication model” untuk implementasi kebijakan yang disebutnya
sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan” (1990). Goggin
dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan
yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian
dengan adanya variabel independen, intervening, dan
dependen, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi
kebijakan.
- Model Grindle
Model ke-empat adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya).
Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
- Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).
- Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
- Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
- Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
- Para pelaksana program (program implementators).
- Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:
- Kekuasaan (power).
- Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).
- Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics).
- Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).
- Model Elmore, dkk
Model kelima
adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971),
dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981). Model ini dimulai dari
mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan
dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak
yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan
publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi
kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di
tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai
dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya,
dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya.
Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
- Model Edward
George Edward
III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah
lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective
implementation the decission of policymakers will not be carried out
successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok
agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication,
resource, disposition or attitudes,
dan beureucratic structures.
Komunikasi
berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi
dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan,
sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi
pelaksana kebijakan.
Resources
berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber
daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan
publik untuk carry out kebijakan secara efektif.
Disposition
berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out
kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan
dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.
Struktur birokrasi
berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara
implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak
terjadi beureucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan
proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi
inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan
kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.
- Model Nakamura dan Smallwood
Model Nakamura
dan Smallwood mengambarkan proses implementasi kebijakan secara detail.
Begitu detailnya, sehingga model ini relatif relevan diimplementasikan
pada semua kebijakan. Tabel di bawah ini menjelaskan keterkaitan antara
pembentukan kebijakan dan implementasi kebijakan secara praktikal.
Model Implementasi Kebijakan
Nakamura dan Smallwood
- Model Jaringan
Model ini memehami
bahwa proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction
processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu
jaringan (network) aktor-aktor yang independen. Interaksi di
antara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan menentukan bagaimana
implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus
dikedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian penting
di dalamnya.
Pemahaman ini
antara lain dikembangkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh tiga orang
ilmuwan Belanda, yaitu Walter Kickert, Erik Hans Klijn, dan Joop Koppenjan,
Managing Complex Networks: Strategies for the Public Sector (1997).
Pada model ini, semua aktor dalam jaringan relatif otonom, artinya mempunyai
tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak ada
aktor yang menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/ atau
kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral jaringan menjadi
penentu implementasi kebijakan dan keberhasilannya.
- Model Matland
Richard Matland
(1995) mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks
Ambiguitas-Konflik yang menjelaskan bahwa implementasi secara admiministratif
adalah implementasi yang dilakukan dalam keseharian operasi birokrasi
pemerintahan. Kebijakan di sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan
yang rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah
implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena, walaupun
ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi. Implementasi secara
eksperimen dilakukan pada kebijakan yang mendua, namun tingkat konfilknya
rendah. Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai
ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi. Pemikiran Matland dikembangkan
lebih rinci sebagai berikut:
Matriks Matland
Pada prinsispnya matrik matland memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implemenatasi kebijakan, yaitu:
- Ketepatan Kebijakan
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:
- Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excelent is the policy.
- Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan.
- Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan.
- Ketepatan Pelaksanaan
Aktor implementasi
kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa menjadi
pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta,
atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization
atau contracting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat monopoli,
seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan
yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, sebaiknya diselenggarakan
oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan masyarakat, seperti
penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama
masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan kegiatan masyarakat,
seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau di mana pemerintah
tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri
berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya diserahkan
kepada masyarakat
- Ketepatan Target
Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
- Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain.
- Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak.
- Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
- Ketepatan Lingkungan
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
- Lingkungan Kebijakan
Yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga yang terkait. Donald J. Calista menyebutnya sebagai sebagai variabel endogen, yaitu authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
- Lingkungan Eksternal Kebijakan
Lingkungan
ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang terdiri dari
atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan
implementasi kebijakan, interpretive instutions yang berkenaan
dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti
media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan
kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals, yakni
individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam
menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke-empat “tepat” tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan, yaitu:
- Dukungan politik;
- Dukungan strategik; dan
- Dukungan teknis.
Selain tiga
dukungan di atas, penelitian ataupun analisis tentang implementasi kebijakan
sebaiknya juga menggunakan model implementasi sesuai dengan isu kebijakannya,
sebagaimana yang digambarkan Matland berikut ini:
Ambiguitas
Matland