Dimensi paling
inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan
publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan
sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung,
saling menentukan dan saling membentuk.
Dalam bukunya
Public Policy, Riant Nugroho (2009, 494-495) memberi makna implementasi
kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Tidak lebih dan tidak kurang”. Ditambahakan pula, bahwa untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan
derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut:
Sekuensi
Implementasi Kebijakan
Implementasi
kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah
yang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman
utama adalah konsistensi implementasi.
Pendekatan
dalam implementasi kebijakan publik oleh Peter deLeon dan Linda deLeon
(2001) dikelompokkan menjadi tiga generasi. Generasi pertama, yaitu
pada tahun 1970-an, memahami implementasi kebijakan sebagai masalah-masalah
yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya. Mempergunakan pendekatan
ini, antara lain: Graham T. Allison dengan studi kasus misil kuba (1971,
1979). Pada generasi ini implementasi kebijakan berhimpitan studi pengambilan
keputusan di sektor publik.
Generasi kedua,
tahun 1980-an, adalah generasi yang mengembangkan pendekatan implementasi
kebijakan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top-downer perspective).
Perspektif ini lebih fokus pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan
yang telah diputuskan secara politik. Para ilmuwan sosial yang mengembangkan
pendekatan ini adalah Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), dan
Paul Berman (1980). Pada saat yang sama, muncul pendekatan bottom-upper
yang dikembangkan oleh Michael Lipsky (1971, 1980), dan Benny Hjern
(1982, 1983).
Generasi ketiga,
tahun 1990-an, dikembangkan oleh ilmuwan sosial Malcolm L. Goggin (1990),
memperkenalkan pemikiran bahwa variabel perilaku aktor pelaksana implementasi
kebijakan lebih menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pada
saat yang sama, muncul pendekatan kontijensi atau situsional dalam implementasi
kebijakan yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung
oleh adaptabilitas implementasi kebijakan tersebut. Para ilmuwan yang
mengembangkan yang mengembangkan pendekatan ini adalah antara lain Richard
Matland (1995), Helen Ingram (1990), dan Denise Scheberle (1997).
Model-Model
Implementasi Kebijakan Publik
- Model Van Meter
dan Van Horn
Model pertama
adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh
Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik,
implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah
variabel berikut:
- Aktivitas implementasi
dan komunikasi antar organisasi
- Karakteristik agen
pelaksana/implementator
- Kondisi ekonomi,
sosial, dan politik
- Kecenderungan (disposition)
pelaksana/implementor.
- Model
Mazmanian dan Sabatier
Model yang
kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
(1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut Model Kerangka
Analisis Implementasi (a framework for implementation analysis).
Mazmanian-Sabatier
mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel,
yaitu:
- Variabel Independen
Mudah-tidaknya
masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan
teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang
dikehendaki
- Variabel Intervening
Diartikan
sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi
dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori
kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara
lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan
pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel
di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan
dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publi,
sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta
komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
- Variabel Dependen
Yaitu tahapan
dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang
terdiri dari: pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam
bentuk disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga,
hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir, kelima,
tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan,
baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
- Model Hogwood
dan Gunn
Model ketiga
adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa
persayaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah:
- Kondisi eksternal
yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala
yang serius. Beberapa kendala/hambatan (constraints) pada saat implementasi
kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab
hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dari
badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat
fisik maupun politis.
- Untuk pelaksanaan
program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat kedua
ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama diatas, dalam pengertian
bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal.
Kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu
bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut
kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu tinggi
- Perpaduan sumber-sumber
yang diperlukan benar-benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti syarat
item kedua artinya disatu pihak harus dijamin tidak ada kendala-kendala
pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap tahapan
proses implementasi perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus
dapat disediakan. Dalam prakteknya implementasi program yang memerlukan
perpaduan antara dana, tenaga kerja dan peralatan yang diperlukan untuk
melaksanakan program harus dapat disiapkan secara serentak, namun ternyata
ada salah satu komponen tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaannya
sehingga berakibat program tersebut tertunda pelaksanaannya.
- Kebijakan yang akan
diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.
Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplemetasikan secara efektif bukan
lantaran ia telah diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi kebijakan
itu sendiri memang jelek. Penyebabnya karena kebijakan itu didasari
oleh tingkat pemahaman yang tidak memadahi mengenahi persoalan yang
akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahanya,
atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat
permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang
tersebut.
- Hubungan kausalitas
bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada
kebanyakan program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan
jauh lebih komplek dari pada sekedar hubungan antara dua variabel yang
memiliki hubungan kausalitas. Kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan
sebab-akibat tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan
mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai
kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai
penghubungnya dan semakin kompleks implementasinya. Dengan kata lain
semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko
bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat
dilaksanakan dengan baik.
- Hubungan saling
ketergantungan harus kecil. Implemetasi yang sempurna menuntut adanya
persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal dalam melaksanakan
misi tidak tergantung badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada ketergantungan
dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal,
baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi
suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan rangkaian tahapan dan
jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen
terhadap setiap tahapan diantara sejumlah aktor/pelaku yang terlibat,
maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir
yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.
- Pemahaman yang mendalam
dan kesepakatan terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan adanya
pemahaman yang menyeluruh mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang
akan dicapai dan dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu
harus dirumuskan dengan jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan,
dan disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi. Namun
berbagai penelitian telah mengungkap bahwa dalam prakteknya tujuan yang
akan dicapai dari program sukar diidentifikasikan. Kemungkinan menimbulkan
konflik yang tajam atau kebingungan, khususnya oleh kelompok profesional
atau kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam program lebih mementingkan
tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan resmi kerap kali tidak dipahami
dengan baik, mungkin karena komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya
tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat awal tujuan dipahami
dan disepakati namun tidak ada jaminan kondisi ini dapat terpelihara
selama pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan itu cenderung mudah
berubah, diperluas dan diselewengkan.
- Tugas-tugas diperinci
dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna
bahwa dalam menjalankan program menuju tercapainya tujuan-tujuan yang
telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam
urutan-uruan yangbtepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap
bagian yang terlibat. Kesulitan untuk mencapai kondisi implementasi
yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Untuk mengendalikan
program dengan baik dapat dilakukan dengan teknologi seperti Network
planning dan contrrol.
- Komunikasi dan koordinasi
yang sempurna. Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan ordinasi
yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam
program. Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai
implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi
tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Pada kebanyakan organiasi
yang memiliki ciri-ciri departemenisasi, profesionalisasi, dan bermacam
kegiatan kelompok yang melindungi nilai-nilai dan kepentingan kelompok
hampir tidak ada koordinasi yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi
memiliki peran yang sangat penting dalam proses implementasi karena
data, syaran dan perintah-perintah dapat dimengerti sesuai dengan apa
yang dikehendaki.
- Pihak-pihak yang
memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan
yang sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa harus ada ketundukan yang penuh
dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya.
Persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus
juga yang memiliki kekuasan dan mampu menjamin adanya kepatuhan sikap
secara menyeluruh dari pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun
luar organisasi. Dalam kenyataan dimungkinkan adanya kompartemenisasi
dan diantara badan yang satu dengan yang lain mungkin terdapat konflik
kepentingan.
- Model Goggin
Malcolm Goggin,
Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai
“communication model” untuk implementasi kebijakan yang disebutnya
sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan” (1990). Goggin
dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan
yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian
dengan adanya variabel independen, intervening, dan
dependen, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi
kebijakan.
- Model Grindle
Model ke-empat
adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan
Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan
proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung
kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain
dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation
(konteks implementasinya).
Isi kebijakan
yang dimaksud meliputi:
- Kepentingan yang
terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).
- Jenis manfaat yang
dihasilkan (tipe of benefit).
- Derajat perubahan
yang diinginkan (extent of change envisioned).
- Kedudukan pembuat
kebijakan (site of decision making).
- Para pelaksana program
(program implementators).
- Sumber daya yang
dikerahkan (Resources commited).
Sedangkan konteks
implementasi yang dimaksud:
- Kekuasaan (power).
- Kepentingan strategi
aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).
- Karakteristik lembaga
dan penguasa (institution and regime characteristics).
- Kepatuhan dan daya
tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).
- Model Elmore,
dkk
Model kelima
adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971),
dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981). Model ini dimulai dari
mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan
dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak
yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan
publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi
kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di
tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai
dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya,
dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya.
Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
- Model Edward
George Edward
III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah
lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective
implementation the decission of policymakers will not be carried out
successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok
agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication,
resource, disposition or attitudes,
dan beureucratic structures.
Komunikasi
berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi
dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan,
sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi
pelaksana kebijakan.
Resources
berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber
daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan
publik untuk carry out kebijakan secara efektif.
Disposition
berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out
kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan
dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.
Struktur birokrasi
berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara
implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak
terjadi beureucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan
proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi
inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan
kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.
- Model Nakamura
dan Smallwood
Model Nakamura
dan Smallwood mengambarkan proses implementasi kebijakan secara detail.
Begitu detailnya, sehingga model ini relatif relevan diimplementasikan
pada semua kebijakan. Tabel di bawah ini menjelaskan keterkaitan antara
pembentukan kebijakan dan implementasi kebijakan secara praktikal.
Model Implementasi
Kebijakan
Nakamura
dan Smallwood
- Model Jaringan
Model ini memehami
bahwa proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction
processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu
jaringan (network) aktor-aktor yang independen. Interaksi di
antara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan menentukan bagaimana
implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus
dikedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian penting
di dalamnya.
Pemahaman ini
antara lain dikembangkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh tiga orang
ilmuwan Belanda, yaitu Walter Kickert, Erik Hans Klijn, dan Joop Koppenjan,
Managing Complex Networks: Strategies for the Public Sector (1997).
Pada model ini, semua aktor dalam jaringan relatif otonom, artinya mempunyai
tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak ada
aktor yang menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/ atau
kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral jaringan menjadi
penentu implementasi kebijakan dan keberhasilannya.
- Model
Matland
Richard Matland
(1995) mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks
Ambiguitas-Konflik yang menjelaskan bahwa implementasi secara admiministratif
adalah implementasi yang dilakukan dalam keseharian operasi birokrasi
pemerintahan. Kebijakan di sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan
yang rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah
implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena, walaupun
ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi. Implementasi secara
eksperimen dilakukan pada kebijakan yang mendua, namun tingkat konfilknya
rendah. Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai
ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi. Pemikiran Matland dikembangkan
lebih rinci sebagai berikut:
Matriks Matland
Pada prinsispnya
matrik matland memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam
hal keefektifan implemenatasi kebijakan, yaitu:
- Ketepatan Kebijakan
- Sejauh mana kabijakan
yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang
hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excelent is the policy.
- Apakah kebijakan
tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak
dipecahkan.
- Apakah kebijakan
dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang
sesuai dengan karakter kebijakan.
- Ketepatan Pelaksanaan
Aktor implementasi
kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa menjadi
pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta,
atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization
atau contracting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat monopoli,
seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan
yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, sebaiknya diselenggarakan
oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan masyarakat, seperti
penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama
masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan kegiatan masyarakat,
seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau di mana pemerintah
tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri
berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya diserahkan
kepada masyarakat
- Ketepatan Target
Ketepatan
berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
- Apakah target yang
dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang
tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi
kebijakan lain.
- Apakah targetnya
dalam kondisi siap untuk dintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan saja
dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam
konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung
atau menolak.
- Apakah intervensi
implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan
sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada
prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak
efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
- Ketepatan Lingkungan
Ada dua
lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
- Lingkungan Kebijakan
Yaitu interaksi
antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga
yang terkait. Donald J. Calista menyebutnya sebagai sebagai variabel
endogen, yaitu authoritative arrangement yang berkenaan dengan
kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network composition
yang berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang
terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, implementation
setting yang berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara otoritas
yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi
kebijakan.
- Lingkungan Eksternal
Kebijakan
Lingkungan
ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang terdiri dari
atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan
implementasi kebijakan, interpretive instutions yang berkenaan
dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti
media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan
kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals, yakni
individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam
menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke-empat “tepat”
tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan, yaitu:
- Dukungan politik;
- Dukungan strategik;
dan
- Dukungan teknis.
Selain tiga
dukungan di atas, penelitian ataupun analisis tentang implementasi kebijakan
sebaiknya juga menggunakan model implementasi sesuai dengan isu kebijakannya,
sebagaimana yang digambarkan Matland berikut ini:
Ambiguitas
Matland