Dalam memahami
kekuasaan sebagai sebuah bagian dari perencanaan, maka harus dapat dilihat
pada sebuah titik tolak, yaitu bahwa peran kekuasaan dalam sebuah perencanaan
ialah proses dalam mempengaruhi keputusan publik yang dibuat dan produk
perencanaan yang dihasilkan. Proses perencanaan akan selalu menjadi
sebuah proses dalam mempengaruhi alternatif-alternatif yang mungkin
diambil dalam penataan ruang sebuah kota atau wilayah.
Istilah kekuasaan
banyak mengalami proses diskursus dan transformasi persepsi serta pemahaman
dari waktu ke waktu. Koneksitas antara kekuasaan dan pengetahuan menjadi
sebuah diskusi yang menarik diantara para ahli organisasi dan filsafat.
Dua ahli yang sangat terkenal membahas koneksitas pengetahuan dan power
adalah Michael Foucault (1926-1984) dan Francis Bacon (1561-1626).
Francis Bacon
memulai diskursus mengenai koneksitas kekuasaan dan pengetahuan pada
abad 17. Bacon memiliki sebuah kutipan yang sangat terkenal yaitu ”knowledge
it self is power”. Pendapat ini didasari pada sebuah keyakinan bahwasanya
suatu saat semua persoalan manusia akan dapat diselesaikan melalui ilmu
pengetahuan. Bacon mendasarkan pendapatnya setelah kemajuan yang signifikan
dicapai oleh bangsa Eropa setelah mengambil teknologi yang dimiliki
bangsa Islam di Cordoba.
Pemikiran empirisme
sangat mendominasi ide rasionalitas yang membangun kekuatan, atau dengan
kata lain wacana yang memberikan kekuasaan kepada manusia baik untuk
mensejahterakan maupun menindas. Wacana empirisme terhadap kekuatan
membuat sebuah superioritas pengetahuan terhadap aspek lainnya, dengan
sebuah stigma awal bahwasanya pengetahuan yang membentuk peradaban manusia
begitu juga kekuatan yang dimiliki untuk membentuk peradaban itu sendiri.
Di spektrum
lainnya, berdiri pemikiran Foucault mengenai relasi antara kekuasaan
dan pengetahuan. Foucault merupakan filosof yang menjadi gerbong gerakan
filosofi post-modern di dunia bersama dengan Jacques Derrida. Pemikirannya
dilandasi oleh sebuah pemikiran kritis terhadap pemikiran pada masa
lalu, ia menganggap bahwa pemikiran dapat mengalami proses seiring perjalanan
waktu.
Foucault mengkritik
pemikiran dari Bacon dan memunculkan pemikiran baru yaitu “power/knowledge”.
Foucault melakukan sebuah demistifikasi terhadap sebuah makna power
terhadap sebuah hubungan resiprokal, mutualisme antara sirkulasi pengetahuan
dengan kekuatan untuk mengendalikan. Foucault menyatakan dalam bukunya
“power/knowledge” (1980), bahwa power adalah sebuah mekanisme yang
menciptakan rasionalitas hukum dan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk
menegakkan kekuasaan yang lebih besar.
Analogi pernyataan
ini adalah seperti tidak ada kriminologi tanpa penjara, tidak ada teknologi
forensik tanpa polisi atau tidak ada obat tanpa ada klinik, yang menunjukkan
sebuah pengetahuan tidak lebih dari sekedar perangkat dalam memaksa
individu-individu untuk mematuhi kekuasaan yang ada. power/knowledge
menunjukkan sebuah hubungan positif antara kekuasaan dan pengetahuan.
Menurut Foucault, yang mendasari ahli lain seperti Luke, Dahl, Clegg,
dan Giddens, dalam membuat pemahaman baru mengenai fungsi, definisi
dan posisi power dalam konteks relasi dengan pengetahuan.
Luke (1974)
mengungkapkan konsepsi kekuasaan sebagai sebuah kepentingan dalam berusaha
memenuhi kepentingan rakyat dengan menguasai atau menghindari oposisinya.
Dahl (1986) mengungkapkan kekuasaan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi
seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang bilamana tanpa itu maka ia
takkan mengerjakannya. Mirip dengan Dahl, Wrong (1979, dalam Clegg,
1989) menginterpretasikan kekuasaan sebagai sebuah kapasitas yang dimiliki
seseorang untuk menghasilkan efek yang dikehendaki dan nyata terhadap
orang lain.
Kekuasaan secara etimologis (dalam KBBI) merupakan kesanggupan, kemampuan, kuasa untuk menentukan, mengatur dan kemampuan orang/golongan untuk mempengaruhi orang/golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang atau kekuatan fisik. Kekuasaan dan pengaruh merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan relasi atau aktivitas yang merupakan bagian dari politik (Dwicaksono,2003).
Barnes (1989)
mengungkapkan konsep power sebagai sebuah entitas dari sebuah prilaku,
proses atau agen yang dimiliki. Barnes menyebutkan tiga dimensi dari
kekuasaan yang mungkin dimiliki oleh seseorang, pertama kekuatan fisik,
kedua kekuatan karisma, dan ketiga kekuatan posisi atau kedudukan yang
dimilikinya dalam sebuah kelompok.
Menurut Culver
dan Syer (dalam Dwicaksono,2003) kekuasaan (power) dapat dibagi menjadi
dua yaitu kekuasaan individu dan kelompok. Dalam kekuasaan individu
faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sumber daya yang dimiliki,
keinginan untuk menggunakan sumber daya tersebut, dan kemampuan untuk
menggunakan sumber daya yang dimilikinya.
Pengertian sumber daya yang dikaji ini bermakna luas. Secara umum jenis kepemilikan sumber daya yang dimiliki yang mempengaruhi tingkat kekuasaan, yaitu:
- Kepemilikan yang meliputi informasi, ekonomi dan lain-lain
- Atribut yang melekat pada kepribadian seseorang
- Kemampuan tambahan
- Agak berbeda dengan kekuasaan individu, pada kekuasaan kelompok sumber daya dimiliki oleh keanggotaan dari kelompok tersebut (Dwicaksono,2003).
- Dengan berkumpulnya individu-individu yang memiliki sumber daya, maka kelompok tersebut akan memiliki akumulasi yang dimiliki oleh individu-individu yang dimiliki di dalam kelompok tersebut.
Pada akhirnya kekuasaan-kekuasaan individu tersebut akan dijadikan sebagai sebuah bentuk kekuasaan kelompok dalam melaksanakan agenda yang telah disepakati oleh kelompok tersebut. Kekuasaan yang dimiliki oleh individu tersebut merupakan sebuah modal yang akan dipakai oleh kelompok tersebut untuk mempengaruhi kelompok lain untuk turut mendukung agenda kelompok tersebut. Dalam konteks perumusan kebijakan publik, yang berupa produk perencanaan, kelompok yang memiliki kekuasaan akan menggunakan kekuasaannya tersebut untuk mempengaruhi keputusan publik yang hendak dibuat, sehingga dapat sesuai dengan agenda yang ingin dicapai oleh kelompok
tersebut.