Perencanaan
advokasi meragukan bahwa ada satu saja “kepentingan umum” bersama.
Paul Davidoff dalam Junaedi (2000:6) mengkiritik bahwa perencanaan yang
mengaku mampu merumuskan satu versi kepentingan umum berarti memonopoli
kekuatan/kewenangan perencanaan dan tidak mendorong adanya partisipasi.
Menurut penulis tersebut, bila perencanaan bersifat inklusif, maka sebuah
lembaga tidak akan dapat mewadahi kepentingan masyarakat yang beragam
dan saling konflik.
Sebaliknya,
perencanaan haruslah dapat mendorong pluralisme yang berimbang dengan
cara mengadvokasi (“memberi hak bersuara”) pihak-pihak yang tidak
mampu menyalurkan aspirasinya. Perencanaan tradisional menghambat tumbuhnya
pluralisme yang efektif, karena: (1) komisi perencanaan (semacam Bappeda)
tidak demokratis dan kurang sekali mewakili kepentingan yang saling
bersaing dalam masyarakat yang beragam (plural), dan (2) perencanaan
kota tradisional berfokus pada aspek fisik yang terpisah dengan aspek
sosial, sehingga mengabaikan kenyataan adanya konflik sosial dan ketidakadilan
di kota.
Karena tidak percaya adanya satu kepentingan umum, yang berarti juga tidak percaya adanya satu rencana yang dapat disepakati bersama, maka menurut perencanaan advokasi, tiap kelompok masyarakat dapat mempunyai rencananya sendiri. Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mewadahi kepentingan yang plural di masyarakat.