Minggu, 04 April 2010

Data, Fakta dan Isu Kebijakan Akuntansi dan Penyusunan Laporan Keuangan Sektor Publik

Dalam sektor komersial maupun pemerintahan terdapat empat jenis opini audit laporan keuangan, yang masing-masing memiliki arti dan indikator berbeda. Pertama, opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), adalah opini audit yang akan diterbitkan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material. Kedua, opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), adalah opini audit yang diterbitkan jika sebagian besar informasi dalam laporan keuangan bebas dari salah saji material, kecuali untuk rekening atau item tertentu yang menjadi pengecualian. Ketiga, opini tidak wajar (adverse opinion), adalah opini audit yang diterbitkan jika laporan keuangan mengandung salah saji material, atau dengan kata lain laporan keuangan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Keempat, tidak memberikan pendapat (disclaimer).

 

Sebagian akuntan menganggap disclaimer bukanlah opini, dengan asumsi jika auditor menolak memberikan pendapat artinya tidak ada opini yang diberikan. Opini ini bisa diterbitkan jika auditor menganggap ada ruang lingkup audit yang dibatasi secara material oleh perusahaan/pemerintah yang diaudit, misalnya auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti audit yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan pendapat.

 

Sudah lima tahun berturut-turut yakni sejak 2004 sampai dengan 2008, BPK memberikan opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Walaupun bukan satu-satunya indikator penilaian, namun harus dicatat, bahwa salah satu faktor yang menjadi perhatian utama investor di pasar modal sebelum berinvestasi adalah laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit dan diterbitkan opini audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Investor sangat bergantung pada opini audit dalam pengambilan keputusan investasi. Begitu juga dengan pemerintah, setiap tahun LKPP diaudit oleh BPK yang kemudian juga diterbitkan opini audit atas LKPP.

 

Ketua BPK Hadi Purnomo sebagaimana ditulis dalam http://www.kompas.com dalam beritanya pada tanggal 10 Juni 2009 yang diberi tajuk “Laporan Keuangan Pemerintah Disclaimer 5 Tahun Berturut-turut” mengakui saat audit LKPP menemukan tiga bidang kelemahan, yakni 1) sistem pengendalian intern atas penyajian LKPP, ketidak-patuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan pemerintah belum menindak lanjuti hasil pemeriksaan BPK 2004-2007.

 

Opini disclaimer BPK pada LKKP sudah barang tentu mencakup atau menggambarkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Sebab, materi LKPP pun memuat pemanfaatan dan pengelolaan anggaran pembangunan di masing-masing daerah, dari provinsi hingga kabupaten. Kalau selama lima tahun terakhir LKPP jauh dari memuaskan, selama rentang waktu itu pula LKPD menyimpan masalah. Gambaran tentang LKPD ikut merefleksikan kualitas dan arah pembangunan daerah. Aspek inilah yang mestinya diperhitungkan pemerintah pusat, DPR serta DPD.

 

Bahwa pemanfaatan anggaran yang dialokasikan dan ditransfer ke pemerintah daerah masih jauh dari efektif tercermin pada isu tentang penempatan dana daerah di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana dari pusat yang ditransfer ke daerah itu tidak segera dimanfaatkan untuk membiayai atau merealisasikan proyek di daerah bersangkutan, tetapi ditempatkan di SBI untuk mendapatkan bunga. Saat ini jumlah dana daerah di SBI cenderung terus membesar. Publik belum tahu bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dan pengawasan atas masalah ini, terutama penggunaan atas bunga yang didapat dari penempatan di SBI itu. Apakah pengelolaan bunga dari SBI, serta pemanfaatannya, masuk dalam LKPD?

 

Sumber masalah ini, tidak seluruhnya dari daerah. Pemerintah pusat pun punya andil. Kalau disiplin anggaran dilaksanakan secara konsisten, kualitas LKPD maupun LKPP pasti akan membaik secara bertahap. Artinya, penegakan disiplin pengelolaan keuangan di pusat dan daerah harus dilaksanakan secara serentak. Kalau pusatnya konsisten dan tanpa kompromi, daerah pasti tak berani neko-neko. Kalau pusatnya kompromistis, daerah akan terangsang untuk melanggar prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran pembangunan.

 

Jika pemda tidak bisa mengelola dan memanfaatkan anggaran pembangunannya dengan efektif dan tepat sasaran, pusat harusnya tegas. Mintakan pertanggungjawabannya. Kalau daerah gagal membuat pertanggungjawaban, pusat harus memberi ganjaran. Misalnya, tidak begitu saja menyetujui semua usulan proyek baru yang digagas pemda untuk tahun anggaran berikutnya. Pemerintah dan DPR pun sudah sepantasnya mulai meragukan kapabilitas pemda jika terus-menerus menempatkan anggaran pembangunan di SBI.

 

Semenjak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, otonomi daerah tidak lagi menjadi semu. Dengan otonomi ini maka daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengurus rumah-tangga nya sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Namun dengan demikian bukan berarti pemerintah daerah dapat menggunakan sumber-sumber daerahnya dengan sewenang-wenang karena hak dan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah pada hakekatnya adalah merupakan amanah yang harus dipertanggung-jawaban secara akuntabel dan transparan baik kepada masyarakat di daerah maupun pemerintah pusat.

 

Otonomi daerah juga diikuti oleh reformasi di bidang keuangan negara dengan di tetapkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, sehingga pemerintah daerah mempunyai landasan hukum yang memadai dan andal untuk melakukan reformasi manajemen keuangan daerah. Selanjutnya, dalam tahun 2004 ditetapkan pula Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintahan pusat dan daerah sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.

 

Tidak hanya sampai di situ, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaporan pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk neraca, laporan arus kas, laporan realisasi anggaran dan catatan atas laporan keuanganm yang disusun dan disajikan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah.

 

Standar Akuntansi yang dibangun sebagai upaya menciptakan transparasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, yang ujung-ujungnya adalah opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK. Dalam tataran operasional, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian diperbaiki dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007.

 

Pada Intinya semua peraturan tersebut menginginkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun, hingga kini setelah berlakunya paket kebijakan tersebut, hampir belum ada kemajuan signifikan dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan Negara/Daerah. Dalam siaran persnya tanggal 23 Juni 2008, BPK RI menjelaskan bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dalam tiga tahun terakhir secara umum masih buruk. Kondisi ini semakin memburuk, sebagaimana di ungkapkan dalam siaran pers BPK RI pada tanggal 15 Oktober 2008 yaitu, dilihat dari persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) selama periode 2004-2007 semakin menurun setiap tahunnya. Persentase LKPD yang mendapatkan opini WTP semakin berkurang dari 7% pada tahun 2004 menjadi 5% pada tahun berikutnya dan hanya 1% pada tahun 2006 dan 2007. Sebaliknya, LKPD dengan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) semakin meningkat dari 2% pada tahun 2004 menjadi 17% pada tahun 2007 dan pada periode yang sama opini Tidak Wajar (TW) naik dari 3% menjadi 19%.

 

Untuk laporan keuangan tahun anggaran 2008, dari 293 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), 8 pemda diberikan opini WTP (2,73%), 217 pemda opini WDP (74,06%), 21 pemda opini TW ( 7,16%), dan 47 opini disclaimer atau tidak memberikan pendapat (16,04%). Opini WTP diperoleh kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Muko-muko, Kabupaten Tangerang, Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, Kota Pariaman, dan Kota Tangerang.

 

Khusus kondisi hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK RI pada kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2008 terlihat seperti tabel berikut ini:

 

Ringkasan Opini Hasil Pemeriksaan Atas

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)

Tahun Anggaran 2008

Di Lingkungan Provinsi Jawa Timur

 

No

Entitas

Tanggal Penyerahan Hasil Pemeriksaan

Opini

1

Kabupaten Pacitan

18 Mei 2009

WDP

2

Kabupaten Tuban

13 Mei 2009

WDP

3

Kabupaten Jombang

4 Mei 2009

WDP

4

Kabupaten Bangkalan

18 Mei 2009

WDP

5

Kabuapten Mojokerto

4 Mei 2009

WDP

6

Kabupaten Pasuruan

4 Mei 2009

WDP

7

Kabupaten Bondowoso

18 Mei 2009

WDP

8

Kota Malang

18 Mei 2009

WDP

9

Kabupaten Tulungagung

4 Mei 2009

WDP

10

Kabupaten Malang

15 Juni 2009

WDP

11

Kabupaten Probolinggo

4 Mei 2009

WDP

12

Kabupaten Magetan

18 Mei 2009

WDP

13

Kabupaten Madiun

4 Mei 2009

WDP

14

Kabupaten Ngawi

4 Mei 2009

WDP

15

Kota Probolinggo

18 Mei 2009

WDP

16

Kabupaten Nganjuk

18 Mei 2009

WDP

17

Provinsi Jawa Timur

18 Juni 2009

WDP

18

Kabupaten Situbundo

17 Juni 2009

TW

19

Kabupaten Lumajang

18 Juni 2009

WDP

20

Kabupaten Lamongan

18 Juni 2009

WDP

21

Kota Surabaya

22 Juni 2009

Disclaimer

22

Kabupaten Sampang

22 Juni 2009

TW

23

Kabupaten Gresik

30 Juni 2009

WDP

24

Kabupaten Pamekasan

30 Juni 2009

WDP

25

Kota Madiun

30 Juni 2009

WDP

26

Kota Blitar

30 Juni 2009

WDP

27

Kabupaten Ponorogo

30 Juni 2009

Disclaimer

28

Kabupaten trenggalek

30 Juni 2009

Disclaimer

29

Kota Batu

30 Juni 2009

Disclaimer

30

Kabupaten Pasuruan

30 Juni 2009

Disclaimer

31

Kabupaten Kediri

30 Juni 2009

WDP

32

Kota Kediri

30 Juni 2009

TW

33

Kabupaten Banyuwangi

30 Juni 2008

Disclaimer

34

Kabupaten Blitar

30 Juni 2008

WDP

35

Kabupaten Sumenep

30 Juni 2008

WDP

36

Kabupaten Jember

30 Juni 2008

TW

37

Kabupaten Bojonegoro

30 Juni 2008

TW

38

Kota Mojokerto

30 Juni 2008

WDP

39

Kabupaten Sidoarjo

30 Juni 2008

WDP

Sumber : http://www.docstoc.com

 

Dari laporan hasil pemeriksaan tersebut 28 kabupaten/kota memperoleh opini WDP, 5 kabupaten/kota memperoleh opini TW, dan 6 kabupaten/kota memperoleh opini disclaimer. Memang tidak mudah bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan opini WTP dari tim audit BPK, namun kondisi buruk ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada semangat dari pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas laporan keuangan yang dihasilkan dimasa yang akan datang.