Menurut Fadilah
Putra (2001), kebijakan publik adalah sesuatu yang dinamis dan kompleks
bukannya sesuatu yang kaku dan didominasi oleh para pemegang kekuasaan
formal semata, namun kebijakan publik kembali ke makna dasar demokratiknya,
yaitu kebijakan yang dari, oleh dan untuk publik (rakyat).
Sejak lahirnya
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang
Nomor 33 tahun 2004, yang disempurnakan dengan Undang-Undang proses
desentralisasi menghendaki kekuasaan terdistribusi hingga ke lapisan
bawah di masyarakat. Menurut Sudantoko (2003) Desentralisasi menjanjikan
banyak hal bagi kemanfaatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat di
tingkat lokal.
Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik yang sesuai dengan makna dasarnya yakni dari, oleh
dan untuk rakyat diperlukan implementasi yang sesuai dengan keadaan
masyarakat setempat melalui desentralisasi yang diwujudkan perannya
oleh pemerintah daerah yang dianggap lebih mengenal dan lebih dekat
dengan masyarakat lokal.
Menurut Undang-Undang
Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun
1999, pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah
tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak menguasai
dengan penuh, namun hanya sebatas memberi arahan, memantau, mengawasi
dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian setiap
kebijakan nasional harus diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Implementasi
tidak hanya dalam bentuk menterjemahkan kebijakan dalam suatu pedoman
teknis, tetapi juga dengan memperhatikan berbagai faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Agar pemerintah
daerah dapat mengimplementasikan Kebijakan nasional diperlukan pemahaman
terhadap isu strategis yang hendak diaturnya, hal ini terkait dengan
persepsi dari aparat pemerintah daerah terhadap isu strategis tersebut.
Tentang persoalan pemahaman pemerintah daerah atau dikenal dengan persepsi
sebenarnya merupakan bidang psikologis yang memiliki dimensi kerumitan
tinggi. Pembongkaran kerumitan variabel psikologis berkaitan dengan
persepsi, sebagaimana sikap dan kepribadian, merupakan pekerjaan yang
berat dan besar. Persepsi yang sederhananya dimengerti sebagai ”proses
kognitif seseorang untuk menafsirkan dan memahami lingkungannya” pada
intinya merupakan bagian dari tafsiran pribadi. Oleh karena itu individu
yang berbeda akan memberi makna berbeda terhadap obyek yang sama.
Karena persepsi
yang berkaitan erat dengan kognisi atau pengetahuan, maka pengalaman
individu akan memegang peran penting dalam proses penafsiran obyek.
Secara simultan, persepsi akan mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian
stimulus, dan penafsiran stimulus, yang pada akirnya mempengaruhi perilaku
dan pembentukan sikap seseorang. Adanya potensi ketidakseimbangan antara
cakupan persepsi tersebut, maka tidak mengherankan apabila sering muncul
kesalahan seseorang dalam mempersepsikan obyek tertentu. Individu cenderung
menginterpretasikan obyek sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson Ivancevich
Donnelly, 1895: 58-61).
Persepsi demikian penting dan memiliki relevansi mendasar dalam kaitannya dengan perilaku organisasi, sebagaimana organisasi pemerintah daerah. Namun demikian yang pertama perlu difahami tentang persepsi adalah, bahwa persepsi tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa adanya keterjalinan dengan komunikasi. Dengan demikian antara persepsi dan komunikasi terjalin suatu interdependensi yang kuat. Agar lebih jelas perlu dikemukakan terlebih dahulu makna persepsi dan komunikasi sebagai berikut:
Persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan berita atau informasi dari seseorang ke orang lain.
Persepsi pada
dasarnya terbentuk karena adanya kolaborasi antara faktor internal dan
eksternal. Faktor internal merupakan proses pemahaman didalam sistem
nilai, tujuan, kepercayaan dan penilaian atas hasil yang dicapai. Sedangkan
faktor eksternal berarti lingkungan yang mempengaruhi. Kolaborasi antara
faktor internal dan eksternal yang pada gilirannya melahirkan persepsi,
hanya dapat mungkin berlangsung dalam suatu proses yang dinamakan komunikasi.
Demikian pula sebaliknya, suatu komunikasi hanya mungkin berlangsung
berdasarkan suatu persepsi dari orang-orang yang terlibat (Miftah Thoha,
1983: 145)
Berdasarkan
pemahaman tersebut ternyatalah bahwa persepsi sebenarnya merupakan suatu
kegiatan interpretatif terhadap situasi sehingga tidak dapat dikatakan
sebagai kebenaran atas situasi. Sebagai suatu proses yang sangat kompleks,
persepsi dapat menghasilkan suatu kesimpulan atas suatu realitas yang
kemungkinan sangat berbeda dengan realitas yang sesungguhnya. Meskipun
persepsi sangat tergantung pada penginderaan sebagaimana dipahami dalam
batasan persepsi, namun persepsi tidak sama dengan penginderaan. Proses
persepsi lebih luas dan rumit dibanding penginderaan, karena persepsi
secara kognitif dapat melakukan aktivitas seleksi, penyusunan, penyederhanaan,
pengubahan dan penafsiran terhadap data. Atau dengan kata lain melalui
proses persepsi, maka proses penginderaan dapat dimanipulasi dalam bentuk
penambahan-penambahan ataupun pengurangan-pengurangan (Miftah Thoha,
2004: 159).
Pada sisi lain,
persepsi juga berkaitan langsung dengan motivasi. Persepsi yang merupakan
suatu kesadaran kognitif, merupakan penilaian umpan balik dari kenyataan
lingkungan yang dialaminya dan rangsangan yang diterima. Setelah persepsi
terjadi, maka reaksi selanjutnya adalah motivasi untuk betingkah laku
(Cushway, 1993). Motivasi menguraikan cara individu berperilaku sebagai
reaksi dari adanya persepsi, dengan terlebih dahulu melibatkan tahapan
negosiasi (Shortell, 1988). Kemampuan pemimpin dalam memberikan motivasi
kepada bawahan secara efektif, sangat memerlukan komunikasi yang baik.
Pimpinan harus memiliki kemampuan untuk menjalankan kerjasama dan menyesuaikan
antara kebutuhan staf dan tugas organisasi. Berbagai teori dikemukakan
para ahli tentang cara melakukan motivasi (Burges, 1988). Dalam permasalahan
organisaasi, perilaku ini sangat dipengaruhi oleh tujuan, visi, misi,
panutan, tanggung jawab, batas waktu, dan komunikasi. Selain itu, perilaku
akan dipermudah oleh sumber daya yang dimiliki, baik alat, dana, informasi,
personil, waktu, dan kewenangan (Cushway, 1993).
Jelaslah bahwa
persepsi seorang manajer terhadap perubahan organisasi maupun tugas
yang harus dilakukan seorang manajer adalah menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang dihadapi agar mendapatkan kesamaan persepsi terhadap
tujuan, misi, dan tanggung jawab, serta organisasi yang dipimpinnya,
sehingga organisasi dapat mencapai tujuan dan misinya dengan baik, efisien,
dan efektif (Cushway, 1993). Kesamaan persepsi akan mendorong terbentuknya
motivasi yang mendukung makna dari perubahan-perubahan yang terjadi,
dengan kata lain bahwa kesamaan persepsi akan mendorong terciptanya
motivasi bagi pelaksanaan pencapaian tujuan dan misi yang dihadapinya.
Dengan motivasi, maka perilaku yang diinginkan akan menjadi faktor yang
menentukan tercapainya tujuan organisasi.
Faktor internal
yang yang menonjol mempengaruhi terjadinya persepsi antara lain proses
belajar, motivasi, dan kepribadian. Sedangkan faktor ekternal terdiri
atas intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan, dan gerakan. Pengorganisasian
atas faktor internal dan ekternal tersebut dapat melahirkan suatu pengertian
dalam bentuk: kesamaan dan ketidaksamaan, kedekatan dalam ruang, dan
kedekatan dalam waktu. Pengorganisasian dalam bentuk kesamaan dan ketidaksamaan
akan mempersepsikan obyek sebagai berhubungan dan tidak berhubungan.
Pengorganisasian bentuk kedekatan dalam ruang akan mempersepsikan obyek
sebagai berhubungan. Pengorganisasian bentuk kedekatan dalam waktu akan
mempersepsikan obyek sebagai berhubungan.
Pada akhirnya
yang penting dipahami dalam kaitannya dengan perilaku organisasi adalah
konsep persepsi sosial. Persepsi sosial mengandung makna berhubungan
langsung dengan pemahaman individual terhadap pihak lain. Didalam persepsi
sosial akan terjadi pelibatan antara pihak penilai dan pihak dinilai
yang memiliki karakteristik masing-masing. Karakter pihak penilai antara
lain: mengetahui karakter diri sendiri, karakter diri sendiri seolah
dapat mempengaruhi karakter pihak lain, aspek menyenangkan dari pihak
lain seolah mampu dilihat oleh diri sendiri, dan ketepatan dalam menilai
orang lain bukan merupakan kecakapan yang berdiri sendiri. Sedangkan
karakter pihak dinilai antara lain: status pihak dinilai mempengaruhi
persepsi penilai, pihak dinilai ditempatkan dalam kategori tertentu,
Sifat atau perangai pihak dinilai mempengaruhi persepsi penilai.
Persepsi dalam manajemen pemerintah daerah, secara umum diartikan sebagai respon pemerintah daerah terhadap perubahan yang terjadi, dan hal ini tergantung pada perhatian dan kebutuhan-kebutuhan, serta tujuan-tujuan dari manajer itu sendiri (Shortell, 1988). Bagi organisasi pemerintah daerah, pemahaman terhadap perubahan-perubahan yang terjadi tersebut dapat dilakukan melalui empat pendekatan sebagai berikut:
- Melakukan motivasi kepada para anggota, baik perorangan maupun dalam kelompok, untuk menumbuhkan kesamaan persepsi, kebersamaan, mengurangi konflik, meningkatkan semangat kerja, dan menyusun kekuatan yang dimiliki.
- Melakukan penguasaan tehnik operasional dalam rangka mencapai produktivitas, efisiensi, peningkatan mutu, dan orientasi terhadap pelanggan.
- Menyusun kembali bentuk organisasi yang cocok dan sesuai dengan lingkungan kebutuhan, tantangan, maupun peluang yang dihadapi.
- Memiliki wawasan jauh ke depan, dan mengembangkan pola pikir strategi, pro-aktif, kreatif dalam menyongsong masa depannya (Shortell, 1988).
Konstruksi
tentang persepsi sebagaimana terurai di atas, pada akhirnya harus menyadari
pentingnya pemahaman atas ”persepsi sosial” dan ”persepsi selektif”
Kepentingan pemahaman terhadap persepsi sosial dikarenakan kita hidup
dalam suatu organisasi, sedangkan kepentingan pemahaman terhadap persepsi
selektif karena kita harus mampu bersikap kritis terhadap besarnya informasi
dan data yang masuk. Persepsi sosial dan persepsi selektif lebihlanjut
dapat diuraikan lebih lanjut.
Persepsi sosial secara umum dapat dibagi dalam tiga aspek, yaitu aspek atribusi, stereotype dan hallo effect.
- Aspek Atribusi: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan obyek dalam kondisi sebab akibat. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat yang cenderung lunak terhadap wanita, dikarenakan semua anaknya adalah wanita.
- Aspek Stereotype: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan obyek dalam kondisi beberapa kategori. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat dilihat dari kategori suku, akan menghasilkan interpretasi bahwa pejabat dari suku batak dinilai kasar dan pejabat dari suku sunda dinilai lebih halus. Namun jika dilihat dari kategori ketegasan, akan menghasilkan interpretasi bahwa pejabat dari suku batak dinilai lebih tegas.
- Aspek Hallo Effect: merupakan aspek dalam persepsi sosial yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan sifat tunggal saja. Contoh: Persepsi seseorang terhadap perilaku pejabat dilihat hanya dari sifat rajinnya saja, sehingga sifat-sifat lain tidak diperhitungkan.
Sebagaimana didalam persepsi sosial, maka didalam persepsi selektif terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan, antara lain adalah aspek karakteristik, situasi, kebutuhan, dan emosi.
- Aspek Karakteristik: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria diri sendiri. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sangat kritis, cenderung akan memiliki persepsi mitra kerjanya juga memiliki sikap kritis.
- Aspek Situasi: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria situasi. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang terdesak waktu untuk menyelesaikan tugas, cenderung akan memiliki persepsi yang dipengaruhi oleh keterbatasan waktu sehingga terkadang berpotensi mengabaikan beberapa prosedur yang biasanya dilakukan.
- Aspek Kebutuhan: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria kebutuhan. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang membutuhkan data pembanding untuk menyelesaikan tugas, cenderung akan memiliki persepsi ang dipengaruhi oleh kebutuhan akan data tersebut sehingga berpotensi kurang teliti dalam penggunaan data.
- Aspek Emosi: merupakan aspek dalam persepsi selektif yang cenderung menginterpretasikan obyek berdasarkan kriteria emosi. Contoh: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sedang dalam kondisi emosional oleh suatu sebab, cenderung akan memiliki persepsi bahwa peraturan organisasi yang ada sangat buruk.