Sebuah kebijakan
lahir karena ada suatu masalah yang hendak dipecahkan (Abidin, 2004:103).
Oleh karena itu, kebijakan merupakan alat atau cara untuk memecahkan
masalah yang sudah ada sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar pembuatan
kebijakan adalah masalah. Jika tidak ada masalah tidak perlu ada suatu
kebijakan baru.
Kebijakan sebagai
instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai utama dalam
operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata rantai
utama, jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan
di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi
implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan
saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan
(policy maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar
akan kesalahannya ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad
implementation).
Dalam kondisi
yang teramat sulit, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan penolakan
atau pengabaian oleh elemen-elemen yang secara legal terlibat di dalamnya.
Dalam konteks ini, pemerintah telah bertindak sangat tidak efektif karena
telah mengeluarkan demikian banyak energi untuk suatu kebijakan yang
tidak mampu diimplementasikan, apalagi mampu mengatasi masalah kebijakan
secara tuntas.
Ada persoalan
proses kebijakan yang paling pokok terjadi, yaitu sesuatu yang disebut
sebagai kesalahan tipe ketiga; yaitu memecahkan masalah yang salah.
Rasionalitas yang dikembangkan terhadap sebuah isu kebijakan dilakukan
dengan pilihan yang tidak disadari, tidak kritis serta justru sering
mengacaukan secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusinya
yang potensial (Hoss, Tribe dalam Hutagalung, 2008).
Hadirnya isu
kebijakan dari opini dalam masyarakat bersifat kompleks karena menyangkut
berbagai faktor yang menjadi latar belakang. Kemampuan mengidentifikasi
dan melihat gambaran besar dari faktor tersebut menjadi awal yang menentukan
proses selanjutnya. Apakah isu tersebut adalah memiliki implikasi yang
sangat kuat dalam mengatasi persoalan yang melatarbelakanginya secara
siginifikan. Melalui pertanyaan itu dapat ditentukan pentingnya isu
menjadi masalah dan menjalani proses kebijakan selanjutnya.
Dengan demikian,
kemampuan analisis kebijakan publik memiliki peran sangat menentukan.
Kemampuan rasionalitas erotetik dalam mengelola isu, metamasalah, dan
masalah formal dalam proses kebijakan merupakan penentu utama dalam
efektifnya desain sebuah rumusan masalah yang menjadi input dalam proses
kebijakan.
Melihat banyaknya kebijakan yang bermasalah, maka sudah sepantasnya jika sebagai pelaku kebijakan, pemerintah pusat, daerah dan stakeholder yang lain memiliki perhatian yang lebih baik dalam konteks ini. Kemampuan memahami masalah sebagai bagian besar dari mengatasi keseluruhan persoalan merupakan modal untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih baik.