Kamis, 20 Mei 2010

Data, Fakta dan Isu Kebijakan Perencaanaan dan Penganggaran

Sejak dicanangkannya kebijakan desentralisasi yang dialamatkan ke level daerah, telah mampu mendorong kebangkitan partisipasi masyarakat sipil. Tak ayal jika asosiasi sipil makin marak tumbuh di aras lokal. Upaya mereka, umumnya, berkehendak memajukan peran masyarakat di setiap pengambilan kebijakan, baik itu menyangkut perencanaan pembangunan, penganggaran daerah, sampai dengan pelayanan hak-hak sosial dasar.

Banyak cara telah ditempuh. Selain memanfaatkan jalur formal kebijakan, biasanya gerak dinamik lokal diisi juga memilih strategi advokasi melalui pengorganisasian warga, mengangkat isu-isu populis. Pilihan advokasi dilakukan dalam tiga model: (1) pendekatan diplomasi; (2) pengembangan wacana kritis; sampai dengan (3) pengorganisasian masyarakat. Dalam rentang perubahan pada babak awal reformasi, pilihan pengorganisasian masyarakat sering ditempuh oleh para aktivis, sebagai bagian dari episode merintis pondasi dan membangun tembok bagi demokrasi lokal, yang telah lama menjadi harapan sejak reformasi dideklarasikan.

Sementara, berkenaan dengan peran pemerintah daerah, sejumlah perubahan juga patut disyukuri. Merujuk bermacam riset mengenai local governance reform, telah memberikan informasi-informasi positif. Sekurang-kurangnya pada aras formal kelembagaan, juga regulasi, telah banyak inisiatif-inisiatif awal oleh pemerintah yang makin tumbuh. Hal itu dapat digolongkan sebagai respon atas tuntutan perubahan yang dikawal para CSO (civil society organisation), maupun sebentuk political will yang lahir dari teknokratisasi pemimpin daerah. Dapat disebutkan misalnya: terbentuknya peraturan-peraturan daerah (Perda) berkaitan dengan partisipasi sipil dalam kebijakan publik, pembaharuan tata kelola perijinan dan pelayanan masyarakat, transparansi dan partisipasi dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran, serta yang paling aktual adalah inisiatif perubahan anggaran yang berpihak pada kaum miskin atau yang dikenal dengan reformasi social policy (pendidikan dan kesehatan).

Meskipun pada aras masyarakat sipil dan negara telah dicapai kemajuan positif, banyak catatan penting di seputar kendala tak bisa dielakkan. Perubahan yang berlangsung sejauh ini, tidak berarti secara otomatis berujung pada implementasi yang konsisten sesuai koridor normatif. Perubahan tata kelembagaan yang berlangsung secara radikal, khususnya di bidang politik formal, dibarengi sejumlah bukti keadaan sosial ekonomi masyarakat yang menunjukkan fakta berlawanan. Jerit keluh warga terkait problem-problem sosial ekonomi, masih terus terdengar. Bahkan makin keras. Demokrasi politik belum membuahkan kesejahteraan.

Berbagai langkah politik warga membendung dan mengatasi segala macam masalah itu, memang bukan pekerjaan mudah. Pengalaman pahit makin merisaukan masyarakat, terutama banyaknya pengingkaran agenda reformasi. Kerisauan dan sinisme makin mencuat, menyaksikan berbagai jebakan pragmatisme yang selalu menghantui irama dan dinamika lokal. Kemerosotan kepercayaan makin berlangsung saat reproduksi ketegangan antar kelompok sipil dalam advokasi kebijakan makin menebal, yang seringkali diiringi sikap dan tindakan yang saling berbenturan. Propaganda buruk antar aktivis muncul, meski hanya berkutat pada perbedaan pilihan strategi, tanpa ditopang komunikasi antar mereka. Perselisihan tanpa kompromi dan negosiasi, justru mengurangi energi bagi bangunan konsistensi kesadaran dalam perjuangan.

Meningkatnya derajat partisipasi formal, yang didorong dalam sketsa demokratisasi lokal, nampaknya belum berkorelasi positif dengan derajat perubahan kebijakan secara nyata. Bahkan partisipasi itu, seringkali terjebak dalam formalisasi. Menyangkut perencanaan pembangunan dan penganggaran, sesungguhnya secara normatif telah tertuang beberapa regulasi. Sebut saja misalnya, berkenaaan dengan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), yang mensyaratkan pendekatan partisipasi, telah diatur melalui UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan daerah.

Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, yang diatur dalam dua regulasi tersebut, ternyata membentur proses penganggaran daerah. Proses penganggaran ini mengikuti regulasi yang khusus mengaturnya, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 33/2004 tentang perimbangan dana pemerintah pusat dan daerah. Meski kehendak regulasi berupaya mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran, namun dalam praktiknya yang sering terjadi di banyak daerah adalah disconnection antara hasil Musrenbang kabupaten dengan posting alokasi belanja anggaran. Hasil Musrenbang dalam bentuk daftar skala prioritas (DSP), tidak dijadikan referensi nyata dalam posting alokasi anggaran oleh tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) dan Panitia Anggaran (Panggar) DPRD. Karena itu, bisa disadari bahwa anggaran daerah cenderung disusun secara oligarkis oleh eksekutif dan legislatif, sehingga tidak bisa disentuh (untouchable) oleh partisipasi masyarakat.

Padahal, Permendagri nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, memungkinkan masyarakat untuk mengetahui akses informasi yang seluas-luasnya tentang keuangan daerah. Dalam cara pandang kritis, terjadinya elitisasi dan oligarki proses perencanaan dan penganggaran, berakibat pada kecenderungan formalisasi Musrenbang yang tidak bisa dijadikan tolok ukur perencanaan yang partisipatif dan transparan. Wajar saja, jika akhirnya output Musrenbang dan penganggaran, dalam bentuk APBD, tidak sesuai harapan. Hal ini biasanya tercermin dari, besaran partispasi warga dalam Musrenbang tidak berkorelasi positif atas alokasi anggaran yang semestinya diperuntukkan untuk masyarakat.

Apalagi, di sejumlah kasus menunjukkan modus-modus perilaku aktor-aktor yang memanfaatkan secara informal proses kebijakan perencanaan maupun penganggaran, yang menerobos jalur formal (prosedural). Tidak mengherankan, jika akhirnya arena penganggaran memperlihatkan dua gerak sirkuit: arus formal dan informal dalam mempengaruhi kebijakan perencanaan dan penganggaran, yang berujung pada abainya kepentingan masyarakat luas, apalagi kelompok marginal. Kontestasi formal seringkali berbeda dengan geliat penetrasi aktor-aktor informal, termasuk jaringan agencies dalam institusi pengambil kebijakan. Disanalah, tidak jarang senantiasa muncul ”penumpang gelap” kebijakan, yang mendistorsi kebijakan.

Skema perencanaan dan penganggaran semestinya mensyaratkan perpaduan antara pendekatan teknokrasi, politik dan partisipasi. Kaitan antar pendekatan tersebut merupakan konstruksi demokratisasi kebijakan. Namun faktanya, kecenderungan modus perencanaan dan penganggaran daerah masih bersifat terlalu teknokratis-politis, tidak diimbangi dengan aspek partisipasi yang nyata. Sebagai ukuran, bahwa di setiap hasil Musrenbang yang diolah pada tingkat SKPD, selalu mengalami pemangkasan di lintasan eksekutif. Apalagi, pada fase penganggaran, senantiasa absen dari pantauan dan keterlibatan warga. Tahap krusial yang perlu diperhatikan, karena sekaligus menjadi titik strategis penentu perencanaan, tidak lain ada pada tahap perumusan program/kegiatan SKPD yang dikoordinasi Bappeda.

Proses dan rute dari bawah, sesungguhnya sangat bergantung bagaimana pembahasan masuk dalam sistematisasi dan rasionalisasi dalam kacamata SKPD yang didalamnya terjadi “interaksi” sekaligus pertarungan antar sektoral. Arena ini, memang sebagian besar memiliki modus yang sama mengenai kecenderungan para kepala dinas memperjuangkan segala usulan masing-masing instansi berbasis keinginannya. Silang kepentingan dengan nalar teknokratik, berproses dengan (cenderung) mengabaikan segala dokumen usulan dari hasil Musrenbang. Bahkan tragisnya, produk perencanaan teknokratik tersebut meninggalkan koherensinya dengan RPJMD, Renstra, maupun Renja SKPD. Hal itu bisa terjadi karena mekanisme perencanaan pembangunan telah “terbakukan dalam sangkar birokratik”.

Perangkat kelembagaan dan mekanisme perencanaan jika sudah memasuki area kabupaten, daftar usulan dari hasil Musrenbang mengalami penyusutan secara sistematik, dengan tergantikan oleh bermacam skema yang berasal dari dinas-dinas (SKPD). Hal semacam ini memperlihatkan terjadinya gap (kesenjangan), antara model perencanaan dari bawah berbasis spasial (desa), yang menunjukkan pendekatan partisipasi, berhadapan dengan model perencanaan berbasis sektoral (daerah/kabupaten), yang mencerminkan teknokratisasi. Salah satu akar penyebab kesenjangan, sebagaimana disinyalemen banyak kalangan, bahwa jika perencanaan desa (dari bawah) itu masih melekat dalam perencanaan daerah, sebagaimana diatur dalam tata kelembagaan Musrenbang, kemungkinan berlanjutnya dominasi kabupaten akan terus berlangsung. Secara hipotetis dapat dikatakan, set up tata kelembagaan perencanaan pembangunan daerah, senantiasa menjadi perangkap formalisasi partisipasi dan hanya memperkuat dominasi SKPD.

Secara teoritik, anggaran belanja daerah merupakan instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan roda kekuasaannya. Dalam skema kebijakan, keputusan alokasi sumber daya untuk berbagai keperluan berupa pengeluaran setiap tahunnya, tercermin pada APBD. Dalam prakteknya, anggaran belanja daerah tak terlepas dari sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi, sekaligus menjadi mediasi berbagai kebutuhan masyarakat. Dalam konteks demikian, kebutuhan atau kepentingan itu seringkali memiliki bobot prioritas yang relatif sama. Dari sanalah diperlukan pilihan-pilihan memutuskan mana yang akan didanai terlebih dahulu. Tidak heran jika atas pertimbangan itu pada akhirnya berbagai pihak dan kelompok kepentingan akan berebut pengaruh di dalam memutuskan alokasi anggaran belanja daerah.

Anggaran belanja daerah merupakan salah satu komponen dasar kebijakan publik daerah. Dalam perspektif mikro, kebijakan anggaran belanja daerah adalah merupakan keputusan politik yang ditetapkan kepala daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), untuk dilaksanakan oleh aparat birokrasi daerah. Sebagai keputusan politik, kebijakan anggaran belanja daerah sering melalui proses politik yang panjang dan kompleks. Prosesnya meliputi tujuan-tujuan kebijakan dan cara pengambilan keputusannya, orang-orang atau kelompok-kelompok yang dilibatkan, baik sebagai perencana, pelaksana maupun penerima manfaat kebijakan anggaran belanja daerah. Sementara dalam khasanah makro tata pemerintahan demokrasi, kebijakan anggaran belanja daerah merupakan mandat politik warga (citizen political mandate) atas sumberdaya publik yang diamanatkan kepada lembaga pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) sebagai pemilik otoritas pengelolaan anggaran. Sifat otoritatif pemerintah demikian tentu hanya berlaku sepanjang pemerintah daerah mampu melaksanakan alokasi atau distribusi anggaran berdasarkan nilai-nilai kepentingan warga.

Kombinasi dua perspektif setidaknya telah terefleksikan pada muatan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana pada Pasal 3 dinyatakan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Artinya, selain proses kebijakan penganggaran mengacu kepada prinsip-prinsip teknokratis, lebih dari itu yang patut digaris bawahi adalah adanya proses politik dan partisipasi warga.

Dalam pengertian yang luas, anggaran memiliki fungsi distributif, yang diartikan bahwa suatu anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Sebagai fungsi alokasi sumberdaya, anggaran harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengatasi kesenjangan serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi perekonomian. Untuk itulah, penyusunan anggaran harus mempergunakan prioritas kebutuhan dasar bagi masyarakat, apa yang akan dipenuhi, memperkirakan sumber daya yang dimiliki pada tahun yang akan datang, pelayanan atau pembangunan apa yang akan diberikan pemerintah untuk satu tahun ke depan.

Anggaran belanja daerah mempunyai beberapa karakteristik yang membuat anggaran itu sarat dengan masalah-masalah politik. Pemerintah daerah menyusun anggaran itu secara teknis dengan kriteria efesiensi dan profesional. Biasanya pejabat-pejabat penyusun itu mempunyai pendidikan yang khusus mendalami masalah-masalah anggaran, tetapi kadang-kadang perhitungan-perhitungan yang telah disusun secara teknis dan profesional itu sulit disajikan secara rasional, karena adanya intervensi dari unsur-unsur politik. Di sini berhadapan antara penyusun anggaran yang profesional dengan para politisi yang bekerja dengan pertimbangan politik. Dengan kata lain, terdapat batasan antara keputusan-keputusan yang bersifat teknis dari para penyusun anggaran, dan bersifat politis dari para politisi atau anggota legislatif.

Diantara anggota legislatif yang mewakili rakyat itu, sering terjadi konflik diantara mereka sendiri. Jadi konflik bukan terjadi antara anggota legislatif dan penyusun anggaran atau pemerintah saja, tetapi juga dapat terjadi dikalangan dewan legislatif. Anggota legislatif itu mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, antara lain kelompok-kelompok ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Dengan demikian dikalangan legislatif itu, tidak heran apabila disatu pihak memperjuangkan anggaran untuk golongan pengusaha yang sudah mapan.

Dimensi politik dan kepentingan dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal yang lazim terjadi di Indonesia termasuk dominasi elite kekuasaan di dalam mempengaruhi perumusan kebijakan. Pengaruh politik dalam anggaran bukan hanya pada penyusunannya, tetapi juga pada prosesnya. Proses anggaran yang dimaksud adalah dari mulai tingkat usulan sampai ke pelaksanaan dan penilaian. Pada proses inilah unsur-unsur politik itu banyak bermain atau berperan. Pada akhirnya, kebijakan banyak dianggap sebagai sebuah upaya mempertahankan kekuasaan.

Formulasi kebijakan perencanaan merefleksikan sebuah gugatan terhadap peran elit kekuasaan yang memegang kendali utama dalam proses perumusan kebijakan yang akan menentukan masa depan banyak pihak; bukan hanya negara/daerah sebagai sesuatu yang pasif namun, masyarakat sebagai sesuatu yang aktif termasuk masa depan negara/daerah.

Dalam perspektif produk kebijakan, perencanaan daerah merefleksikan sebuah gugatan terhadap sisi kelayakan dan rasionalitas atas substansi kebijakan perencanaan. Berangkat dari fenomena yang telah digambarkan, dengan segenap kekuatan pada derajat analisis pengalaman, penelitian formulasi kebijakan berusaha menginterpretasikan persoalan pada proses perencanaan (formulasi) dan kelayakan substansi perencanaan (produk) dari kebijakan perencanaan. Tentu bukan bermaksud replikasi, atau universalisasi. Segala keterbatasan yang dikandungnya, memberi harapan pula untuk kritik dan input, agar setiap upaya perubahan pada level proses selalu bermakna, andai belum menghadirkan perubahan langsung dalam waktu pendek. Pengetahuan dengan basis pengalaman yang terakumulasi dari manapun, semoga kian mencerahkan sesama.

Corak Perencanaan Inkrimental

Kritik paling awal dalam sejarah terhadap pendekatan perencanaan komprehensif—dan sangat mempengaruhi—diberikan oleh Charles Lindblom pada tahun 1959. Penulis tersebut mengkritik pendekatan perencanaan komprehensif sebagai model perencanaan yang membutuhkan tingkat ketersediaan data dan kompleksitas analisis yang berada di luar jangkauan dan kemampuan para perencana pada umumnya.

Menurutnya, dalam praktek, jarang perencanaan dilakukan secara komprehensif, sehingga lebih baik perencanaan dilakukan secara inkrimental (sepotong demi sepotong) menggunakan “perbandingan terbatas dari hasil-hasil berurutan” untuk mencapai tujuan jangka pendek yang realistis.

Pendekatan inkrimental sendiri juga dikritik sebagai terlalu “kuatir” dan konservatif, karena memperkuat kondisi yang ada (status quo) dan mengingkari kekuatan perubahan sosial yang revolusioner (perubahan besar dan dalam waktu relatif singkat). Pendekatan ini juga dikritik berkaitan dengan kelemahannya dalam berpikir induktif dengan berasumsi bahwa stimulus dan respon jangka pendek dapat menggantikan kebutuhan terhadap visi dan teori.

Meskipun menerima kritik-kritik tersebut, pendekatan ini merupakan argumen balik/kontra terhadap perencanaan tradisional “master planning” yang berbasis kekomprehensifan arsitektur dan perancangan kota. Pendekatan inkrimental meningkatkan orientasi ke analisis marginal dari kebijakan sarana prasarana, ekonomi dan politik serta sosial budaya secara pragmatis dan tidak terpadu. Oleh karena itu, perencanaan inkrimental (oleh beberapa pihak) dianggap bukan perencanaan karena tidak mengantisipasi masa depan yang berjangka panjang;



Tabel ….

Hubungan Corak Perencanaan dengan Teori Politik

Hubungan Corak Perencanaan dengan Teori Politik

Perencanaan strategis memang lebih mewadahi partisipasi masyarakat dalam proses perencanaannya, sehingga memang mampu mewadahi aspirasi partai atau golongan/ kelompok yang memperjuangkan demokrasi. Aliran sosialis cenderung memilih corak perencanaan ekuiti atau perencanaan advokasi. Aliran sosialis yang “radikal” mungkin lebih menyukai perencanaan advokasi, karena mewadahi konflik antar kelas sosial, sedangkan aliran sosialis yang lebih lunak mungkin memilih perencanaan ekuiti, karena hasilnya menjadi satu rencana, secara kompromi dengan golongan lain di masyarakat.

Kompromi tersebut dapat saja berakhir dengan menerima rencana komprehensif atau rencana strategis bila aspirasi kelompok minoritas/tertindas yang diperjuangkan oleh para perencana ekuiti secara adil telah dapat terwadahi. Kelompok masyarakat yang ingin lebih bebas, tidak terikat dengan pihak lain dan juga tidak terikat dengan masa lalu serta merasa tidak perlu mempunyai tujuan jangka panjang, mungkin sekali akan lebih memilih perencanaan inkrimental.

Corak Perencanaan Advokasi

Perencanaan advokasi meragukan bahwa ada satu saja “kepentingan umum” bersama. Paul Davidoff dalam Junaedi (2000:6) mengkiritik bahwa perencanaan yang mengaku mampu merumuskan satu versi kepentingan umum berarti memonopoli kekuatan/kewenangan perencanaan dan tidak mendorong adanya partisipasi. Menurut penulis tersebut, bila perencanaan bersifat inklusif, maka sebuah lembaga tidak akan dapat mewadahi kepentingan masyarakat yang beragam dan saling konflik.

Sebaliknya, perencanaan haruslah dapat mendorong pluralisme yang berimbang dengan cara mengadvokasi (“memberi hak bersuara”) pihak-pihak yang tidak mampu menyalurkan aspirasinya. Perencanaan tradisional menghambat tumbuhnya pluralisme yang efektif, karena: (1) komisi perencanaan (semacam Bappeda) tidak demokratis dan kurang sekali mewakili kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat yang beragam (plural), dan (2) perencanaan kota tradisional berfokus pada aspek fisik yang terpisah dengan aspek sosial, sehingga mengabaikan kenyataan adanya konflik sosial dan ketidakadilan di kota.

Karena tidak percaya adanya satu kepentingan umum, yang berarti juga tidak percaya adanya satu rencana yang dapat disepakati bersama, maka menurut perencanaan advokasi, tiap kelompok masyarakat dapat mempunyai rencananya sendiri. Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mewadahi kepentingan yang plural di masyarakat.

Corak Perencanaan Ekuiti

Di dekade-dekade akhir Abad ke 20, tidak hanya pendekatan perencanaan strategis saja yang muncul, tapi juga tipe perencanaan ekuiti. Tipe ini secara progresif mempromosikan kepentingan umum bersama yang lebih besar (tidak hanya kepentingan satu kelompok saja) sekaligus menentang ketidakadilan di perkotaan. Perencanaan ekuiti mengikuti pendapat perencanaan advokasi bahwa akar-akar ketidakadilan sosio-ekonomis perkotaan perlu diatasi, tapi tidak sependapat bahwa perencana mempunyai tanggung-jawab eksplisit untuk membantu pihak-pihak yang tidak beruntung.

Pengalaman dalam mempraktekkan tipe perencanaan ini dilaporkan oleh Norman Krumholz di tahun 1982, yang pernah bertugas sebagai direktur perencanaan Cleveland (AS), yang mempunyai pengalaman impresif dalam melakukan pemerataan sosial di sebuah kota industri yang mengalami pertumbuhan yang negatif. Hasil perencanaan ekuiti dapat saja menjadi satu dengan hasil perencanaan komprehensif atau perencanaan strategis bila partisipasi “kaum pinggiran” (kelompok minoritas)—yang memperjuangkan keadilan bagi kelompoknya—telah terwadahi dengan memuaskan.

Corak Perencanaan Strategis

Sebagai respon terhadap tujuan yang terlalu luas (dan sering seperti impian) dalam perencanaan komprehensif, maka para perencana, di dekade-dekade akhir Abad ke 20, meminjam pendekatan perencanaan strategis yang biasa dipakai dalam dunia usaha dan militer. Pendekatan strategis memfokuskan secara efisien pada tujuan yang spesifik, dengan meniru cara perusahaan swasta yang diterapkan pada gaya perencanaan publik, tanpa menswastakan kepemilikan publik.

Di tahun 1987, Jerome Kaufman dan Harvey Jacobs dalam Djunaedi (2000:4) mengkaji perencanaan strategis ini dengan bertanya apakah tipe perencanaan ini dapat dipakai untuk seluruh masyarakat dan bukan hanya untuk pengguna tradisionalnya yaitu sebuah perusahaan publik atau kantor dinas. Mereka juga mewawancarai perencana praktisi untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya para praktisi tersebut menggunakan pendekatan perencanaan strategis tersebut.

Hal yang paling penting, ada anggapan bahwa perencanaan strategis secara fundamental berbeda dengan praktek perencanaan yang ada (komprehensif). Dapat disimpulkan bahwa banyak unsur dasar perencanaan strategis (seperti: berorientasi tindakan, kajian lingkungan, partisipasi, kajian kekuatan dan kelemahan masyarakat) sebenarnya telah ada sejak lama dalam tradisi perencanaan. Membandingkan perencanaan strategis dengan perencanaan komprehensif, menurut para tokoh di atas bagaikan “barang yang sama tapi dikemas dengan bungkus yang lebih baru”.

Perencanaan strategis tidak mengenal standar baku dan prosesnya mempunyai variasi yang tidak terbatas. Tiap penerapan perlu merancang variasinya sendiri sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi setempat. Meskipun demikian, secara umum proses perencanaan strategis memuat unsur-unsur: (1) perumusan visi dan misi, (2) pengkajian lingkungan eksternal, (3) pengkajian lingkungan internal, (4) perumusan isu-isu strategis, dan (5) penyusunan strategi pengembangan (yang dapat ditambah dengan tujuan dan sasaran). Proses perencanaan strategis tidak bersifat sekuensial penuh, tapi dapat dimulai dari salah satu dari langkah ke (1), (2), atau (3).

Ketiga langkah tersebut saling mengisi. Setelah ketiga langkah pertama ini selesai, barulah dilakukan langkah ke (4), yang disusul dengan langkah ke (5). Setelah rencana trategis (renstra) selesai disusun, maka diimplementasikan dengan terlebih dahulu menyusun rencana-rencana kerja (aksi/tindakan).

Seperti disebutkan di atas, karena tidak ada standar baku proses perencanaan strategis, maka banyak sekali terdapat versi perencanaan strategis. Suatu versi yang mengkombinasikan antara perencanaan strategis dan perencanaan komprehensif juga mungkin dilakukan untuk mengisi masa transisi dari penggunaan perencanaan komprehensif ke masa perencanaan strategis.

Pada suatu masa transisi dari pemerintahan yang bersifat sentralistik kuat (yang menyeragamkan tipe perencanaan yang dipakai—misal pemerintahan Orde Baru) ke pemerintahan desentralistik (dalam Era Otonomi Daerah) mungkin sekali dipakai suatu versi perencanaan strategis yang diseragamkan untuk semua daerah. Bila semua daerah telah terbiasa berbeda dalam tipe perencanaan yang dipakai, maka tiap daerah dapat memilih versi perencanaan strategisnya sendiri-sendiri.

Corak Perencanaan Komprehensif dan Induk

Corak perencanaan induk (master planning) adalah model yang paling tua. Perencanaan komprehensif melakukan perencanaan secara menyeluruh (komprehensif), yang berarti Perencanaan induk (master planning) biasanya diterapkan pada perencanaan komplek bangunan atau kota baru secara fisik.

Dibandingkan dengan perencanaan komprehensif yang dilakukan secara multi-disiplin, maka perencanaan induk umumnya dilakukan secara satu disiplin, yaitu arsitektur. Keduanya, perencanaan induk dan perencanaan komprehensif, mempunyai kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci, end-state, tidak fleksibel—seakan masa depan sangat pasti-. Proses perencanaan induk mengacu pada perencanaan dan perancangan arsitektur, yaitu dengan langkah-langkah sekuensial (urut): (1) problem seeking, (2) programming, dan (3) designing. Terhadap hasil perencanaan/perancangan dilakukan kegiatan konstruksi atau pelaksanaan aksi/tindakan.

Kriteria Kelayakan Sebuah Kebijakan

Dalam melakukan sebuah proses analisis harus ditetapkan terlebih dahulu kriteria yang ingin digunakan dalam sebuah proses analisis kebijakan. Ada beberapa kategori dalam penentuan kriteria yang bertujuan untuk mengarahkan kriteria yang akan dipilih sesuai dengan konteks yang terjadi. Baardach dalam Abidin 1972 mengemukakan empat titik fokus yang dapat disesuaikan dengan tujuan dari sebuah analisis kebijakan, yaitu sebagai berikut:

  1. Technical feasibility

    Tipologi kriteria yang menitikberatkan hasil sebuah tujuan pada ukuran-ukuran teknis yang pasti untuk mencapai tujuan dasar.

  1. Economic dan financial possibility

    Mengukur program atau kebijakan dengan ukuran ekonomi, seperti pembiayaan, keuntungan yang akan didapat dan ukuran-ukuran finansial lainnya.

  1. Administrative operability

    Tipologi kriteria yang mengukur tingkat pelaksanaan rencana dalam konteks administrasi.

  1. Political viability

    Tipologi kriteria yang mengukur kemungkinan sebuah rencana kebijakan dilaksanakan dalam konteks yang terkait dengan kelompok kepentingan dan para pengambil keputusan, seperti badan legislatif, badan eksekutif, partai politik, LSM, kelompok warga dan aktor-aktor lainnya yang terkait dan terkena dampak dari program dan kebijakan yang hendak dibuat.

Secara umum, keragaman corak perencanaan yang ada dalam praktek saat ini, yaitu: (1) perencanaan komprehensif (comprehensive planning); (2) perencanaan induk (master planning); (3) perencanaan strategis (strategic planning); (4) perencanaan ekuiti (equity planning); (5) perencanaan advokasi (advocacy planning); dan (6) perencanaan inkrimental (incremental planning). (Djunaedi, 2000 : 2)

Perencana sebagai Salah Satu Stakeholders atau Aktor

Perencanaan sebagai sebuah proses komunikasi, menekankan kepada peran perencana sebagai komunikator dari produk perencanaan yang dihasilkannya. Perencana mendengarkan, mengakomodasi, melakukan mediasi dan pada akhirnya melakukan sebuah sosialisasi mengenai produk rencana yang dihasilkan.

Perspektif manapun yang dipilih oleh seorang perencana, ketika berhadapan dengan situasi dan proses politik yang kompleks, fungsi perencana sebagai seorang komunikator memegang peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Karena informasi merupakan sumber kekuasaan bagi setiap aktor yang dapat meningkatkan kapasitas dan posisi politik setiap aktor, perencana memiliki posisi yang strategis ketika berperan sebagai pemberi informasi.

Forester (1989) memberikan lima persepektif yang ada dalam menjelaskan peran informasi dalam sebuah perencanaan yang sarat dengan nuansa politik. Pertama sebagai technician, dimana kekuasaan terletak di informasi teknis yang berkaitan dengan sumber data dan metode analisis yang digunakan. Perspektif ini menggunakan ide paling tradisional dari perencanaan, dimana perencana bertindak sebagai pemecah masalah dan bertindak untuk tidak terlibat secara langsung dengan politik.

Kedua, perencana sebagai seorang inkrementalis yang memandang informasi sebagai sumber kekuasaan karena informasi itu menjawab kebutuhan organisasi, dimana setiap orang membutuhkan sumber informasi, prosedur perijinan atau restriksi dalam melakukan perencanaan. Kekuasaan yang didapatkan melalui organisasi sebagi sumber informasi, memungkinkan perencana memilih informasi yang ingin disampaikan.

Ketiga, perencana sebagai liberal-advocate yang memandang informasi sebagai sumber kekuasaan karena merespon kebutuhan dari sebuah sistem politik yang beragam. Informasi dapat digunakan oleh kelompok yang tidak terwakili atau tidak terorganisasi untuk meningkatkan kapasitas partisipasi dalam proses perencanaan. Perencana memiliki peran sebagai pendamping kelompok masyarakat yang tidak terwakili untuk memberikan saran dan pertimbangan teknis untuk memperkuat kapasitas dan memperbesar tingkat partisipasi.

Keempat, perencana sebagai strukturalis, dimana informasi menjadi media dan alat dalam memperoleh atau memperkuat legitimasi struktur kekuasaan yang ada dan memperkuat perhatian publik terhadap sebuah isu. Seorang perencana tidak memiliki kekuasaan, akan tetapi dapat mempertahankan kekuasaan yang ada dan memberikan sebuah kondisi status-quo dalam tatanan politik yang telah ada.

Yang terakhir adalah perencana sebagai kekuatan progresif dimana informasi dimanfaatkan sebagai alat meningkatkan partisipasi masyarakat dan menghindari legitimasi yang dibuat oleh struktur yang ada. Perencana memiliki fungsi dalam mengorganisir tindakan masyarakat untuk meraih kekuasaan yang ada dengan mengorganisir informasi yang ada untuk mencegah misinformasi dan manipulasi informasi yang dilakukan oleh kelompok dengan kapasitas politik yang lebih besar.

Model Perencana Forester

Model Perencana Forester

Pengertian Stakeholders

Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.

Freeman (1984) mendefenisikan stakeholders sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset (1998) secara singkat mendefinisikan stakeholder sebagai orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagaimana dikemukakan Freeman (1984), yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap issu, Grimble and Wellard (1996), dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka.

Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu issu, stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu stakeholder primer, sekunder dan stakeholder kunci.

Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya masyarakat dan tokoh masyarakat, masyarakat yang terkait dengan proyek, yakni masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh manfaat dan yang akan terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari proyek ini. Sedangkan tokoh masyarakat adalah anggota masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat. Di sisi lain, stakeholders utama adalah juga pihak manajer Publik yakni lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan.

Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Yang termasuk dalam stakeholders ini misalnya lembaga(Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung, lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan, Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki concern (termasuk organisasi massa yang terkait). Perguruan Tinggi yakni kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah serta Pengusaha (Badan usaha) yang terkait sehingga mereka juga masuk dalam kelompok stakeholder pendukung.

Sedangkan Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi. Misalnya, stakeholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten, DPR Kabupaten serta dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.

Di sisi lain, James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), James Lester dan Joseph Stewart, Jr (2000) dalam Winarno (2002 : 84) berpendapat bahwa aktor-aktor atau pemeran dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu para pemeran resmi dan para pemeran tidak resmi. Yang termasuk para pemeran resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota), legislatif dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu baik para pakar perencana maupun individu lainnya.

Dimensi Kekuasaan dan Politik dalam Perencanaan

Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Definisi tentang kekuasaan terkadang tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Lasswell (Dalam Dwicaksono, 2003) berpendapat bahwa kekuasaan adalah partisipasi dalam membuat keputusan yang penting. Sheppered (dalam Abbot, 1995) berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan publik adalah contoh nyata dari penggunaan kekuasaan. Kekuasaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari proses pembuatan keputusan yang melipatkan hubungan antar individu dan kelompok kepentingan dengan negara.

Teori mengenai kekuasaan mengalami metamorfosa dan proses dialektika untuk menuju sebuah penyempurnaan mengenai pemahaman para ahli mengenai kekuasaan. Salah satu teori yang terkemuka adalah teori tiga dimensi kekuasaan yang dikemukakan oleh Luke dan dikembangkan oleh John Gaventa. Teori tersebut merupakan sebuah evolusi dari teori lain yang berkembang sebelumnya.

Teori yang pertama adalah teori kekuasaan satu dimensi yang dikemukakan oleh Robert Dahl. Persepektif ini disebut sebagai pendekatan pluralis dan meningkatkan kepada peningkatan kekuasaan melalui proses pembuatan kebijakan dan perilaku yang bisa diamati. Persepektif satu dimensi ini menjelaskan sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh kelompok yang lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun tanpa ada ’perintah’ dari kelompok yang mendominasi.

Pendekatan pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan kesempatan yang sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan hanya berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan ikut terlibat dan berpartisipasi dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut. Apatisme atau non-partisipasi merupakan sebuah gambaran dari kurangnya minat terhadap sebuah isu yang berkembang. Menyadari kondisi masyarakat yang beragam, maka konflik merupakan sebuah hal yang wajar terjadi sebagai sebuah hasil yang diharapkan atau sebagai sebuah media untuk menentukan siapa yang menang.

Pendekatan ini mendapatkan kritikan yang menyatakan bahwa ketika pendekatan satu dimensi ini melihat kekuasaan sebagai sebuah fungsi yang tersembunyi dari pembuatan kebijakan yang mengamati konflik terbuka melalui partisipasi terbuka, maka pendekatan itu telah mengabaikan mekanisme politik yang penting. Seringkali terjadi, dimana kekuasaan menggunakan potensinya untuk mencegah satu isu untuk diangkat dan menekan partisipasi di dalam arena politik. Isu potensial dan keluhan tidak pernah terungkapkan karena telah dimatikan oleh kekuasaan. Pendekatan yang membatasi pada sebuah fenomena yang nampak, dapat melewatkan fenomena manipulasi dan paksaan yang menyebabkan sebuah isyu atau suatu kelompok tidak masuk dalam arena politik.

Kritikan terhadap pendekatan satu dimensi melahirkan pendekatan kedua yang dikemukakan oleh Bachrach dan Baratz yang melihat kekuasaan melalui pendekatan dua dimensi yang sering disebut sebagai elite model. Dimensi pertama melihat arena sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan tidak tersebar merata, akan tetapi tidak berpusat pada satu kelompok saja. Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik diciptakan dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber daya untuk mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka. Elite menentukan agenda untuk mempertahankan dominasinya. Pendekatan dua dimensi ini membahas lebih dalam mengenai fenomena non-partisipasi, keluhan dan apatisme.

Analisis yang lebih dalam dari dimensi kedua ini tetap melahirkan kritikan. Salah satu kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan analisis pada sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi konflik, maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya yang menyebabkan tidak terjadi sebuah konflik. Luke (dalam Hardiansyah, 2005) menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan sebuah bentuk kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka. Sehingga konflik laten dapat terjadi dimana ketika seseorang menerima sesuatu yang berlawanan dengan kepentingannya tanpa mengetahuinya sama sekali.

Pendekatan tiga dimensi merupakan perluasan daari pendekatan satu dimensi dan dua dimensi dan sering disebut calss dialetical model. Pendekatan ini lahir dari sebuah kritikan terhadap pendekatan yang fokus dan prilaku yang memasukkan pertimbangan kekuatan yang tersembunyi dan konflik yang mendapat pengaruh kekuasaan (Gaventa, 1985) adalah untuk mengidentifikasi alat dan media yang digunakan oleh pengaruh kekuasaan untuk membentuk atau menentukan konsepsi dari kebutuhan, kemungkinan dan strategi untuk menghadapi konflik yang terjadi.

Proses yang terjadi dalam proses politik dalam persepektif dalam tiga dimensi ini adalah sebuah proses ekskalatif. Dimana kelompok yang terdominasi akan bergerak dari sebuah kondisi ketidakberdayaan menjadi sebuah kondisi melawan kelompok dominan. Proses ini dipersepsikan oleh Gaventa (1985) sebagai kondisi ”power serves to create power, powerlessness serves to re-enforce powerless-ness”

Kerangka Kekuasaan Tiga Dimensi

Kerangka Kekuasaan Tiga Dimensi

Dimensi pertama, yaitu kekuasaan, melibatkan sebuah titik tekan dari perilaku dalam pengambilan keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik terbuka dari sebuah kepentingan subjektif. Dimensi ini mencoba menjelaskan bagaimana sebuah kelompok atau individu berusaha untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan yang dimilikinya. Domensi kedua adalah kepentingan, merupakan perluasan dari dimensi pertama, sehingga proses-proses yang terjadi dalam spektrum dimensi pertama termasuk pula dalam dimensi kedua.

Dimensi kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses pembuatan keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik terbuka dari sebuah kepentuingan subjektif semata. Tindakan-tindakan politis yang diambil dan termasuk spektrum dimensi ini menekankan kepada sebuah proses perluasan kekuasaan serta mulai melibatkan kepentingan sebagai sebuah pencapaian yang harus daraih. Pada titik ini tindakan-tindakan yang dilakukan dimaksudkan untuk memperbesar kekuasaan dan kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh kelompok atau individu. Pada dimensi ini pula kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan perluasan kekuasaan dan

kepentingan objektif mulai disingkirkan.

Dimensi yang ketiga adalah hegemoni, yang merupakan perluasan dari kedua dimensi sebelumnya. Dimensi kedua dan ketiga pada dasarnya dibangun untuk memperoleh sebuah gambaran mengenai hubungan sebab akibat dari dimensi yang pertama. Dimensi ketiga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh kelompok atau individu.

John Gaventa (1980) mencoba menjelaskan hubungan para pelaku pilitik dalam konteks kerangka kekuasaan tiga dimensi Luke. Model ini menganalogikan dua belah pihak antara A dan B. Kelompok A merupakan kelompok dominan sedangkan kelompok B kelompok yang terdominasi. Hal ini diungkapkan oleh Gaventa pada penelitiannya yang menggunakan pendekatan tiga dimensi ini pada kasus Suku Indian Applachian yang terdominasi oleh kelompok pengusaha yang mengambil alih lahan yang dimiliki.

Model Relasi Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa

Model Relasi Kekuasaan Tiga Dimensi Gaventa

Proses penyusunan strategi dalam meraih kepentingan adalah sebuah usaha dalam meraih inovasi deliberatif yang dijelaskan oleh Bryson dan Crosby (1992). Penjelasan model ini mengadaptasi dari model kekuasaan tiga dimensi yang dikemukakan sebelumnya oleh Luke. Bryson dan Crosby (1992) mencoba menjelaskan sebuah tindakan yang diambil oleh masing-masing aktor perencanaan dalam perumusan kebijakan publik berdasarkan dimensi Luke dal tiga macam sifat pertemuan yaitu forum, arena dan pengadilan.

Titik perbedaan ketiganya adalah jenis pertemuan yang dilakukan dalam memenuhi kepentingan kelompok dan individu yang ada. Pada forum menekankan kepada sebuah proses komunikasi dan interpretasi makna, sedangkan pada arena titik tekannya pada sebuah proses pembuatan dan implementasi dari kebijakan. Sedangkan pengadilan merupakan sebuah bentuk dan media arbitrasi dalam meminimasi konflik yang terjadi. Pemain kunci dari ketiga bentuk pertemuan ini adalah para pemimpin yang berperan sebagai seorang inisiator dan pemimpin dari kelompok-kelompok tersebut. Pekerjaan dalam membangun sebuah forum adalah melibatkan sebuah kesepakatan diantara para aktor utama dengan mencoba mencari sebuah konsensus antara kelompok yang berkepentingan.

Dalam persepektif perencanaan model ini melihat dan memformulasikan proses-proses politik yang tidak mungkin dihindari dari sebuah perumusan kebijakan publik. Targetan-targetan dari tiap dimensi dari masing-masing jenis pertemuan berbeda-beda, karena kepentingan yang akan diraih berbeda pula untuk masing-masing konteks.

Dimensi politik dalam proses pengambilan keputusan publik selalu terkait erat dengan sebuah proses pengaruh dalam pengambilan keputusan. Menurut Cristian Bay (Dalam Varma, 1992), arena politik bukan hanya studi yang terkait dengan bentuk kenegaraan, tetapi termasuk pula proses mensejahterakan manusia dan kemaslahatan masyarakat. Dimana kedua proses tersebut difokuskan kepada perbaikan-perbaikan individu yang terpinggirkan dalam dunia publik.

Paul Davidovf menekankan pada sisi politis dan srat nilai perencanaan. Davidoff menilai perencanaan sebagai sebuah proses, yang menekankan lebih sebagai proses atas-atas pilihan. Sehingga dalam sebuah proses perencanaan, akan sangat terkait sekali dengan proses penentuan pilihan-pilihan yang merupakan sebuah pengejewantahan dari proses politik yang terjadi dalam proses politik perumusan kebijakan publik.

Dalam persepektif perencanaan model ini melihat dan memformulasikan proses-proses politik yang tidak mungkin dihindari dari sebuah perumusan kebijakan publik. Targetan-targetan dari tiap dimensi dalam masing-masing jenis pertemuan berbeda-beda, karena kepentingan yang ingin diraih berbeda pula untuk masing-masing konteks. Model ini akan menjadi sebuah dasar untuk mengamati tindakan yang diambil oleh aktor dalam mempengaruhi sebuah kebijakan publik. Penelusuran modus, strategi dan rencana para aktor dalam mempengaruhi proses penataan ruang dapat diidentifikasi dengan menggunakan model di atas.

Proses partisipasi di masyarakat seringkali dapat merupakan sebuah usaha dari kelompok elite untuk mempertahankan atau memperkuat kekuasaannya dan untuk membina usaha-usaha mencapai tujuan lain yang mereka perlu. Para politik elite akan berusaha memberikan ruang partisipasi sebagai metode mengendalikan partisipasi itu sendiri. Menurut Huntington dan Nelson (1954, dalam Aswindi, 2002), dibanyak negara dunia ketiga pendekatan pembangunan sering meminggirkan golongan masyarakat marjinal.

Partisipasi dalam Perencanaan

Wacana tentang partisipasi publik dalam perencanaan dan pengelolaan sektor publik sebenarnya mendapat perhatian. Di Amerika wacana ini muncul sejak akhir tahun 1950-an, sementara di Inggris sejak awal tahun 1960-an dan Australia menyusul pada tahun 1970-an. Wacana ini berkembang sejalan dengan perubahan struktur politik yang mengarah kepada sistem yang disebut sebagai demokrasi. Proses demokratisasi ini pada suatu saat akan mendorong terbentuknya suatu tatanan masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan publik.

Paradigma perencanaan sebagai sebuah domain publik merupakan sebuah paradigma yang lahir dari tradisi perencanaan sebagai sebuah proses pembelajaran sosial. Dari hal tersebut maka lahir sebuah konsekuensi logis perencanaan yang berbasiskan diri kepada masyarakat dengan peran perencana yang berbeda dengan perencana sebagai sebuah alat dalam mempertahankan power yang dimiliki.

Terminologi perencanaan partisipatif pertama kali dicetuskan oleh John Friedman pada tahun 1973 sebagai sebuah cerminan dari goncangan yang terjadi pada paradigma perencana yang terjadi di Amerika Serikat. Kritikan dilancarkan oleh John Friedman kepada paradigma-paradigma perencana awal di Amerika Serikat, yang hanya memfokuskan diri kepada para pembuat dokumen rencana semata dan melupakan proses dan hubungan timbal balik antara elemen-elemen sosial di dalamnya. Inti dari pemikiran John Friedman pada saat itu, ialah perencanaan ’dari bawah’ yang dapat mencerminkan dengan tepat kepentingan rakyat yang sesungguhnya dari rakyat yang yang terlibat dalam kegiatan kehidupan sosial mereka (Friedman, 1981).

Relasi Power (Kekuasaan) dan Knowledge (Pengetahuan)

Dalam memahami kekuasaan sebagai sebuah bagian dari perencanaan, maka harus dapat dilihat pada sebuah titik tolak, yaitu bahwa peran kekuasaan dalam sebuah perencanaan ialah proses dalam mempengaruhi keputusan publik yang dibuat dan produk perencanaan yang dihasilkan. Proses perencanaan akan selalu menjadi sebuah proses dalam mempengaruhi alternatif-alternatif yang mungkin diambil dalam penataan ruang sebuah kota atau wilayah.

Istilah kekuasaan banyak mengalami proses diskursus dan transformasi persepsi serta pemahaman dari waktu ke waktu. Koneksitas antara kekuasaan dan pengetahuan menjadi sebuah diskusi yang menarik diantara para ahli organisasi dan filsafat. Dua ahli yang sangat terkenal membahas koneksitas pengetahuan dan power adalah Michael Foucault (1926-1984) dan Francis Bacon (1561-1626).

Francis Bacon memulai diskursus mengenai koneksitas kekuasaan dan pengetahuan pada abad 17. Bacon memiliki sebuah kutipan yang sangat terkenal yaitu ”knowledge it self is power”. Pendapat ini didasari pada sebuah keyakinan bahwasanya suatu saat semua persoalan manusia akan dapat diselesaikan melalui ilmu pengetahuan. Bacon mendasarkan pendapatnya setelah kemajuan yang signifikan dicapai oleh bangsa Eropa setelah mengambil teknologi yang dimiliki bangsa Islam di Cordoba.

Pemikiran empirisme sangat mendominasi ide rasionalitas yang membangun kekuatan, atau dengan kata lain wacana yang memberikan kekuasaan kepada manusia baik untuk mensejahterakan maupun menindas. Wacana empirisme terhadap kekuatan membuat sebuah superioritas pengetahuan terhadap aspek lainnya, dengan sebuah stigma awal bahwasanya pengetahuan yang membentuk peradaban manusia begitu juga kekuatan yang dimiliki untuk membentuk peradaban itu sendiri.

Di spektrum lainnya, berdiri pemikiran Foucault mengenai relasi antara kekuasaan dan pengetahuan. Foucault merupakan filosof yang menjadi gerbong gerakan filosofi post-modern di dunia bersama dengan Jacques Derrida. Pemikirannya dilandasi oleh sebuah pemikiran kritis terhadap pemikiran pada masa lalu, ia menganggap bahwa pemikiran dapat mengalami proses seiring perjalanan waktu.

Foucault mengkritik pemikiran dari Bacon dan memunculkan pemikiran baru yaitu “power/knowledge”. Foucault melakukan sebuah demistifikasi terhadap sebuah makna power terhadap sebuah hubungan resiprokal, mutualisme antara sirkulasi pengetahuan dengan kekuatan untuk mengendalikan. Foucault menyatakan dalam bukunya “power/knowledge” (1980), bahwa power adalah sebuah mekanisme yang menciptakan rasionalitas hukum dan pengetahuan sebagai sebuah alat untuk menegakkan kekuasaan yang lebih besar.

Analogi pernyataan ini adalah seperti tidak ada kriminologi tanpa penjara, tidak ada teknologi forensik tanpa polisi atau tidak ada obat tanpa ada klinik, yang menunjukkan sebuah pengetahuan tidak lebih dari sekedar perangkat dalam memaksa individu-individu untuk mematuhi kekuasaan yang ada. power/knowledge menunjukkan sebuah hubungan positif antara kekuasaan dan pengetahuan. Menurut Foucault, yang mendasari ahli lain seperti Luke, Dahl, Clegg, dan Giddens, dalam membuat pemahaman baru mengenai fungsi, definisi dan posisi power dalam konteks relasi dengan pengetahuan.

Luke (1974) mengungkapkan konsepsi kekuasaan sebagai sebuah kepentingan dalam berusaha memenuhi kepentingan rakyat dengan menguasai atau menghindari oposisinya. Dahl (1986) mengungkapkan kekuasaan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang bilamana tanpa itu maka ia takkan mengerjakannya. Mirip dengan Dahl, Wrong (1979, dalam Clegg, 1989) menginterpretasikan kekuasaan sebagai sebuah kapasitas yang dimiliki seseorang untuk menghasilkan efek yang dikehendaki dan nyata terhadap orang lain.

Kekuasaan secara etimologis (dalam KBBI) merupakan kesanggupan, kemampuan, kuasa untuk menentukan, mengatur dan kemampuan orang/golongan untuk mempengaruhi orang/golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang atau kekuatan fisik. Kekuasaan dan pengaruh merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan relasi atau aktivitas yang merupakan bagian dari politik (Dwicaksono,2003).

Barnes (1989) mengungkapkan konsep power sebagai sebuah entitas dari sebuah prilaku, proses atau agen yang dimiliki. Barnes menyebutkan tiga dimensi dari kekuasaan yang mungkin dimiliki oleh seseorang, pertama kekuatan fisik, kedua kekuatan karisma, dan ketiga kekuatan posisi atau kedudukan yang dimilikinya dalam sebuah kelompok.

Menurut Culver dan Syer (dalam Dwicaksono,2003) kekuasaan (power) dapat dibagi menjadi dua yaitu kekuasaan individu dan kelompok. Dalam kekuasaan individu faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sumber daya yang dimiliki, keinginan untuk menggunakan sumber daya tersebut, dan kemampuan untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya.

Pengertian sumber daya yang dikaji ini bermakna luas. Secara umum jenis kepemilikan sumber daya yang dimiliki yang mempengaruhi tingkat kekuasaan, yaitu:

  1. Kepemilikan yang meliputi informasi, ekonomi dan lain-lain
  2. Atribut yang melekat pada kepribadian seseorang
  3. Kemampuan tambahan
  4. Agak berbeda dengan kekuasaan individu, pada kekuasaan kelompok sumber daya dimiliki oleh keanggotaan dari kelompok tersebut (Dwicaksono,2003).
  5. Dengan berkumpulnya individu-individu yang memiliki sumber daya, maka kelompok tersebut akan memiliki akumulasi yang dimiliki oleh individu-individu yang dimiliki di dalam kelompok tersebut.

Pada akhirnya kekuasaan-kekuasaan individu tersebut akan dijadikan sebagai sebuah bentuk kekuasaan kelompok dalam melaksanakan agenda yang telah disepakati oleh kelompok tersebut. Kekuasaan yang dimiliki oleh individu tersebut merupakan sebuah modal yang akan dipakai oleh kelompok tersebut untuk mempengaruhi kelompok lain untuk turut mendukung agenda kelompok tersebut. Dalam konteks perumusan kebijakan publik, yang berupa produk perencanaan, kelompok yang memiliki kekuasaan akan menggunakan kekuasaannya tersebut untuk mempengaruhi keputusan publik yang hendak dibuat, sehingga dapat sesuai dengan agenda yang ingin dicapai oleh kelompok

tersebut.

Konsepsi Perencanaan Sebagai Sebuah Proses Politik

Ketika perencanaan dipandang sebagai sebuah alat dan metode dalam pengambilan keputusan dan tindakan publik, maka sudah sewajarnya dipahami akan adanya dimensi politik dalam perencanaan (Astuti dan Mirmasari, 2002). Dimensi politik dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan sebagai sebuah tindakan yang rasional dan ilmiah. Perbedaan dalam proses perencanaan yang teknokratis dengan perencanaan yang demokratis sangat jelas terlihat dan mempengaruhi perencana untuk masing-masing konteks. Perbedaan tersebut dapat diamati dalam tabel berikut.

Perbedaan Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis

Dengan Proses Pengambilan Keputusan Demokratis

Perbedaan Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis Dengan Proses Pengambilan Keputusan Demokratis

Kriteria Isu (Masalah) Publik sebagai Agenda Kebijakan

Dalam sejumlah literatur (Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) memang disebutkan bahwa secara teoritis, suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu.

Diantara sejumlah kriteria itu yang penting ialah:

  1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
  2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.
  3. Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media massa yang luas.
  4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
  5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.
  6. Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.

Di sisi lain Abidin (2004:107) menambahkan bahwa masalah publik dapat dibagi ke dalam masalah strategis dan masalah yang tidak strategis (taktis). Masalah strategis adalah masalah yang antara lain memenuhi keempat syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Luas cakupanya. Artinya, wawasan cakupannya tidak hanya meliputi satu sektor atau satu wilayah saja, tetapi meliputi beberapa sektor/wilayah.
  2. Jangka waktunya panjang. Pengertian ini erat hubungannya dengan tujuan dari perencanaan jangka panjang. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa penyelesaian masalah memerlukan waktu yang panjang dan dampak yang ditimbulkan bisa jadi mempunyai akibat yang jauh ke depan.
  3. Mempunyai keterkaitan yang luas. Substansi permasalahan dan cara-cara penyelesaiannya menyangkut banyak pihak dalam masyarakat
  4. Mengandung resiko dan kemungkinan keuntungan yang besar. Rugi yang ditimbulkan atau hasil yang mungkin diperoleh akibat dari penanganan masalah tersebut cukup besar baik dalam nilai uang maupun dalam nilai sosial lainnya yang tidak dapat dinilai dengan uang.

Oleh karena itu, tidak semua masalah atau isu akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Lester dan Steward dalam Winarno (2002 : 60) menyatakan bahwa suatu isu akan mendapat perhatian bila memenuhi beberapa kriteria yakni :

  1. Bila suatu isu telah melampaui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu lama didiamkan.
  2. Suatu isu akan mendapat perhatian bila isu tersedbut mempunyai sifat partikularitas, di mana isu tersebut menunjukkan dan mendramatisir isu yang lebih besar.
  3. Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena faktor human interest.
  4. Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi dari masyarakat.
  5. Isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak orang.

Pentingnya Masalah Publik sebagai Isu Kebijakan

Sedikitnya ada dua alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal ini. Pertama, sebagai telah disinggung di muka, proses pembuatan kebijakan publik di sistem politik mana pun lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu masalah atau isu tertentu. Kedua, derajat keterbukaan yakni tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, di antaranya dapat diukur dari cara bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya menjadi kebijakan publik (Wahab:2001:38).

Artinya, yang dimaksud dengan kebijakan publik ialah tindakan (politik) apa pun yang diambil oleh pemerintah (pada semua level) dalam menyikapi sesuatu permasalahan yang terjadi dalam konteks atau lingkungan sistem politiknya. Dipahami seperti ini, maka perilaku kebijakan (policy behavior) akan mencakup pula kegagalan bertindak yang tidak disengaja, dan keputusan yang disengaja untuk tidak berbuat sesuatu apa pun, semisal tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan (baik secara sadar atau tidak), untuk menciptakan rintangan-rintangan (constraints) tertentu agar publik atau masyarakat tidak dapat menyikapi secara kritis terhadap kebijakan pemerintah (Bachrach dan Baratz, 1962; Heclo, 1972).

Makna Isu Kebijakan dan Dinamikanya

Sekalipun harus diakui dalam pelbagai literatur istilah isu itu tidak pernah dirumuskan dengan jelas, namun sebagai suatu "technical term' utamanya dalam konteks kebijakan publik, muatan maknanya lebih kurang sama dengan apa yang kerap disebut sebagai "masalah kebijakan" (policy problem). Dalam analisis kebijakan publik, konsep ini menempati posisi sentral.

Hal tersebut mungkin ada kaitannya dengan fakta, bahwa proses pembuatan kebijakan publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Misalnya, gagalnya kebijakan tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap memuaskan.

Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh pemerintah atau ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan tingkat perhatian tertentu. (Wahab : 2001:35)

Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.

Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu masalah tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan (Hogwood dan Gunn, 1996).

Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies) atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka (Alford dan Friedland, 1990: 104). Singkatnya, timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.

Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses dengan mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar dirinya. Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense) yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah (Allison, 1971).

Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan tentu saja perumusan atas suatu isu sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat dari sudut pandang ini, maka besar kemungkinan masing-masing orang, kelompok atau pihak-pihak tertentu dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu akan berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana merumuskannya. Persepsi ini, pada gilirannya juga akan mempengaruhi terhadap penilaian mengenai status peringkat yang terkait pada sesuatu isu.

Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan dapat dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu fungsional, dan isu minor (Dunn, 1990). Kategorisasi ini menjelaskan bahwa makna penting yang melekat pada suatu isu akan ditentukan oleh peringkat yang dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat yang diberikan atas sesuatu isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya secara politis.

Konsepsi Masalah (Isu) Publik sebagai Agenda Kebijakan

Sebuah kebijakan lahir karena ada suatu masalah yang hendak dipecahkan (Abidin, 2004:103). Oleh karena itu, kebijakan merupakan alat atau cara untuk memecahkan masalah yang sudah ada sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar pembuatan kebijakan adalah masalah. Jika tidak ada masalah tidak perlu ada suatu kebijakan baru.

Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata rantai utama, jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan (policy maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar akan kesalahannya ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad implementation).

Dalam kondisi yang teramat sulit, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan penolakan atau pengabaian oleh elemen-elemen yang secara legal terlibat di dalamnya. Dalam konteks ini, pemerintah telah bertindak sangat tidak efektif karena telah mengeluarkan demikian banyak energi untuk suatu kebijakan yang tidak mampu diimplementasikan, apalagi mampu mengatasi masalah kebijakan secara tuntas.

Ada persoalan proses kebijakan yang paling pokok terjadi, yaitu sesuatu yang disebut sebagai kesalahan tipe ketiga; yaitu memecahkan masalah yang salah. Rasionalitas yang dikembangkan terhadap sebuah isu kebijakan dilakukan dengan pilihan yang tidak disadari, tidak kritis serta justru sering mengacaukan secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusinya yang potensial (Hoss, Tribe dalam Hutagalung, 2008).

Hadirnya isu kebijakan dari opini dalam masyarakat bersifat kompleks karena menyangkut berbagai faktor yang menjadi latar belakang. Kemampuan mengidentifikasi dan melihat gambaran besar dari faktor tersebut menjadi awal yang menentukan proses selanjutnya. Apakah isu tersebut adalah memiliki implikasi yang sangat kuat dalam mengatasi persoalan yang melatarbelakanginya secara siginifikan. Melalui pertanyaan itu dapat ditentukan pentingnya isu menjadi masalah dan menjalani proses kebijakan selanjutnya.

Dengan demikian, kemampuan analisis kebijakan publik memiliki peran sangat menentukan. Kemampuan rasionalitas erotetik dalam mengelola isu, metamasalah, dan masalah formal dalam proses kebijakan merupakan penentu utama dalam efektifnya desain sebuah rumusan masalah yang menjadi input dalam proses kebijakan.

Melihat banyaknya kebijakan yang bermasalah, maka sudah sepantasnya jika sebagai pelaku kebijakan, pemerintah pusat, daerah dan stakeholder yang lain memiliki perhatian yang lebih baik dalam konteks ini. Kemampuan memahami masalah sebagai bagian besar dari mengatasi keseluruhan persoalan merupakan modal untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih baik.

Proses Analisa Kebijakan Publik

Para pengambil keputusan dalam mengambil sebuah kebijakan yang akan digunakan terlebih dahulu melakukan sebuah analisis kebijakan yang hendak dibuat. Dalam membuat analisis kebijakan, dikenal langkah-langkah yang dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pengenalan, perumusan dan perincian masalah
  2. Penetapan kriteria evaluasi
  3. Identifikasi kemungkinan dan alternatif
  4. Evaluasi alternatif
  5. Penjabaran pemilihan alternatif
  6. Pengawasan dan evaluasi rencana/hasil kebijakan.

Gambar Proses Dasar Analisis Kebijakan

Proses Dasar Analisis Kebijakan

Proses analisis kebijakan diatas menggambarkan sebuah bentuk dasar dari proses perencanaan dan pengambil keputusan yang sering dijumpai dalam konteks perencanaan wilayah dan kota. Proses dasar yang dilakukan juga dapat dilihat secara diagramatis pada Gambar di atas.

Rabu, 19 Mei 2010

Data, Fakta dan Isu Kebijakan Aset

Pelaksanakan otonomi daerah sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pemberian otonomi daerah kepada daerah atas dasar desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Salah satu syarat yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan atas dasar desentralisasi adalah tersedianya sumber-sumber pembiayaan.

Pemberian otonomi luas pada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi keanekaraganam daerah dalam sistem Negara Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, serta potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan keuangan, pelayanan umum dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras (Darise, 2006:14).

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup pada daerah, dengan mengacu kepada Undang-undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintahan yang diserahkan pada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Perspektif kedepan dari sistem keuangan daerah adalah mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah yang transparan, memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab kapada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuanya untuk membiayai otonominya dan memberi kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.

Pengembangan daerah otonom di Indonesia maka pemerintah daerah perlu menggali potensi daerah sesuai dengan penerapan otonomi daerah. Daerah otonom berwenang untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sesuai dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Dalam mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri daerah memerlukan biaya yang besar untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Oleh karenanya daerah diberi hak dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerahnya. Hal ini sesuai dengan kententuan pasal 157 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang mengatur sumber-sumber pendapatan daerah yang terdiri atas:

  1. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
  2. Dana perimbangan
  3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. (Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah)

Beberapa pemerintah daerah masih memprioritaskan mencari sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, namun kurang mengoptimalkan sumber yang sudah ada. Tindakan tersebut didapat dengan cara mengoptimalkan pengelolaan aset milik pemerintah daerah. Lemahnya pengelolaan aset daerah tak hanya terbengkalainya aset-aset milik pemerintah daerah lebih dari itu cenderung membebankan anggaran yang ditetapkan dalam APBD.

Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/daerah yang ditandai dengan dikeluarkannya PP No. 6 /2006 yang merupakan peraturan turunan UU No. 1 /2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best practices dalam penataan dan pengelolaan aset daerah yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset daerah yang professional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan daerah dari masyarakat/stake-holder.

Pengelolaan aset daerah dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (2) PP No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset daerah, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset daerah mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan; penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara).

Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD). Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain yaitu terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundang-undangan di bidang BMD, antara lain Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Permen Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN, dan PMK nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN. Namun, pada dasarnya terdapat ciri yang menonjol dari produk-produk hukum tersebut yaitu meletakkan landasan hukum dalam bidang administrasi keuangan negara dan melakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dan pemegang kewenangan perbendaharaan. Selain itu, sejalan dengan kebijakan nasional yaitu adanya otonomi daerah serta bergulirnya perubahan struktur organisasi yang memunculkan penghapusan suatu satuan unit kerja daerah di satu sisi dan pendirian satuan unit kerja daerah pada sisi yang lain membawa implikasi adanya mutasi barang milik daerah.

Sebagai tambahan, khusus untuk pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Dimana Permendagri tersebut dikeluarkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 74 Ayat (3), PP Nomor 6 Tahun 2006 yang berbunyi : “Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan sebagaimana ayat (1) “. Menurut Ketentuan Pasal 2 Permendagri tersebut Pengelolaan BMD merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan Barang Milik Negara.

Visi pengelolaan aset negara kedepan adalah menjadi the best state asset management on the world. Tidak sekedar bersifat teknis administratif semata, melainkan sudah bergeser ke arah bagaimana berpikir layaknya seorang manajer aset yang harus mampu merumuskan kebutuhan barang milik daerah secara akurat dan pasti, serta meningkatkan faedah dan nilai dari aset negara tersebut.Tantangan untuk mewujudkan visi tersebut tidaklah ringan, perlu kerja keras dari semua pihak mengingat problematika di seputar pengelolaan aset negara sekarang ini begitu kompleks. Oleh karena itu, pengelolaan aset daerah harus ditangani oleh SDM yang profesional dan handal, dan mengerti tata peraturan perundangan yang mengatur aset daerah.

Jumlah, nilai (value), dan potensi kekayaan/aset daerah yang begitu besar dirasakan masih belum dapat mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran, dan efektivitas pengelolaan kekayaan/aset negara. Hal ini dapat disebabkan oleh: 1) keberagaman kekayaan/aset daerah secara jenis dan letak geografis, 2) adanya keragaman kepentingan (interest) yang melekat, 3) adanya pihak yang secara langsung atau tidak langsung menguasai, 4) inefisiensi alokasi, 5) belum adanya unifikasi regulasi, 6) koordinasi dan pengawasan lemah, dan 7) yang sangat penting yaitu belum terwujudnya basis data (data base) dalam suatu sistem informasi modern terintegrasi sehingga tidak diketahuinya secara pasti dan real-time berapa jumlah, nilai, dan potensi serta bagaiman pola penggunaan tertinggi dan terbaiknya (highest and best use). Akumulasi dari hal-hal tersebut melahirkan kompleksitas dan kerap tumpah tindih dalam pelaksanaan dan penanganan kekayaan daerah yang pada gilirannya telah dan terus merugikan daerah

Eksistensi kekayaan daerah sangatlah penting dan memiliki kedudukan yang strategis dalam rangka mendukung perwujudan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pendataan kekayaan negara secara komprehensif dan akurat di satu sisi dan pengetahuan tentang nilai terkininya (existing value) di sisi lain ibarat satu mata uang dengan dua sisi yang merupakan prakondisi dalam rangka optimalisasi pengelolaan kekayaan daerah. Sampai saat ini, walaupun relatif telah dilakukan pendataan/inventarisasi, namun masih sangat terbatas, sehingga memerlukan waktu untuk mewujudkan neraca pemerintah daerah seperti yang diharapkan. Di beberapa daerah telah mempunyai estimasi jumlah, nilai, dan potensi kekayaan daerahnya yang tertuang dalam neraca daerah. Namun elemen-elemen yang tersaji pada neraca-neraca tersebut masih perlu dipertanyakan apakah telah mencerminkan kondisi faktual berdasarkan market value.

Berlakunya Undang-undang (UU) No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memberikan sebagian besar kewenangan untuk mengelola potensi dan sumber daya daerah sepenuhnya kepada daerah dimana dengan kebijakan tersebut diharapkan tercapai optimalisasi pembangunan daerah sesuai dengan kebijakan yang dilakukan pada masing-masing daerah. Peran pemerintah pusat harus tetap ada untuk mensinergikan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan negara demi kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 bahwa kekayaan negara/nasional harus dipergunakan setinggi-tingginya untuk kemakmuran masyarakat dan bangsa Indonesia. Sehingga pemerintah harus mempunyai blue print strategi yang jelas dan komprehensif dalam melakukan pengelolaan kekayaan negara secara langsung dan tidak langsung melalui pembinaan

Pengelolaan kekayaan daerah merupakan suatu metode/pendekatan komprehensif yang diperlukan dalam rangka alokasi sumber dana yang tebatas guna optimalisasi pemanfaatannya bagi masyarakat secara efektif dan efisien. Dalam mengelola kekayaan daerah, pemerintah telah menerbitkan banyak regulasi terkait, namun keberadaan peraturan-peraturan tersebut masih tersebat di beberapa produk hukum yang bervariasi dan relatif belum dapat menjamin pelaksanaan pengelolaan kekayaan daerah secara komprehensif dan integratif -

Belum lagi regulasi yang telah ada tersebut lahir pada era yang jelas berbeda dengan semangat dan paradigma pada hari ini. Urgensi peraturan yang komprehensif tentang pengelolaan kekayaan negara setingkat undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya dengan paradigma baru, spirit reformasi, serta menjawab tuntutan stakeholders sudah sangat dibutuhkan demi terciptanya pola penanganan kekayaan daerah secara lebih terarah dan memberi nilai tambah.

Kekayaan negara dalam arti luas dan fleksibel dapat mencakup semua barang serta kekayaan alam, baik bergerak/tidak bergerak ataupun berwujud/tidak berwujud yang dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BUMN/BUMD yang terbatas pada nilai jumlah penyertaan modal negara. Sedangkan dalam arti yang lebih sempit, kekayaan negara dapat dipersepsikan sebagai segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh negara baik di tingkat pusat maupun daerah dan BUMN/BUMD

Sementara itu, dalam arti yang lebih sempit lagi dimana mengacu pada pengertian yang dirumuskan dalam pasal 1 angka (10) dan (11) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, kekayaan negara dibatasi sebagai Barang Milik Negara/Daerah. Barang Milik Negara/ Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Dalam hal ini terbatas pada barang yang bersifat berwujud (tangible) yang meliputi barang persediaan dan aset tetap (fixed assets). Mengingat tujuan pengelolaan kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia maka untuk keperluan tulisan ini tidak dibedakan istilah antara kekayaan pemerintah pusat, daerah, dan BUMN/BUMD. Kesemuanya dibingkai ke dalam satu terminologi yaitu kekayaan negara. Satu dan lain hal mengingat bahwa peran pemerintah pusat harus tetap ada untuk mensinergikan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan negara demi kepentingan nasional.

Walaupun terkadang dipersepsikan bahwa kekayaan negara merupakan public goods maka jangan sampai istilah public menyebabkan pengelolaannya menjadi tidak profesional. Dengan kata lain, public goods harus dikelola sebagaimana pengelolaan private goods dengan kaidah entrepreneurship. Dalam era perubahan yang terjadi begitu cepat maka kinerja sektor publik/pemerintah semakin menjadi sorotan masyarakat yang setiap saat terpublikasi di media massa. Sektor publik rentan terhadap pemberitaan yang tidak berimbang, dengan kata lain bahwa terkadang pers relatif lebih tertarik memberitakan masalah-masalah atau kinerja yang jelek dari pemerintah ketimbang sebaliknya. Sehingga ada yang secara ekstrim mengatakan: “good news is no news in the public sector”