Rabu, 19 Mei 2010

Data, Fakta dan Isu Kebijakan Aset

Pelaksanakan otonomi daerah sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pemberian otonomi daerah kepada daerah atas dasar desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Salah satu syarat yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan atas dasar desentralisasi adalah tersedianya sumber-sumber pembiayaan.

Pemberian otonomi luas pada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi keanekaraganam daerah dalam sistem Negara Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, serta potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan keuangan, pelayanan umum dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras (Darise, 2006:14).

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup pada daerah, dengan mengacu kepada Undang-undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintahan yang diserahkan pada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Perspektif kedepan dari sistem keuangan daerah adalah mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah yang transparan, memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab kapada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuanya untuk membiayai otonominya dan memberi kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.

Pengembangan daerah otonom di Indonesia maka pemerintah daerah perlu menggali potensi daerah sesuai dengan penerapan otonomi daerah. Daerah otonom berwenang untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sesuai dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Dalam mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri daerah memerlukan biaya yang besar untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Oleh karenanya daerah diberi hak dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerahnya. Hal ini sesuai dengan kententuan pasal 157 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang mengatur sumber-sumber pendapatan daerah yang terdiri atas:

  1. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
  2. Dana perimbangan
  3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. (Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah)

Beberapa pemerintah daerah masih memprioritaskan mencari sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, namun kurang mengoptimalkan sumber yang sudah ada. Tindakan tersebut didapat dengan cara mengoptimalkan pengelolaan aset milik pemerintah daerah. Lemahnya pengelolaan aset daerah tak hanya terbengkalainya aset-aset milik pemerintah daerah lebih dari itu cenderung membebankan anggaran yang ditetapkan dalam APBD.

Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/daerah yang ditandai dengan dikeluarkannya PP No. 6 /2006 yang merupakan peraturan turunan UU No. 1 /2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best practices dalam penataan dan pengelolaan aset daerah yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset daerah yang professional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan daerah dari masyarakat/stake-holder.

Pengelolaan aset daerah dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (2) PP No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset daerah, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset daerah mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan; penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara).

Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD). Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain yaitu terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundang-undangan di bidang BMD, antara lain Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Permen Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN, dan PMK nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN. Namun, pada dasarnya terdapat ciri yang menonjol dari produk-produk hukum tersebut yaitu meletakkan landasan hukum dalam bidang administrasi keuangan negara dan melakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dan pemegang kewenangan perbendaharaan. Selain itu, sejalan dengan kebijakan nasional yaitu adanya otonomi daerah serta bergulirnya perubahan struktur organisasi yang memunculkan penghapusan suatu satuan unit kerja daerah di satu sisi dan pendirian satuan unit kerja daerah pada sisi yang lain membawa implikasi adanya mutasi barang milik daerah.

Sebagai tambahan, khusus untuk pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Dimana Permendagri tersebut dikeluarkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 Ayat (3), PP Nomor 6 Tahun 2006 yang berbunyi : “Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan sebagaimana ayat (1) “. Menurut Ketentuan Pasal 2 Permendagri tersebut Pengelolaan BMD merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan Barang Milik Negara.

Visi pengelolaan aset negara kedepan adalah menjadi the best state asset management on the world. Tidak sekedar bersifat teknis administratif semata, melainkan sudah bergeser ke arah bagaimana berpikir layaknya seorang manajer aset yang harus mampu merumuskan kebutuhan barang milik daerah secara akurat dan pasti, serta meningkatkan faedah dan nilai dari aset negara tersebut.Tantangan untuk mewujudkan visi tersebut tidaklah ringan, perlu kerja keras dari semua pihak mengingat problematika di seputar pengelolaan aset negara sekarang ini begitu kompleks. Oleh karena itu, pengelolaan aset daerah harus ditangani oleh SDM yang profesional dan handal, dan mengerti tata peraturan perundangan yang mengatur aset daerah.

Jumlah, nilai (value), dan potensi kekayaan/aset daerah yang begitu besar dirasakan masih belum dapat mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran, dan efektivitas pengelolaan kekayaan/aset negara. Hal ini dapat disebabkan oleh: 1) keberagaman kekayaan/aset daerah secara jenis dan letak geografis, 2) adanya keragaman kepentingan (interest) yang melekat, 3) adanya pihak yang secara langsung atau tidak langsung menguasai, 4) inefisiensi alokasi, 5) belum adanya unifikasi regulasi, 6) koordinasi dan pengawasan lemah, dan 7) yang sangat penting yaitu belum terwujudnya basis data (data base) dalam suatu sistem informasi modern terintegrasi sehingga tidak diketahuinya secara pasti dan real-time berapa jumlah, nilai, dan potensi serta bagaiman pola penggunaan tertinggi dan terbaiknya (highest and best use). Akumulasi dari hal-hal tersebut melahirkan kompleksitas dan kerap tumpah tindih dalam pelaksanaan dan penanganan kekayaan daerah yang pada gilirannya telah dan terus merugikan daerah

Eksistensi kekayaan daerah sangatlah penting dan memiliki kedudukan yang strategis dalam rangka mendukung perwujudan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pendataan kekayaan negara secara komprehensif dan akurat di satu sisi dan pengetahuan tentang nilai terkininya (existing value) di sisi lain ibarat satu mata uang dengan dua sisi yang merupakan prakondisi dalam rangka optimalisasi pengelolaan kekayaan daerah. Sampai saat ini, walaupun relatif telah dilakukan pendataan/inventarisasi, namun masih sangat terbatas, sehingga memerlukan waktu untuk mewujudkan neraca pemerintah daerah seperti yang diharapkan. Di beberapa daerah telah mempunyai estimasi jumlah, nilai, dan potensi kekayaan daerahnya yang tertuang dalam neraca daerah. Namun elemen-elemen yang tersaji pada neraca-neraca tersebut masih perlu dipertanyakan apakah telah mencerminkan kondisi faktual berdasarkan market value.

Berlakunya Undang-undang (UU) No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memberikan sebagian besar kewenangan untuk mengelola potensi dan sumber daya daerah sepenuhnya kepada daerah dimana dengan kebijakan tersebut diharapkan tercapai optimalisasi pembangunan daerah sesuai dengan kebijakan yang dilakukan pada masing-masing daerah. Peran pemerintah pusat harus tetap ada untuk mensinergikan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan negara demi kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 bahwa kekayaan negara/nasional harus dipergunakan setinggi-tingginya untuk kemakmuran masyarakat dan bangsa Indonesia. Sehingga pemerintah harus mempunyai blue print strategi yang jelas dan komprehensif dalam melakukan pengelolaan kekayaan negara secara langsung dan tidak langsung melalui pembinaan

Pengelolaan kekayaan daerah merupakan suatu metode/pendekatan komprehensif yang diperlukan dalam rangka alokasi sumber dana yang tebatas guna optimalisasi pemanfaatannya bagi masyarakat secara efektif dan efisien. Dalam mengelola kekayaan daerah, pemerintah telah menerbitkan banyak regulasi terkait, namun keberadaan peraturan-peraturan tersebut masih tersebat di beberapa produk hukum yang bervariasi dan relatif belum dapat menjamin pelaksanaan pengelolaan kekayaan daerah secara komprehensif dan integratif -

Belum lagi regulasi yang telah ada tersebut lahir pada era yang jelas berbeda dengan semangat dan paradigma pada hari ini. Urgensi peraturan yang komprehensif tentang pengelolaan kekayaan negara setingkat undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya dengan paradigma baru, spirit reformasi, serta menjawab tuntutan stakeholders sudah sangat dibutuhkan demi terciptanya pola penanganan kekayaan daerah secara lebih terarah dan memberi nilai tambah.

Kekayaan negara dalam arti luas dan fleksibel dapat mencakup semua barang serta kekayaan alam, baik bergerak/tidak bergerak ataupun berwujud/tidak berwujud yang dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BUMN/BUMD yang terbatas pada nilai jumlah penyertaan modal negara. Sedangkan dalam arti yang lebih sempit, kekayaan negara dapat dipersepsikan sebagai segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh negara baik di tingkat pusat maupun daerah dan BUMN/BUMD

Sementara itu, dalam arti yang lebih sempit lagi dimana mengacu pada pengertian yang dirumuskan dalam pasal 1 angka (10) dan (11) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, kekayaan negara dibatasi sebagai Barang Milik Negara/Daerah. Barang Milik Negara/ Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Dalam hal ini terbatas pada barang yang bersifat berwujud (tangible) yang meliputi barang persediaan dan aset tetap (fixed assets). Mengingat tujuan pengelolaan kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia maka untuk keperluan tulisan ini tidak dibedakan istilah antara kekayaan pemerintah pusat, daerah, dan BUMN/BUMD. Kesemuanya dibingkai ke dalam satu terminologi yaitu kekayaan negara. Satu dan lain hal mengingat bahwa peran pemerintah pusat harus tetap ada untuk mensinergikan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan negara demi kepentingan nasional.

Walaupun terkadang dipersepsikan bahwa kekayaan negara merupakan public goods maka jangan sampai istilah public menyebabkan pengelolaannya menjadi tidak profesional. Dengan kata lain, public goods harus dikelola sebagaimana pengelolaan private goods dengan kaidah entrepreneurship. Dalam era perubahan yang terjadi begitu cepat maka kinerja sektor publik/pemerintah semakin menjadi sorotan masyarakat yang setiap saat terpublikasi di media massa. Sektor publik rentan terhadap pemberitaan yang tidak berimbang, dengan kata lain bahwa terkadang pers relatif lebih tertarik memberitakan masalah-masalah atau kinerja yang jelek dari pemerintah ketimbang sebaliknya. Sehingga ada yang secara ekstrim mengatakan: “good news is no news in the public sector”