Sebagai respon
terhadap tujuan yang terlalu luas (dan sering seperti impian) dalam
perencanaan komprehensif, maka para perencana, di dekade-dekade akhir
Abad ke 20, meminjam pendekatan perencanaan strategis yang biasa dipakai
dalam dunia usaha dan militer. Pendekatan strategis memfokuskan secara
efisien pada tujuan yang spesifik, dengan meniru cara perusahaan swasta
yang diterapkan pada gaya perencanaan publik, tanpa menswastakan kepemilikan
publik.
Di tahun 1987,
Jerome Kaufman dan Harvey Jacobs dalam Djunaedi (2000:4) mengkaji perencanaan
strategis ini dengan bertanya apakah tipe perencanaan ini dapat dipakai
untuk seluruh masyarakat dan bukan hanya untuk pengguna tradisionalnya
yaitu sebuah perusahaan publik atau kantor dinas. Mereka juga mewawancarai
perencana praktisi untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya para praktisi
tersebut menggunakan pendekatan perencanaan strategis tersebut.
Hal yang paling
penting, ada anggapan bahwa perencanaan strategis secara fundamental
berbeda dengan praktek perencanaan yang ada (komprehensif). Dapat disimpulkan
bahwa banyak unsur dasar perencanaan strategis (seperti: berorientasi
tindakan, kajian lingkungan, partisipasi, kajian kekuatan dan kelemahan
masyarakat) sebenarnya telah ada sejak lama dalam tradisi perencanaan.
Membandingkan perencanaan strategis dengan perencanaan komprehensif,
menurut para tokoh di atas bagaikan “barang yang sama tapi dikemas
dengan bungkus yang lebih baru”.
Perencanaan
strategis tidak mengenal standar baku dan prosesnya mempunyai variasi
yang tidak terbatas. Tiap penerapan perlu merancang variasinya sendiri
sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi setempat. Meskipun demikian,
secara umum proses perencanaan strategis memuat unsur-unsur: (1) perumusan
visi dan misi, (2) pengkajian lingkungan eksternal, (3) pengkajian lingkungan
internal, (4) perumusan isu-isu strategis, dan (5) penyusunan strategi
pengembangan (yang dapat ditambah dengan tujuan dan sasaran). Proses
perencanaan strategis tidak bersifat sekuensial penuh, tapi dapat dimulai
dari salah satu dari langkah ke (1), (2), atau (3).
Ketiga langkah
tersebut saling mengisi. Setelah ketiga langkah pertama ini selesai,
barulah dilakukan langkah ke (4), yang disusul dengan langkah ke (5).
Setelah rencana trategis (renstra) selesai disusun, maka diimplementasikan
dengan terlebih dahulu menyusun rencana-rencana kerja (aksi/tindakan).
Seperti disebutkan
di atas, karena tidak ada standar baku proses perencanaan strategis,
maka banyak sekali terdapat versi perencanaan strategis. Suatu versi
yang mengkombinasikan antara perencanaan strategis dan perencanaan komprehensif
juga mungkin dilakukan untuk mengisi masa transisi dari penggunaan perencanaan
komprehensif ke masa perencanaan strategis.
Pada suatu
masa transisi dari pemerintahan yang bersifat sentralistik kuat (yang
menyeragamkan tipe perencanaan yang dipakai—misal pemerintahan Orde
Baru) ke pemerintahan desentralistik (dalam Era Otonomi Daerah) mungkin
sekali dipakai suatu versi perencanaan strategis yang diseragamkan untuk
semua daerah. Bila semua daerah telah terbiasa berbeda dalam tipe perencanaan
yang dipakai, maka tiap daerah dapat memilih versi perencanaan strategisnya
sendiri-sendiri.