Pelaksanakan
otonomi daerah sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pemberian otonomi daerah
kepada daerah atas dasar desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab. Salah satu syarat yang diperlukan untuk
melaksanakan kewenangan atas dasar desentralisasi adalah tersedianya
sumber-sumber pembiayaan.
Pemberian otonomi
luas pada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi keanekaraganam daerah
dalam sistem Negara Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, serta potensi dan
keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan
dan keragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan
keuangan, pelayanan umum dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara
adil dan selaras (Darise, 2006:14).
Penyelenggaraan
fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan
urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan
yang cukup pada daerah, dengan mengacu kepada Undang-undang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai mana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Dimana besarnya disesuaikan
dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat
dan daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintahan
yang diserahkan pada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Perspektif
kedepan dari sistem keuangan daerah adalah mewujudkan sistem perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian
tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat
dan daerah yang transparan, memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat
serta tanggung jawab kapada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar
daerah dalam kemampuanya untuk membiayai otonominya dan memberi kepastian
sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.
Pengembangan daerah otonom di Indonesia maka pemerintah daerah perlu menggali potensi daerah sesuai dengan penerapan otonomi daerah. Daerah otonom berwenang untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sesuai dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Dalam mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri daerah memerlukan biaya yang besar untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Oleh karenanya daerah diberi hak dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerahnya. Hal ini sesuai dengan kententuan pasal 157 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang mengatur sumber-sumber pendapatan daerah yang terdiri atas:
- Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
- Dana perimbangan
- Lain-lain pendapatan daerah yang sah. (Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah)
Beberapa pemerintah
daerah masih memprioritaskan mencari sumber penghasilan untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah, namun kurang mengoptimalkan sumber yang sudah
ada. Tindakan tersebut didapat dengan cara mengoptimalkan pengelolaan
aset milik pemerintah daerah. Lemahnya pengelolaan aset daerah tak hanya
terbengkalainya aset-aset milik pemerintah daerah lebih dari itu cenderung
membebankan anggaran yang ditetapkan dalam APBD.
Perubahan paradigma
baru pengelolaan barang milik negara/daerah yang ditandai dengan dikeluarkannya
PP No. 6 /2006 yang merupakan peraturan turunan UU No. 1 /2004 tentang
Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best practices
dalam penataan dan pengelolaan aset daerah yang lebih tertib, akuntabel,
dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset daerah yang professional
dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan
akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan daerah dari
masyarakat/stake-holder.
Pengelolaan
aset daerah dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (2) PP
No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju
berfikir dalam menangani aset daerah, dengan bagaimana meningkatkan
efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola
aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset daerah mencakup perencanaan
kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan
dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan; penatausahaan;
pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus
logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya
penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih
luas (keuangan negara).
Dewasa ini
muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD). Permasalahan-permasalahan tersebut
antara lain yaitu terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundang-undangan
di bidang BMD, antara lain Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah,
Permen Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN, dan
PMK nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN. Namun, pada dasarnya terdapat
ciri yang menonjol dari produk-produk hukum tersebut yaitu meletakkan
landasan hukum dalam bidang administrasi keuangan negara dan melakukan
pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dan
pemegang kewenangan perbendaharaan. Selain itu, sejalan dengan kebijakan
nasional yaitu adanya otonomi daerah serta bergulirnya perubahan struktur
organisasi yang memunculkan penghapusan suatu satuan unit kerja daerah
di satu sisi dan pendirian satuan unit kerja daerah pada sisi yang lain
membawa implikasi adanya mutasi barang milik daerah.
Sebagai tambahan,
khusus untuk pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) telah dikeluarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Dimana Permendagri tersebut
dikeluarkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 Ayat (3), PP Nomor
6 Tahun 2006 yang berbunyi : “Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan
teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai
dengan kebijakan sebagaimana ayat (1) “. Menurut Ketentuan Pasal 2
Permendagri tersebut Pengelolaan BMD merupakan bagian dari pengelolaan
keuangan daerah yang dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan Barang
Milik Negara.
Visi pengelolaan
aset negara kedepan adalah menjadi the best state asset management on
the world. Tidak sekedar bersifat teknis administratif semata, melainkan
sudah bergeser ke arah bagaimana berpikir layaknya seorang manajer aset
yang harus mampu merumuskan kebutuhan barang milik daerah secara akurat
dan pasti, serta meningkatkan faedah dan nilai dari aset negara tersebut.Tantangan
untuk mewujudkan visi tersebut tidaklah ringan, perlu kerja keras dari
semua pihak mengingat problematika di seputar pengelolaan aset negara
sekarang ini begitu kompleks. Oleh karena itu, pengelolaan aset daerah
harus ditangani oleh SDM yang profesional dan handal, dan mengerti tata
peraturan perundangan yang mengatur aset daerah.
Jumlah, nilai
(value), dan potensi kekayaan/aset daerah yang begitu besar dirasakan
masih belum dapat mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran,
dan efektivitas pengelolaan kekayaan/aset negara. Hal ini dapat disebabkan
oleh: 1) keberagaman kekayaan/aset daerah secara jenis dan letak geografis,
2) adanya keragaman kepentingan (interest) yang melekat, 3) adanya pihak
yang secara langsung atau tidak langsung menguasai, 4) inefisiensi alokasi,
5) belum adanya unifikasi regulasi, 6) koordinasi dan pengawasan lemah,
dan 7) yang sangat penting yaitu belum terwujudnya basis data (data
base) dalam suatu sistem informasi modern terintegrasi sehingga tidak
diketahuinya secara pasti dan real-time berapa jumlah, nilai, dan potensi
serta bagaiman pola penggunaan tertinggi dan terbaiknya (highest and
best use). Akumulasi dari hal-hal tersebut melahirkan kompleksitas dan
kerap tumpah tindih dalam pelaksanaan dan penanganan kekayaan daerah
yang pada gilirannya telah dan terus merugikan daerah
Eksistensi
kekayaan daerah sangatlah penting dan memiliki kedudukan yang strategis
dalam rangka mendukung perwujudan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur. Pendataan kekayaan negara secara komprehensif dan akurat di
satu sisi dan pengetahuan tentang nilai terkininya (existing value)
di sisi lain ibarat satu mata uang dengan dua sisi yang merupakan prakondisi
dalam rangka optimalisasi pengelolaan kekayaan daerah. Sampai saat ini,
walaupun relatif telah dilakukan pendataan/inventarisasi, namun masih
sangat terbatas, sehingga memerlukan waktu untuk mewujudkan neraca pemerintah
daerah seperti yang diharapkan. Di beberapa daerah telah mempunyai estimasi
jumlah, nilai, dan potensi kekayaan daerahnya yang tertuang dalam neraca
daerah. Namun elemen-elemen yang tersaji pada neraca-neraca tersebut
masih perlu dipertanyakan apakah telah mencerminkan kondisi faktual
berdasarkan market value.
Berlakunya
Undang-undang (UU) No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
33/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memberikan sebagian
besar kewenangan untuk mengelola potensi dan sumber daya daerah sepenuhnya
kepada daerah dimana dengan kebijakan tersebut diharapkan tercapai optimalisasi
pembangunan daerah sesuai dengan kebijakan yang dilakukan pada masing-masing
daerah. Peran pemerintah pusat harus tetap ada untuk mensinergikan pemanfaatan
dan pengelolaan kekayaan negara demi kepentingan nasional sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 bahwa kekayaan negara/nasional
harus dipergunakan setinggi-tingginya untuk kemakmuran masyarakat dan
bangsa Indonesia. Sehingga pemerintah harus mempunyai blue print strategi
yang jelas dan komprehensif dalam melakukan pengelolaan kekayaan negara
secara langsung dan tidak langsung melalui pembinaan
Pengelolaan
kekayaan daerah merupakan suatu metode/pendekatan komprehensif yang
diperlukan dalam rangka alokasi sumber dana yang tebatas guna optimalisasi
pemanfaatannya bagi masyarakat secara efektif dan efisien. Dalam mengelola
kekayaan daerah, pemerintah telah menerbitkan banyak regulasi terkait,
namun keberadaan peraturan-peraturan tersebut masih tersebat di beberapa
produk hukum yang bervariasi dan relatif belum dapat menjamin pelaksanaan
pengelolaan kekayaan daerah secara komprehensif dan integratif -
Belum lagi
regulasi yang telah ada tersebut lahir pada era yang jelas berbeda dengan
semangat dan paradigma pada hari ini. Urgensi peraturan yang komprehensif
tentang pengelolaan kekayaan negara setingkat undang-undang berikut
peraturan pelaksanaannya dengan paradigma baru, spirit reformasi, serta
menjawab tuntutan stakeholders sudah sangat dibutuhkan demi terciptanya
pola penanganan kekayaan daerah secara lebih terarah dan memberi nilai
tambah.
Kekayaan negara
dalam arti luas dan fleksibel dapat mencakup semua barang serta kekayaan
alam, baik bergerak/tidak bergerak ataupun berwujud/tidak berwujud yang
dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
BUMN/BUMD yang terbatas pada nilai jumlah penyertaan modal negara. Sedangkan
dalam arti yang lebih sempit, kekayaan negara dapat dipersepsikan sebagai
segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh negara
baik di tingkat pusat maupun daerah dan BUMN/BUMD
Sementara itu,
dalam arti yang lebih sempit lagi dimana mengacu pada pengertian yang
dirumuskan dalam pasal 1 angka (10) dan (11) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara, kekayaan negara dibatasi sebagai Barang Milik Negara/Daerah.
Barang Milik Negara/ Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh
atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah. Dalam hal ini terbatas pada barang
yang bersifat berwujud (tangible) yang meliputi barang persediaan dan
aset tetap (fixed assets). Mengingat tujuan pengelolaan kekayaan negara
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia maka untuk keperluan tulisan ini tidak dibedakan
istilah antara kekayaan pemerintah pusat, daerah, dan BUMN/BUMD. Kesemuanya
dibingkai ke dalam satu terminologi yaitu kekayaan negara. Satu dan
lain hal mengingat bahwa peran pemerintah pusat harus tetap ada untuk
mensinergikan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan negara demi kepentingan
nasional.
Walaupun terkadang dipersepsikan bahwa kekayaan negara merupakan public goods maka jangan sampai istilah public menyebabkan pengelolaannya menjadi tidak profesional. Dengan kata lain, public goods harus dikelola sebagaimana pengelolaan private goods dengan kaidah entrepreneurship. Dalam era perubahan yang terjadi begitu cepat maka kinerja sektor publik/pemerintah semakin menjadi sorotan masyarakat yang setiap saat terpublikasi di media massa. Sektor publik rentan terhadap pemberitaan yang tidak berimbang, dengan kata lain bahwa terkadang pers relatif lebih tertarik memberitakan masalah-masalah atau kinerja yang jelek dari pemerintah ketimbang sebaliknya. Sehingga ada yang secara ekstrim mengatakan: “good news is no news in the public sector”